sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Korban Kecewa, Pelaku TPPO CPMI Ke Jepang Divonis Lebih Rendah Dari Tuntutan dan Kerugian Korban di PN Jakarta Selatan

3 min read

Jakarta, 01 April 2024- Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama dengan Korban CPMI ke Jepang hadir dalam Pembacaan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan untuk pelaku kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan 3 terdakwa berinisial Arif Abdul Karim Rosyid (29), Mohammad Rif’an (30), dan Andrean (38) yang ditangkap oleh gabungan Polres Jakarta Selatan dan BP2MI di Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan pada Agustus 2023 lalu. 

PN Jakarta Selatan memvonis 2 Terdakwa AKR dan MR secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Kemudian 2 terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp.614.000.000 (enam ratus empat belas juta) secara tanggung renteng subsidair selama 1 (satu) tahun kurungan. Putusan tersebut dibacakan majelis hakim di Ruang Satu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 1 April 2024. 

Untuk terdakwa A, PN Jakarta Selatan memvonis dirinya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Hukuman penjara terhadap terdakwa jelas mengecewakan bagi korban dan juga SBMI. Bagaimana tidak, vonis Hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan sebelumnya menuntut terdakwa dengan hukuman delapan tahun penjara. Namun, vonis yang dihadapkan kepada terdakwa hanya 6 tahun penjara dengan denda 120 juta dan subsider kurungan hanya tiga bulan penjara. Belum lagi, terkait restitusi yang dimohonkan oleh para korban CPMI/TPPO perkara dimaksud, sebanyak 17 korban yang memberikan kuasanya pada SBMI dan telah dimohonkan restitusinya dihadapan peradilan, kerugian yang mereka tanggung hampir sebesar 1,2 miliar rupiah. Namun, Restitusi yang wajib dibayarkan hanya sebesar 614 juta rupiah. 

Bagi korban sendiri vonis yang diberikan hakim kepada terdakwa sama sekali tidak menguntungkan. “Hukuman maksimal yang diminta jaksa juga tidak diberikan hakim, serta bagaimana kerugian kami? jika restitusi yang dimohonkan dari kami semua juga tidak sesuai. Terasa mengkhawatirkan jika pada akhirnya kami tidak diberikan kompensasi apapun nantinya.” tutur R, salah satu korban TPPO/CPMI gagal berangkat.

Bagi SBMI, putusan ini menjadi satu dari banyaknya putusan perkara TPPO yang acap kali tidak melihat dari kacamata pemulihan korban. 

“Tuntutan yang diberikan oleh JPU adalah 8 tahun namun yang divonis majelis hakim hanya 6 tahun penjara dengan subsider hanya 3 bulan kurungan. Ini jauh lebih rendah dari yang kami dan korban harapkan. Terlebih lagi, hukuman ini tidak setara dengan kerugian korban yang telah dinikmati para terdakwa. Kerugian besar dari para korban membuat putusan terkait restitusi juga sangat dibutuhkan, namun restitusi yang diputuskan juga jauh dari apa yang kami mohonkan dan hanya digantikan 1 tahun kurungan penjara jika tidak dibayarkan. Bahkan jika restitusi tidak dibayarkan, para korban tetap menanggung kredit yang cukup besar kepada koperasi simpan pinjam untuk menebus SHM mereka, putusan ini sangat tidak berspektif korban sama sekali.” jelas Yunita, Koordinator Advokasi SBMI

Yunita juga mempertegas bahwa putusan-putusan TPPO yang tidak berspektif korban utamanya terkait pemberian restitusi, menjadi acuan untuk memperjelas mekanisme pengaturan restitusi dalam Undang-Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), “perjuangan restitusi selama ini masih terlihat sulit untuk diupayakan, karena tidak ada kejelasan mekanisme serta petunjuk teknis bagaimana idealnya permohonan dan pengabulan restitusi ini harus dijalankan.” tambahnya.

SBMI beranggapan sejak awal proses penyidikan, proses penanganan kasus ini tidak memperhatikan kepentingan korban. Para korban tidak dijelaskan hak-haknya sebagai korban TPPO, sehingga hak korban untuk mengajukan fasilitasi permohonan restitusi kepada Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak dilakukan. Sehingga melalui SBMI, para korban melakukan penghitungan restitusi sendiri dan mengajukan langsung kepada Hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, yang dalam prosesnya sangat sulit dilakukan.

Selanjutnya para korban melalui pendampingan SBMI, akan mengawal proses pembayara restitusi yang harus dibayarkan pelaku, dan mendorong upaya lainnya kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, untuk memaksimalkan upaya pemberian restitusi melalui pencarian dan penyitaan aset pelaku. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *