sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

TPPO: MELINDUNGI KORBAN TIDAK HARUS MEMBATASI KEBEBASANNYA, LALU BAGAIMANA?

4 min read

Penahanan adalah situasi ketika seseorang “dirampas kebebasannya, kecuali sebagai akibat dari dakwaan atas sebuah pelanggaran,”

Prinsip Badan PBB untuk perlindungan semua orang dari segala bentuk penahanan atau pemenjaraan | Resolusi Majelis Umum Nomor 43/173 pada Desember 1988.

Tulisan ini merupakan catatan Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia, Bobi Anwar Ma’arif pada saat mengikuti Lokakarya Nasional Tentang Praktik Rumah Aman: Memfasilitasi Pertukaran Pengetahuan dan Pengalaman Antar Praktisi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh ACWC bekerja sama dengan ASEAN Act di Aston Imperial Bekasi pada 28 Januari 2022. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 40 orang petugas layanan dari pemerintah maupun non pemerintah.

Salah satu kegiatan pelindungan terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah memberikan rumah aman.  Pemerintah atau organisasi masyarakat sipil pengada layanan, memberikan akomodasi berupa tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Para korban harus tinggal di rumah aman selama proses identifikasi dan penanganan kasusnya.

Tidak jarang, untuk kepentingan identifikasi dan penanganan tersebut, para korban TPPO dibatasi pergerakannya. Alih-alih melindungi, justeru menjadi penahanan baru bagi korban TPPO. Sehingga tidak jarang pula para korban akhirnya merasa tertekan, bahkan kemudian kabur.  

Berdasarkan kajian Asean Act ditemukan beberapa alasan untuk menahan para korban pada rumah aman secara tertutup, yaitu:

  1. Pelaku akan menyakiti atau mengancam korban, dengan alasan perlindungan dari pelaku TPPO, dari kemungkinan diperdagangkan ulang dari diri mereka sendiri;
  2. Korban membutuhkan layanan psikososial dan pemberdayaan, alasan pendampingan untuk mengakses layanan termasuk layanan medis dan hukum;
  3. Korban harus ditahan agar bersedia membantu persidangan pelaku, alasan penuntutan agar korban dapat bersedia membantu proses peradilan pidana;
  4. Masyarakat harus dilindungi dari imigran tidak sah, alasan pengawasan imigrasi, korban berstatus tidak sah, rumah aman mengatur pemulangan.

Berdasarkan pasal 14 (8) Konvensi ASEAN menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak berbunyi, “Negara Pihak wajib tidak boleh secara tidak wajar menahan individu yang telah diidentifikasi oleh otoritas berkompeten sebagai korban perdagangan orang di dalam tahanan atau penjara, sebelum, selama atau setelah proses peradilan perdata, pidana atau administrativne untuk perdagangan orang.

Perlu upaya untuk menerabas asumsi mengenai kebutuhan menahan korban di rumah aman atau shelter, yaitu:

  1. Staf rumah aman dan penegak hukum dapat bekerjasama dengan korban untuk mengkaji, mengelola dan memitigasi resiko yang kredibel dan spesifik;
  2. Korban tidak seharusnya dihukum atas tindakan yang mereka lakukan selama menjadi korban perdagangan orang. Korban dewasa berhak membuat keputusan sekalipun buruk atas kehidupan mereka;
  3. Tidak ada bukti bahwa migran memberikan ancaman lebih besar dari non migran. Pemberian periode refleksi: peluang untuk tinggal dan bekerja secara sah, walau hanya untuk waktu yang terbatas. Perlu ada system pengelolaan kasus.
  4. Kesaksian dapat menjadi lemah dikarenakan penahanan. Alternatifnya misalnya membuat video kesaksian, pergunakan pernyataan saksi korban sebagai pengganti kesaksian.

Perlu menggali lagi apa tujuan layanan dari rumah aman untuk membantu korban, misalnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apakah pembatasan kebebasan bergerak dapat membantu pencapaian tujuan ini?
  2. Apakah korban merasa aman dan terbantu pada rumah aman yang tertutup?
  3. Apa dampak dari pembatasan kebebasan bergerak terhadap pemulihan dan reintegrasi?
  4. Peran staf pada rumah aman adalah untuk membantu korban, bagaimana mereka dapat melakukannya jika diharuskan menerapkan pembatasan dan bertindak berlawanan dengan kepentingan terbaik korban?
  5. Ketika staf rumah aman diharapkan memainkan peran de facto seperti polisi, beban apa yang mereka emban? Resiko apa yang mereka hadapi?  

Ada 10 rekomendasi praktis dalam pelayanan rumah aman atau shelter bagi korban TPPO, yaitu:

  1. Minta persetujuan korban Ketika pertama kali masuk ke rumah aman, dan sedianya hal ini dilakukan secara berkala setelahnya;
  2. Simpan catatan akurat dan rinci untuk masing-masing individu korban;
  3. Berikan waktu bagi korban untuk mempertimbangkan pilihan (periode pemulihan dan refleksi);
  4. Terapkan secara ketat proses hukum untuk keputusan terkait rumah aman;
  5. Hapuskan tujuan peradilan pidana dari keputusan dalam pemberian layanan rumah aman.
  6. Hapuskan tujuan pemberian layanan rumah aman untuk penanganan keimigrasian;
  7. Percepat kasus penindakan pelaku perdagangan orang untuk mengurangi beban korban selama berada di rumah aman;
  8. Perkenalkan kebijakan pengelolaan rumah aman untuk mengurangi beban stad pada rumah aman;
  9. Gali pilihan bantuan berbasis masyarakat
  10. Tunjuk wali untuk setiap korban anak.

Prinsip-prinsip Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk perlindungan bagi semua orang dari segala bentuk penahanan atau pemenjaraan, diadopsi dalam resolusi majelis umum No 43/173 pada 9 Desember 1988.

Penahanan adalah situasi Ketika seseorang “dirampas kebebasannya, keculai sebagai akibat dari dakwaan atas sebuah pelanggaran.

Cerita Seorang Buruh Migran Kabur Dari Shelter KBRI Irak

Ada seorang buruh migran Indonesia asal Desa Tersana Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Inisialnya Way. Dia diberangkatkan ke Erbil Irak oleh jaringan mafia penempatan ilegal. Way sempat terkejut karena dia tidak menyangka dapat bekerja di Irak. Dia merasa ditipu oleh perekrut dan agen yang memberangkatkannya.

Sesampai disana, dia bekerja sebagai seorang PRT. Sebagai PRT dia bekerja dari pagi sampai larut malam. Tidak jarang dia baru mengakhiri kerjanya pada jam 11 atau 12 malam.

Akibat kondisi kerjanya yang buruk yaitu jam kerja yang panjang. Akhirnya ia memutuskan kabur dari majikan dan mengadu ke Agen penyalur. Sayangnya, bukannya dibantu, Way justeru mengalami kekerasan fisik. Dia dipukuli oleh salah seorang pengurus Agen. Dia juga dikurung sendirian di salah satu kamar shelter agen. Selain itu, dia juga tidak dikasih makan yang layak.

Akhirnya, Way berusaha sekuat mungkin untuk kabur dari penampungan agen. Dia nekat untuk mendatangi kantor KBRI Irak. Sesampai di shelter KBRI, ternyata Way kabur juga setelah tinggal beberapa hari. Penyebab kaburnya karena karena ada pembatasan dalam menggunakan handphone.

Bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *