sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

IWRAW SOROTI ATURAN NEGARA ANGGOTA PBB DALAM KERANGKA CEDAW

3 min read
Dina Nuriyati: Diperlukan upaya terus menerus agar RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dapat menghasilkan peraturan yang memiliki prespektif penghapusan diskriminasi terhadap perempuan

IWRAWPada tanggal 3-5 Agustus 2017, Dina Nuriyati Koordinator Penelitian dan Hubungan Internasional, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memenuhi undangan workshop Regional tentang Hukum dan Kebijakan atas Hak-hak Ekonomi Perempuan yang diselenggarakan oleh IWRAW.

IWRAW Asia Pacific adalah NGO Internasional yang khusus menggunakan Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan   atau The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi (CEDAW)  sebagai alat utama untuk membuat perubahan di kawasan Asia Pasifik.

Menurut Dina, ini adalah kali kedua SBMI mendapatkan undangan dari IWRAW Asia Pasific setelah sebelumnya terlibat aktif dalam Dialog Regional tentang Buruh Migran Perempuan di Wilayah ASEAN tgl 7-9 Desember 2016 lalu di Bangkok, Thailand dimana Dina Nuriyati juga menjadi salah satu Nara Sumber dalam pertemuan tersebut.

“Workshop ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan peserta dalam pemakaian kerangka Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau sering dikenal dengan Konvensi CEDAW untuk secara kritis mereview undang-undang dan juga kebijakan dalam memajukan hak-hak ekonomi perempuan dan kesetaraan jender. Tujuan yang lain adalah berbagi praktik-praktik upaya reformasi kebijakan tentang hak-hak ekonomi perempuan di wilayah kerja, sumber daya  alam  dan buruh migran,” jelas Dina.

Workshop ini dihadiri perwakilan organisasi dari 7 negara yaitu : Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam, Thailand, Indonesia dan Philipina. Mereka adalah aktivis hak-hak perempuan dan para ahli dibidang hukum, advokasi dan analisa kebijakan, perburuhan dan isu lingkungan.

Workshop membedah draft maupun hukum yang berlaku di 4 Negara yaitu Myanmar, Cambodia, Vietnam dan Thailand, untuk menganalisa sejauh mana CEDAW terimplementasi dan bagaimana upaya untuk membuatnya lebih baik. Empat aturan tersebut yaitu:

  1. Undang-undang Jaminan Sosial th 2012 Negara Myanmar
  2. Undang-undang Buruh Migran Vietnam ( Vietnamese Guest Workers) th 2007
  3. Draft Peraturan Kerajaan Thailand mengenai Pengaturan Pekerja Asing
  4. Draft ke 7 Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Enviroment and Natural Resources) Code of Cambodia

Hadir dalam Workhsop ini Ms Hillary Gbedemah, Komite CEDAW PBB yang menjelaskan kembali mengenai pokok-pokok rekomendasi yang ada dalam Konvensi CEDAW. Khususnya Bagaiman negara anggota wajib memasukkan prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan kedalam sistem perundang-undangan dan melarang tindakan diskriminasi terhadap perempuan agar perempuan bisa menikmati hak asasinya sebagai manusia dan kebebasan fundamentalnya.

Workshop ini juga dihadiri oleh pakar HAM dan Kesetaraan Jender Ms Manisha Gupte.yang memperkenalkan peserta workshop pada CEDAW Compliance Framework (“Framework”) untuk memperluas kerangka pemahaman komponen-komponanen yang ada dalam CEDAW dan bagaimana menggunakannya dalam reformasi kebijakan.

Implementasi CEDAW untuk Perlindungan Buruh Migran di Indonesia

Konvensi CEDAW telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia sejak 24 Juli 1984 dan meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Dalam kontek Indonesia dan kaitannya CEDAW dengan perlindungan terhadap buruh  migran, Sejak kelahiran konvensi ini, Komite CEDAW sudah melahirkan 34 Rekomendasi Umum (General Recommendation/ GR) yang salah satunya adalah GR 26 tentang perlindungan terhadap buruh  migran.

GR 26 menitikberatkan perhatian pada posisi rentan buruh migran perempuan terhadap pelanggaran hak asasi manusia bukan semata-mata berdasarkan status migran mereka tetapi juga diskriminasi berbasis jender termasuk buruh migran yang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).

Komite CEDAW sendiri juga telah megeluaran Concluding Comment CEDAW tahun 2012 kepada pemerintah Indonesia yang memandatkan serangkaian kewajiban negara untuk lebih melindungi buruh migran perempuan. Namun demikian hingga kini masih saja pelanggaran dilakukan diantaranya adalah masih adanya perjanjian-perjanjian bilateral yang tidak berdasarkan pada perspektif perlindungan hak, mislanya diperbolehkannya penahanan paspor, tingginya biaya penempatan dll, sehingga kerentanan buruh migran menjadi pekerja tidak berdokumen ataupun mencari jalur tidak resmi terus terjadi.

UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) yang saat ini dalam proses revisi pada kenyataannya memang tidak cukup melindungi hak-hak buruh migran perempuan dan keluarganya serta menempatkan mereka pada posisi rentan yang syarat dengan diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi. Diperlukan upaya terus menerus agar Revisi Undang-undang ini dapat menghasilkan peraturan yang memiliki prespektif penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Peserta dalam workshop ini adalah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *