sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

AHLI: UPAYA PENGHAPUSAN PELAUT MIGRAN DARI UU PPMI ADALAH KEMUNDURAN SERTA MELENCENG DARI SEMANGAT DAN AMANAT KONSTITUSI

3 min read

Jakarta, 22 Februari 2024 – Ahli Pihak Terkait dalam judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dalam perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023[1], Arie Afriansyah S.H., MIL., Ph.D, menyatakan bahwa status pelaut migran, baik awak buah kapal niaga (ABK Niaga) dan awak kapal perikanan (AKP) Indonesia, yang bekerja di luar negeri dan di atas kapal niaga dan ikan berbendera asing, sebagai buruh migran dalam UU tersebut harus dipertahankan dan sebagai bentuk kemajuan dan komitmen tanggung jawab negara dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan benderang, menurut Arie, posisi ABK Niaga dan AKP Indonesia yang sangat rentan bekerja di tengah laut dan berada di luar wilayah Indonesia semakin menguatkan pentingnya kehadiran negara untuk melindungi mereka secara menyeluruh dalam setiap proses tahapan migrasi sebagai pekerja migran Indonesia.

Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini memberikan keterangannya sebagai Ahli Pihak Terkait pada Kamis (22/2/2024) saat hadir secara daring di Mahkamah Konstitusi (MK) [2]. Pihak Terkait dalam JR UU PPMI ini adalah Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), gabungan sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus mengadvokasi isu pelaut migran Indonesia [3].

Menurut Arie, hingga hari ini, UU PPMI merupakan aturan nasional paling maju, mutakhir dan paling komprehensif yang memperkuat mandat dan tanggung jawab negara dan pemerintah untuk melindungi rakyatnya di mana pun mereka berada, termasuk yang bekerja di luar wilayah Indonesia sebagai pekerja migran, tidak terkecuali untuk pelaut migran Indonesia.

“UU PPMI ini juga memastikan bahwa perusahaan penempatan tenaga kerja harus memenuhi semua persyaratan hukum untuk dapat bersama memberikan perlindungan maksimal. Semua ini diatur untuk melindungi dan memastikan pekerja migran Indonesia mendapatkan kondisi pekerjaan yang layak dan terhindar dari praktik perekrutan dan penempatan kerja yang eksploitatif seperti perdagangan manusia, kerja paksa, ataupun juga sebagai bentuk perbudakan modern,” katanya.

Arie melanjutkan, UU PPMI yang masih berlaku hingga hari ini juga sangat selaras dengan arah perkembangan komitmen internasional dan tantangan global saat ini untuk mewujudkan pekerjaan yang layak dan melawan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena telah memastikan kelompok rentan pekerja migran di semua sektor tanpa terkecuali terlindungi dan mendapat kepastian hukum. Katanya, dalam UU tersebut, semua warga negara Indonesia berhak mendapat kondisi yang layak dalam bekerja sekali pun berada di luar negeri atau di luar wilayah yurisdiksi hukum Indonesia.

“Oleh karena itu, segala upaya mendiskriminasi dan mengeluarkan sebagian kelompok pekerja migran, dalam hal ini pelaut migran, dalam pelindungan UU PPMI justru merupakan kemunduran dan dapat diargumentasikan secara hukum telah melenceng dari semangat dan amanat UUD 1945,” katanya.

“Inklusi awak kapal niaga dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal asing di luar Indonesia ke dalam pelindungan sebagai pekerja migran adalah sebuah keniscayaan. Baik dari sisi keberadan sekaligus perkembangan kebijakan dan aturan internasional maupun nasional di Indonesia, kelompok ini telah diakui dan dimasukkan dalam kelompok pekerja migran yang mendapatkan perlindungan secara hukum. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memasukkan kelompok awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran telah dilakukan selama ini karena memang sudah banyak terjadi korban termasuk WNI. Oleh karena itu, upaya untuk mengeluarkan kelompok ini dari perlindungan pekerja migran merupakan sebuah upaya kemunduran dan bahkan membahayakan bagi kelompok rentan ini,” tambahnya.

Kuasa Hukum TAPMI, Jeanny Silvia Sari Sirait, menambahkan bahwa secara konstitusional dan sangat mendasar, hal tersebut sejalan dengan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

“Semangat dan amanat konstitusi yang luhur dan tidak diskriminatif turut menegaskan hak warga negara Indonesia (WNI) atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 Ayat 2) dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap orang (Pasal 28I Ayat 4),” kata Jeanny.

Permohonan judicial review UU PPMI tersebut diajukan oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Perorangan) dan manning agency PT Mirana Nusantara Indonesia. Pokok permohonan dalam pengujian materiilnya adalah Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Mereka meminta agar klausul tersebut dihapus. Para Pemohon mengklaim, efek dari pasal tersebut mengakibatkan jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal migran dan pelaut perikanan migran yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan tidak dapat diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh.

Sebaliknya secara tegas, menurut TAPMI, jika klausul tersebut dihapus malah akan sangat merugikan pekerja migran di sektor kemaritiman dan perikanan, baik pelaut kapal niaga maupun kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *