sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SATU KAPAL, KEMNAKER DAN TAPMI SATU PANDANGAN TERHADAP JR UU PPMI DI MAHKAMAH KONSTITUSI

3 min read

Jakarta, 15 Januari 2024- Serikat Buruh Migran Indonesia yang tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) dengan 6 serikat dan 3 NGO lainnya melaksanakan audiensi bersama Kementerian Ketenagakerjaan guna menyelaraskan pandangan dengan pemerintah dalam upaya mempertahankan Pasal 4 ay at 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017  (UU 18/2017) tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Biro Hukum Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 

Permohonan uji materi terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No. 18/2017, pada dasarnya bertujuan untuk mengecualikan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing sebagai pekerja migran, yang apabila permohonan uji materi tersebut dikabulkan, maka awak kapal niaga dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing tidak lagi mendapatkan jaminan pelindungan yang komprehensif sebagai pekerja migran Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 18/2017.

Audiensi ini diterima oleh disposisi menteri tenaga kerja yaitu biro hukum ketenagakerjaan kemnaker RI. Audiensi ini dibuka oleh Tim Advokasi Ketenagakerjaan Kemnaker, Hendri Wijaya yang menaungi terkait berbagai JR UU, kebijakan atau regulasi lain yang diterbitkan oleh kementerian ketenagakerjaan. Ia menyebutkan bahwa penerbitan UU 18/2017 ini salah satunya, sebagai bentuk pelindungan untuk para pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing yang mulanya sangat disingkirkan dari regulasi yang lama.

“Desain awal kemnaker membuat regulasi ini memang dikhususkan untuk sisi pelindungan para pekerja migran. Terkait isu yang beredar bahwa mekanisme yang ada di luar negeri  bagi pemohon CPMI dianggap lebih sulit, sebenarnya kemnaker di UU 18/2017 bertujuan hanya untuk memastikan pekerja pelaut itu selamat dan aman di negara penempatan serta tidak ditempatkan asal-asalan. Itu dasar filosofis kami menyusun regulasi ini.” tutur Hendri

Hal ini kembali ditimpali oleh Karim, dari Direktorat Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kemnaker RI, bahwa dari kemnaker sendiri tidak ada maksud lain selain memberikan pelayanan pelindungan ketenagakerjaan. “Dari unit teknis kami melihat bahwa banyak salah tafsir dari teman-teman pemohon JR di Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 18/2017, karena ada konteks bahwa kemnaker mau menggarong semua izin teknis untuk bekerja keluar negeri. Padahal dalam konteks pelaut migran, kami hanya menguatkan sisi pelindungannya, karena tidak mungkin kemnaker juga mengurusi sampai ke buku pelaut maupun paspor.” terang Karim

Sejalan dengan pernyataan kemnaker, TAPMI pun merasa terakomodirnya pelindungan pelaut migran dalam revisi UU 39/2004 ke UU 18/2017 merupakan sebuah sejarah yang harus dipertimbangkan dalam JR di mahkamah konstitusi. “TAPMI bersepakat bahwa sejarah penerbitan UU 18/2017 wajib untuk masuk dalam argumentasi dari pemerintah. Karena harus ditekankan bahwa; masuknya pasal 4 huruf c ini tidak tiba-tiba, dan inilah hasil perjuangan kita semua telah lakukan. Bahkan pembahasan judul regulasi inni  kita perdebatkan selama 4 tahun lamanya.” pungkas Hariyanto, Ketua Umum SBMI

Kepastian hukum terhadap status awak kapal niaga dan awak kapal perikanan migran sebagai Pekerja Migran Indonesia untuk upaya pelindungan yang maksimal merupakan langkah advokasi yang panjang. Sebelum terbitnya UU No. 18/2017, AKP Migran tidak memiliki status hukum yang pasti, meskipun UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah menegaskan bahwa pelaut dikategorikan sebagai pekerja migran Indonesia karena tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan teknis.

“Sama dengan pernyataan dari teman-teman kemnaker, bahwa posisi TAPMI disini dengan jelas untuk menyampaikan dukungan ke kemenaker. TAPMI menginginkan pasal 4 ayat (1) huruf c yang mengkhususkan pelindungan pelaut migran tetap berada di koridor ketenagakerjaan. Karena jika mengacu pada UU Pelayaran, pelindungan tidak diberikan secara optimal” terang Syofyan, Sekretaris Jenderal  SAKTI

Menguatkan pernyataan TAPMI, Kemnaker juga mengatakan bahwa terbitnya UU 18/2017 serta salah satu aturan teknis terkait pelaut migran di Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran merupakan mandat yang dirumuskan langsung ke kementerian ketenagakerjaan, tanpa ada maksud terselubung apapun.  Audiensi ini ditutup oleh pernyataan Direktur Bina Penempatan PMI (P2PMI) Kemnaker RI, Rendra Setiawan menyatakan bahwa pengaturan dalam UU 18/2017 hanya mengatur terkait pelindungan pekerja bukan membawahi semua pengaturan teknis dokumen, perizinan dan penempatan.

“Dalam hal ini, perlu kami tegaskan bahwa Kemnaker bukan lembaga pelayanan teknis PMI. Kemnaker tidak mempunyai mandat untuk dapat mengambil semua kewenangan terkait penempatan pekerja migran. Kemnaker sebagai lembaga pelayanan ketenagakerjaan, dalam hal ini terkait pelindungannya. Pun kemnaker terus berharap untuk terus berkolaborasi dengan TAPMI dalam JR UU ini” jelas Rendra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *