sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

PENGACARA PIHAK TERKAIT, TUJUAN UU PPMI LINDUNGI PMI

3 min read

 


JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/3/2020). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari Migrant Care (Pihak Terkait I) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (Pihak Terkait II).

Para Pihak Terkait diwakili kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa. “Upaya dilakukan Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II untuk melindungi para pekerja migran dari perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia yang tidak bertanggung jawab atas penempatan para pekerja migran dan cenderung mengarah pada tindak pidana perdagangan manusia,” kata Viktor kepada Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang.

Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Viktor, maka upaya yang selama ini dilakukan Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II  dalam melindungi pekerja migran akan sia-sia. “Hal ini merugikan Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu apabila MK mengabulkan permohonan Pemohon, maka khusus Pihak Terkait II akan mengalami kerugian secara langsung karena para anggota Pihak Terkait II merupakan pekerja migran Indonesia yang sudah mulai proses untuk bekerja di luar negeri atau yang sedang aktif di luar negeri,” urai Viktor.

Dikatakan Viktor, tujuan diberlakukan UU PPMI agar negara menjamin hak, kesempatan dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun luar negeri sesuai keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan. Selain itu para pekerja migran Indonesia terlindungi dari perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat manusia serta perlakuan yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Viktor melanjutkan, berdasarkan data empiris bahwa perempuan dan anak yang paling banyak menjadi korban perdagangan manusia, khususnya yang bekerja di luar negeri. Korban tidak hanya dipekerjakan dalam bentuk pelacuran, namun juga dalam bentuk eksploitasi kerja paksa maupun praktik serupa perbudakan. “Hal ini jelas tidak sesuai dengan perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan penempatan tenaga kerja. Sejak 2014 hingga 2018, berdasarkan data Bareskrim Polri sekitar 1.154 warga negara Indonesia menjadi korban praktik perdagangan manusia ke sejumlah negara,” papar Viktor.

Sementara Sekretaris Migrant Care, Anis Hidayah menyampaikan bahwa dibentuknya ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf a UU PPMI oleh pembentuk undang-undang berdasarkan fakta banyaknya kasus yang dihadapi pekerja migran Indonesia. Terutama pekerja perempuan yang mengalami kasus hukum dan memerlukan biaya penanganan yang besar.

“Seperti dialami Satinah asal Semarang yang bekerja di Arab Saudi. Dia bisa dibebaskan dari hukuman mati dengan harus membayar Rp 21 milyar. Yang bersangkutan terpaksa membunuh majikan karena ancaman penganiayaan dan percobaan perkosaan. Satinah akhirnya bisa dibebaskan dan kembali ke Indonesia pada 2010 dengan membayar Rp 21 milyar. Meski Satinah menderita stroke akibat akumulasi depresi selama menghadapi proses hukum,” jelas Anis.

Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini adalah ASPATAKI yang menguji Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.

Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU PPMI menyatakan, “Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan: a. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Pasal 82 huruf a UU PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada: a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a”.

Sedangkan Pasal 85 huruf a UU PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a”.

Diwakili kuasa hukumnya Wilman Malau, ASPATAKI memiliki anggota berjumlah 142 Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau perusahaan-perusahaan yang bidang usahanya melaksanakan penempatan dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.

Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon dalam kebebasan untuk berusaha, serta ancaman pidana yang ditanggung Pemohon tidak berdasar pada perbuatan yang dilakukannya sendiri, tidak sesuai dengan asas perbuatan materiil. Perbuatan yang dilakukan pihak yang mempekerjakan pekerja migran harus ditanggung oleh para Pemohon. (Nano Tresna Arfana/NRA).

Sumber | https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16278&menu=2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *