sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Tangani Sengkarut Tata Kelola Pengiriman Anak Buah Kapal dari Kaca Mata Pemerintah

7 min read

AKURAT.CO, * Baru pada tahun 2019, Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang standar pelatihan sertifikasi dan dinas jaga bagi awak kapal penangkap Ikan atau STCW-F.
* Sebelum konvensi STCW-F diratifikasi, ABK asal Indonesia yang dikirim ke luar negeri bukan spesifik sebagai pelaut, melainkan TKI pada umumnya.
* Soes berharap di masa mendatang semua instansi mengacu kepada UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

***

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo menilai selama ini perbudakan terhadap anak buah kapal Indonesia yang dikirim ke luar negeri masih berlangsung karena perlindungan terhadap mereka masih lemah.

Indonesia belum meratifikasi semua konvensi internasional menyangkut perlindungan awak kapal pencari ikan.

Baru pada tahun 2019, Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang standar pelatihan sertifikasi dan dinas jaga bagi awak kapal penangkap Ikan atau STCW-F.

“Konvensi ini tentang sertifikasi standar untuk watchkeeping dari pekerja di kapal ikan. Nah konvensi ini sangat dibutuhkan karena konvensi inilah yang mengesahkan atau mengakui keahlian atau ijazah-ijazah dari para nelayan atau awak kapal kita yang bekerja di luar negeri,” kata Basilio.

 

Dengan demikian, semua lembaga pendidikan dan pelatihan memakai semua ketentuan yang diatur STCW-F ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ABK kapal penangkap ikan.

Sebelum konvensi STCW-F diratifikasi, ABK asal Indonesia yang dikirim ke luar negeri bukan spesifik sebagai pelaut, melainkan TKI pada umumnya.

“Nah dengan demikian, mereka itu terpaksalah karena tidak mendapatkan pengakuan keahliannya, maka dia tidak bisa pada posisinya sesuai dengan keahliannya dia kan? Akhirnya terjadilah semua kegiatan-kegiatan yang menjebak mereka menjadi budak di sektor perikanan di luar negeri,” ujarnya.

Indonesia memang memiliki sejumlah undang-undang, seperti UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pelindungan Nelayan, dan UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, namun belum membahas secara khusus soal pekerja migran yang dipekerjakan sebagai ABK kapal penangkap ikan.

Basilio menyontohkan salah satu pasal dalam UU tentang Pelayaran yang menyebutkan sektor tenaga kerja diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Tetapi, sampai sekarang Kementerian Ketenagakerjaan tidak pernah menerbitkan peraturan tenaga kerja sektor maritim.

“Nah pengesahan dari maritime conventions pun baru, nah tetapi maritime level conventions itu untuk awak kapal niaga. Nah sementara untuk kapal ikan itu adalah Konvensi ILO C-188, nah jadi konvensi yang bisa melindungi pekerja dari sektor perikanan di atas kapal ikan saja itu sampai hari ini belum diratifikasi,” kata dia.

Contoh lain lagi yang dikemukakan oleh Basilio, yaitu dalam UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang disebutnya mengandung kesalahan fatal. Salah satu pasal menyebutkan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Padahal, istilah pelaut awak kapal jarang digunakan di sektor kemaritiman.

“Jadi artinya hal itu menunjukkan bahwa orang-orang yang menyusun UU PPMI saja pun tidak tahu perbedaan apa yang dimaksud dengan pelaut, apa yang dimaksud dengan awak kapal, lalu apa dan maksud pelaut di sektor kapal niaga, apa yang dimaksud dengan pelaut di sektor perikanan, mereka tidak tahu. Maka melahirkanlah nama atau istilah yang tidak dikenal dimana-mana. Jadi memang dilihat dari sektor maritim ini masih sangat jauh,” kata dia.

Selain itu, Basilio menilai selama ini Kementerian Ketenagakerjaan hanya fokus kepada pekerja yang berada di darat. Hal itu terlihat dari struktur organisasi di Kementerian Ketenagakerjaan yang tidak satupun direktorat jenderal, direktorat, eselon tiga, ataupun eselon empat yang menangani pekerja sektor maritim.

“Saya betul-betul sangat mengharapkan kalau bisa mereka itu punya satu dirjen tersendiri atau satu direktur tersendiri,” tutur dia.

Basilio mengatakan pemerintah menyadari pekerja sektor perikanan masih terlantar karena ketentuan yang mengatur keberadaan mereka selama ini tidak terkoordinasi dengan baik.

Di dunia internasional, ada dua konvensi khusus pelaut, yaitu STCW-F tentang fishing personnel dan ILO C-188 tentang working fishing and condition. Dalam Konvensi ILO, pekerja perikanan istilahnya nelayan, sedangkan dalam Konvensi STCW-F istilahnya awak kapal perikanan.

Tetapi di dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat Kementerian Kelautan dan Perikanan, kata Basilio, definisi nelayan tidak sama dengan definisi Konvensi ILO.

Selain itu, dalam peraturan juga tidak ada definisi tentang awak kapal perikanan sebagaimana diatur dalam Konvensi STCW-F

“Nah di sini menunjukkan betul bahwa orang KKP sendiri pun ya tidak mengikuti aturan-aturan konvensi internasional. Apalagi orang dari Kementerian Tenaga Kerja,” ujarnya.

Terkait belum ada data valid mengenai jumlah WNI yang bekerja di atas kapal penangkap ikan, Basilio menilai hal itu, antara lain terjadi karena belum ada koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Dalam Negeri, terutama dalam hal pencantuman pekerjaan ABK atau nelayan.

“Apakah Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri? Saya yakin belum, sebab saya belum melihat KTP yang isi pekerjaannya itu disebutnya nelayan,” kata Basilio.

Padahal, kata dia, UU telah memerintahkan kepada Kementerian Dalam Negeri supaya membuat KTP sesuai dengan jenis pekerjaan. Status pekerjaan dalam KTP yang sesuai dengan aslinya, selain membantu memperbaiki data, juga memudahkan petugas imigrasi melakukan pengontrolan.

“Mungkin kita akan mengusulkan supaya ada rapat antar menteri. Supaya nanti ada permintaan dari hasil rapat, mungkin supaya nanti mendagri menerbitkan surat edaran kepada gubernur, bupati, wali kota dan segala macam itu supaya mencantumkan pekerjaan sebagai nelayan pada KTP bagi mereka yang berposisi sebagai nelayan,” kata Basilio.

“Nah itu baru satu saja, belum lain-lain. Banyak peraturan-peraturan yang harus disesuaikan dengan konvensi-konvensi internasional,” tutur dia

***

Kepala Biro Humas Kementerian Tenaga Kerja Soes Hindarno menyadari tata kelola anak buah kapal penangkap ikan, terutama yang dikirim ke luar negeri, memang belum baik.

Pertama, selama ini penanganannya belum satu pintu.

UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, kata Soes, memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengurus dan menangani tenaga kerja Indonesia di negara penempatan (baik di laut maupun darat). Soes mengatakan hal ini sesuai dengan Konvensi ILO, termasuk dalam hal hubungan kerja, upah, perjanjian, dan kontrak kerja.

Tetapi persoalannya, sejumlah kementerian lain juga memiliki regulasi sendiri.

“Sebelum UU Nomor 18 mengenai PPMI terbit, (Direktorat Jenderal) Perhubungan Laut sudah memiliki regulasi dengan perpres yang mengatur ABK. Akhirnya, sampai saat ini, penempatan PMI di laut, itu endorsmennya ada di Perhubungan Laut dan (Kementerian) Perdagangan,” kata dia.


Akibatnya, Kementerian Ketenagakerjaan tidak bisa memantau jumlah dan keabsahan agen penyalur ABK, padahal seharusnya kewenangan mulai dari hulu sampai hilir berada di bawah Kementerian Ketenagakerjaan.

Soes menambahkan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO, permasalahan ABK tidak dibahas secara spesifik dalam UU PPMI. Akibatnya, masing-masing kementerian memiliki aturan sendiri.

“Kesannya jadi tidak ada yang mengatur,” kata Soes.

Soes mengakui Kementerian Ketenagakerjaan tidak memiliki data akurat mengenai jumlah ABK dan penempatannya. Karena tak memiliki data akurat, Kementerian Ketenagakerjaan akhirnya tidak dapat mengetahui keadaan mereka selama bekerja, terutama menyangkut apakah hak-hak mereka sebagai tenaga kerja sudah dipenuhi atau belum.

“Yang tahu hanya nakoda kapal atau pemilik kapal. Nah di situ kita menjadi prihatin karena belum ada satu regulasi yang secara sesuai kewenangannya untuk mengatur hal-hal gini sehingga berdampak pada PMI,” kata dia.

Soes mengatakan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memang memiliki andil mengurusi permasalahan ABK, namun lebih kepada administrasi perkapalan, seperti apakah kapal masih layak jalan atau tidak, kemudian soal buku pelaut atau surat izin dari para ABK.

“Tapi hubungan kerja antar bawahan dengan majikan itu ketentuan regulasinya harus diatur di wiliayah ketenagakerjaan. Ini yang belum jalan,” katanya.

Soes mengakui pula UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum diimplementasikan dengan baik karena masing-masing kementerian masih berkutat pada masalah siapa yang berwenang mengurus ABK.

“Kalau (menurut) UU Nomor 18 dan Konvensi ILO kewenangannya ada di Kementerian Ketenagakerjaan. Tapi di satu sisi kementerian lain juga punya regulasi yang mengatakan ‘oh nggak bisa.’ Itu yang terjadi, jadi belum jelas kita mau pakai aturan yang mana,” ujarnya.

Itulah sebabnya, Soes sekarang ini berharap pada UU Omnibus law yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. UU ini diharapkan dapat menyelaraskan semua regulasi yang ada sekarang agar tidak terjadi tumpang tindih lagi.

Kedua, sertifikasi calon ABK penangkap ikan sangatlah penting untuk diperhatikan agar kemampuan mereka diakui di luar negeri. Selama ini, banyak ABK asal Indonesia yang tidak kompeten, tetapi tetap direkrut.

“Banyak yang terjadi mereka jadi awak kapal berenang aja nggak bisa, karena rekrutnya cuma diambil dari pinggiran Pantura, orang nganggur diambil, tapi nggak bisa berenang. Itu pasti juga tidak kompeten,” kata Soes.

Ketiga, untuk melindungi ABK semua kementerian maupun pemerintah daerah harus konsisten menyatakan bahwa perekrutan ABK secara non prosedural tidak boleh dilakukan.

“Nah ini kan harus ada komitmen dan konsistensi seluruh kementerian terkait. Contohnya paspornya seperti apa, izin kerja, izin tinggal atau izin turis seperti apalah. Kalau ini ego sektornya masih kuat atau masih ter-elementer, berarti sampai kapanpun tidak akan ada data mengenai pekerja di luar negeri,” kata Soes.

Keempat, harus ada sistem yang terintegrasi antar kementerian dan lembaga. Menurut Soes Kementerian Koordinator Perekonomian bisa menjadi leading sector induk jika sistem tersebut telah dibuat.

“Agar semua kementerian terkait yang menempatkan TKI keluar negeri, khususnya pelaut, termasuk Kementerian Perhubungan harus terintegrasi sistemnya. Jadi ketahuan si A kerja dimana, sebagai apa, gajinya berapa,” kata dia.

Hal ini nanti terkait pula pada pendataan ABK penangkap ikan di luar negeri. Soes mengakui sejauh ini belum ada data jumlah ABK secara akurat. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada pekerja di darat.

“Yang di laut jarang sekali yang melaporkan ke embassy, contohnya orang bekerja ke Taiwan, jarang yang melaporkan keberadaannya ke KBRI sehingga kedutaan atau embassy dan lain-lain juga tidak dapat meng-create berapa jumlah ABK yang masuk kesana, kerja di perairan mana, kapal berbendera apa, milik siapa, itu kesulitan,” kata dia.

Basilio mengakui memang untuk mengurai permasalahan awak kapal pencari ikan tidak mudah dilakukan karena sejak awal tidak ada yang mengaturnya secara spesifik.

“Jadi Kementerian Ketenagakerjaan yang diperintahkan oleh UU Pelayaran tidak melakukan pekerjaannya. Lalu Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan UU PPMI definisi awak kapal pun salah juga. Ya udah harus kerja dari awal kita.”

Untuk mengurai carut marut tata kelola awak kapal penangkap ikan, baik yang dipekerjakan di dalam negeri maupun di luar negeri, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman membentuk Tim Perlindungan Awak Kapal Ikan.

Tim beranggotakan sejumlah instansi, di antaranya Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Pembentukan tim perlindungan awak kapal perikanan akan fokus menangani tiga wilayah kerja, yaitu penyelarasan peraturan, perundangan-undangan nasional dan internasional; pengawasan bersama; dan edukasi, rekrutmen, penempatan, pelaporan, dan pelayanan.

Tetapi Soes menilai Tim Nasional Perlindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan ini lebih ke arah pemantauan di dalam negeri.

“Jadi, tim ini biarpun secara makro semuanya digeneralisir, tapi pada kenyataannya lebih ke arah dalam negeri,” kata Soes. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *