sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SIARAN PERS TENAGANITA: MIGRANT DAY 2019

7 min read

Tepat pada Hari Migran Internasional 2019, Tenaganita ingin memperingati jutaan pekerja migran (yang diperkirakan berjumlah antara tiga hingga lima juta pekerja di Malaysia) yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Malaysia dan untuk kesejahteraan semua orang yang tinggal di Malaysia.

Peran pekerja migran di Malaysia tak tergantikan dan Tenaganita ingin mengangkat beberapa masalah pekerja migran di Malaysia yang cenderung terabaikan.

Pekerja Rumah Tangga Dikecualikan Dari Perlindungan Hukum

Menurut Malaysian Maid Employers Association (MAMA) pada tahun 2018 ada lebih dari 250.000 Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang terdaftar di Malaysia yang semuanya adalah pekerja migran. Para pekerja ini memberikan pelayanan yang tak ternilai di rumah dengan merawat anak-anak, orang tua, dan membantu mengelola rumah tangga, sehingga memungkinkan orang Malaysia untuk menikmati standar hidup yang jauh lebih tinggi dan pada saat yang sama, memungkin para ibu untuk bekerja. Namun, Undang-Undang Ketenagakerjaan di Malaysia tidak mengakui para pekerja rumah tangga sebagai pekerja, namun menganggap mereka sebagai pembantu/pelayan rumah tangga (domestic servant) dan mengecualikan mereka dari banyak ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 1955.

Perayaan Hari Migran Internasional akan menjadi tidak berarti bagi ribuan PRT yang harus menanggung beban bekerja dalam jangka waktu yang terlalu panjang, sering kali dibayar rendah atau tidak dibayar sama sekali, tidak mendapatkan makanan yang layak, tidak mendapatkan tempat yang layak untuk beristirahat, tidak diberikan cuti satu hari dalam seminggu untuk bersistirahat, tidak diizinkan untuk menghubungi keluarga dan teman, mengalami pelecehan secara verbal dan fisik, dan dikurung di rumah majikan.

Kami tidak menafikan kenyataannya bahwa ada pula majikan yang memperlakukan pekerja rumah tangga mereka dengan hormat dan adil, sejumlah kasus yang ditangani oleh Tenaganita menyoroti fakta bahawa pelecehan terhadap pekerja rumah tangga di Malaysia sering terjadi. Contohnya, banyak dari kita mungkin pernah mendengar mengenai kasus Adelina Sau yang meninggal dua tahun lalu akibat kekerasan yang dialami saat bekerja di rumah majikannya.

Namun, tidak banyak yang mengetahui kasus yang baru-baru ini ditangani oleh Tenaganita yang melibatkan seorang pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan sehingga membutakan kedua matanya.

Pekerja rumah tangga juga sepenuhnya dikecualikan dari Perintah Upah Minimum sejak pertama kali disusun pada tahun 2012 hingga amandemen terakhir pada tahun 2018. Tenaganita secara berkala menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga yang tidak dibayar sama sekali selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Dalam sebuah kasus yang baru, Tenaganita berhasil mendapatkan lebih dari RM70,000 (serata dengan Rp 236.628.063) yang merupakan upah kerja selama 9 tahun (2011-2019) dari seorang majikan yang menggaji pekerjanya dengan upah di bawah standar minimum; saat ini kami juga sedang menangani kasus lain dimana upah sebesar lebih dari RM250.000 (setara dengan Rp 845.100.227) yang belum dibayarkan oleh seorang majikan kepada PRTnya yang sekaligus merupakan pekerja umum di tempat bisnis sang majikan yang telah bekerja dari tahun 2013-2019. Dalam hal ini, PRT tersebut tidak hanya melakukan pekerjaan rumah, namun juga sebagai pekerja komersial di toko majikannya.

Hingga September 2019, Tenaganita telah menangani kasus yang melibatkan pekerja rumah tangga, yaitu sebanyak 55 perempuan dan 45 laki-laki di Klang Valley dan 48 perempuan dan 28 laki-laki di Penang. Kasus-kasus terebut juga termasuk kasus pada tahun sebelumnya yang masih ditangani pada tahun 2019. Jika hanya menghitung jumlah kasus baru, ada sekitar 77 kasus mengenai pekerja domestik yang Tenganita terima pada tahun 2019. Ini hanyalah sebagian kecil, puncak gunung es masalah pekerja rumah tangga di Malaysia yang bekerja tanpa pengawasan oleh departemen tenaga kerja.

Bagaimana mungkin PRT dengan izin kerja resmi tidak dibayar selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun? Bagaimana mungkin mereka harus menjadi target penganiyaan yang menyeramkan selama berbulan-bulan, hingga menyebabkan cedera parah atau bahkan kematian? Tidakkah situasi ini mengindikasikan masalah dalam prosedur pengelolaan PRT dalam kementerian dalam negeri saat ini yang mengeluarkan izin kerja bagi para pekerja dan kementerian sumber daya manusia yang bertanggun jawab atas perlindungan pekerja?

Pada Hari Migran Internasional 2019, Tenaganita mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah untuk memastikan bahwa pekerja rumah tangga mendapatkan perlindungan hukum yang layak sehingga mereka dapat menggunakan hak-hak dasar mereka seperti mendapatkan jam kerja yang teratur, standar upah minimum, perlindungan sosial, kebebasan untuk bergerak, kebesan untuk berserikat dan akses kepada mekanisme pengaduan yang efektif untuk mendapatkan kompensasi.

Mempekerjakan Kembali Atau Penipuan Perdagangan Orang

Pada tahun 2016, pemerintah Malaysia mengumumkan “Program Rehiring” untuk memungkinkan pekerja migran tidak berdokumen untuk dilegalisasi dan mendapatkan izin kerja yang sah. Tiga perusahaan resmi- Konsortium PMF (MYEG), Bukti Megah Sdn. dan International Marketing and Net Resources Sdn. (IMAN Resources)- ditunjuk oleh pemerintah untuk menangani program Rehiring ini.

Ada sekitar 744,000 pekerja migran yang mendaftar untuk program Rehiring menggunakan layanan dari perusahaan yang ditunjuk pemerintah. Ketika program tersebut berakhir pada 30 Juni 2018, hanya sekitar 110,000 dari para pekerja migran yang mendaftar telah memperoleh izin kerja mereka. Kasus-kasus yang ditangani oleh Tenaganita menunjukkan bahwa setiap pekerja migran rata-rata telah membayar sekitar RM 6000 kepada perusahaan yang ditunjuk tersebut. Para pekerja migran yang tidak mendapatkan izin kerja terpaksa kehilangan semua uang yang telah mereka bayar dan juga harus kehilangan paspor yang telah mereka serahkan kepada pihak perusahaan tersebut.

Pemerintah menolak untuk bertanggung jawab atas kegagalan program tersebut dan atas kerugian yang dialami oleh pekerja migran; sebaliknya melemparkan kesalahan kepada perusahaan perusahaan tersebut.

Di sisi lain, perusahaan tersebut menyalahkan pemerintah karena gagal memproses pendaftaran secara tepat waktu. Menurut laporan para pekerja migran yang mencari bantuan dari Tenganita, keseluruhan program Rehiring tersebut penuh dengan ketidakefisienan dan korupsi. Akibatnya, sekitar setengah juta pekerja migran menjadi korban dari penipuan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghasilkan uang dari para pekerja migran. Mereka tidak hanya kehilangan uang dan paspor dan tetap tidak berdokumen, tetapi mereka juga terus ditahan, didakwa di pengadilan dan dideportasi.

Pada bulan Agustus 2019, pemerintah mengumumkan program amnesti yaitu Back For Good, di mana pekerja migran tidak berdokumen dapat secara mandiri menyerahkan diri dan kembali ke negara asal dengan membayar denda sebesar RM700.

Tenganita menekankan bahwa program ini sangat tidak adil bagi mereka yang telah mendaftar pada program Rehiring dan tetap tidak berdokumen, padahal ini bukanlah kesalahan mereka. Kami berpendapat bahwa pemerintah tidak seharusnya melepaskan tanggung jawab atas tindakan atau kesalahan dari perusahaan resmi yang ditunjuk oleh negara. Maka dari itu, sudah sepantasnya pemerintah berhenti menangkap pekerja migran yang telah mendaftar untuk program Rehiring, akan tetapi seharusnya mengambil langkah cepat untuk melegalkan para pekerja ini. Jutaan ringgit yang didapatkan dari para pekerja migran yang telah mendaftar untuk program Rehiring namun tidak dipekerjakan kembali seharusnya digunakan hanya untuk kepentingan pekerja migran. Uang tersebut tidak layak untuk diperlakukan sebagai pendapatan bagi pemerintah atau menjadi milik perusahaan yang mengelola program Rehiring.

Kematian

Kebanyakan orang Malaysia sadar akan kehadiran pekerja migran di hampir setiap sektor ekonomi kita, tetapi yang tidak disadari adalah fakta bahwa ratusan dari mereka meninggal setiap tahunnya di negara ini. Statistik komprehensif dan terpusat mengenai kematian pekerja migran di Malaysia tidaklah mudah untuk didapatkan. Namun demikian, statistik yang tersedia menyajikan gambaran suram mengenai ketidakpedulian yang memprihatinkan.

Sebagai contoh, hanya satu provinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur- NTT) yang mencatat adanya 91 mayat yang datang dari Malaysia pada 2019 (hingga Oktober), yang berarti bahwa setidaknya 9 pekerja migran dari satu provinsi, meninggal di Malaysia setiap bulannya. Demikian pula, di tahun 2018, tercatat ada 95 kematian pekerja migran dari provinsi yang sama.

Dengan pertimbangan bahwa NTT hanyalah satu dari 34 provinsi di Indonesia, bukanlah tidak mungkin bahwa ratusan pekerja migran dari Indonesia meninggal di Malaysia setiap tahun.

Dalam sebuah kasus mengenai sekitar 400.000 buruh kasar dari Nepal, ada 322 kematian yang dilaporkan pada tahun 2018. Sesuai dengan laporan LSM, hampir setiap harinya ada seorang pekerja migran Nepal yang pulang dari Malaysia dalam peti mati.

Menurut berbagai data laporan tidak resmi, ada sekitar 800.000 sampai satu juta pekerja migran Bangladesh yang berada di Malaysia. Pada tahun 2018, jumlah kematian di komunitas ini dilaporkan berjumlah 736 pekerja, dengan rata-rata dua kematian dalam satu hari.

Kematian adalah bagian dari fakta kehidupan, tetapi jumlah pekerja migran yang meninggal di Malaysia setiap harinya sangatlah memprihatinkan. Yang lebih menganggu adalah kenyataan bahwa orang Malaysia dan misi diplomatik negara-negara pengirim yang sangat ingin “mengeskpor” warganya agar dapat mengirimkan remitansi, tampaknya menunjukkan minat yang rendah untuk memeriksa penyebab kematian ini dan mencari cara untuk meminimalisir kejadian seperti ini.

Sayangnya, laporan post mortem atau laporan pasca kematian, yang seharusnya menjadi sumber informasi mengenai penyebab kematian, patut dipertanyakan. Dari laporan tersebut, sejumlah besar kematian disebabkan oleh serangan jantung, bunuh diri, dan penyebab lain yang tidak dapat diidentifikasi. Para pekerja migran yang datang ke Malaysia sebagain besar adalah laki-laki dan perempuan muda yang sehat, yang sudah menjalani pemeriksaan medis di negara mereka sendiri dan satu pemeriksaan medis tambahan di Malaysia setelah sampai di negara ini. Maka dari itu, tingginya jumlah kematian yang disebabkan oleh serangan jantung dan penyebab lain yang tidak dapat diidentifikasi harus dianalisa secara kritis. Mungkinkah ada penyabab lain yang berkontribusi pada kematian ini seperti bekerja melampaui batas, penanganan bahan beracun, kondisi hidup yang tidak sehat, kurang gizi, stres secara fisik dan psikologis? Pada kasus-kasus yang lebih jelas seperti kecelakaan, kondisi kesehatan dan keselamatan di tempat kerja harus diselidik lebih teliti. Sayangnya, seringkali jenazah pekerja migran yang meninggal di Malaysia ini terlalu tergesa-gesa dipulangkan kepada keluarga yang berduka atau dimakamkan tanpa laporan resmi sehingga menunjukkan ketidakpedulian dari pemerintah negara pengirim pekerja dan pihak berwenang Malaysia terhadap kesejahteraan pekerja migran di negara ini.

Perayaan Hari Migran Internasional hanya bisa dirayakan oleh para pekerja migran bila mereka dapat melihat langkah nyata yang diambil oleh pemerintah Pakatan Harapan untuk memastikan bahwa para pekerja migran tidak akan menjadi korban, mereka dapat menggunakan hak-hak mereka sebagai pekerja, dapat hidup dan bekerja dengan penuh rasa hormat dan bermartabat.

Pada Hari Migran Internasional 2019, Tenaganita ingin menekankan kata-kata dari Menteri Sumber Daya Manusia, “Kita perlu memastikan martabat dan perlindungan pekerja dalam negeri dan asing. Bagaimana jika lebih dari satu juta orang Malaysia yang bekerja di luar negeri diperlakukan dengan cara seperti ini? Bagaimana perasaanmu jika mereka juga menghadapi perlakuan yang sama?”


Glorene Das
Executive Director
TENAGANITA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *