sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Layanan SPKT Kasus TPPO Sekarang Lebih Mudah

2 min read

Ditanya tentang apa saja kendala yang dialami oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam memberikan laporan polisi terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Sekjen SBNMI Bobi Anwar Ma’arif menjawab bahwa ada perbedaan mencolok antara periode sebelum Juni 2023 dengan sesudahnya.

Menurutnya, perbedaan mencolok sebelumnya dalam penanganan TPPO yaitu laporan TPPO sangat sulit diterima di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) sementara saat ini, setelah ada intruksi dan ancaman pemecatan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Listio Sigit Prabowo prosesnya jadi sangat mudah.

Kapolri Listio Sigit Prabowo telah mengintruksikan kepada anggota polisi untuk menangkap pelaku TPPO pada Juni 2023, dan mengancam akan memecat jika anggotanya tidak mampu mengungkap pelaku TPPO.

“Bahkan dibeberapa daerah, polisi meminta data para pelaku penempatan ilegal yang diduga merupakan pelaku TPPO kepada SBMI,” katanya pada saat menyampaikan presentasi pada kegiatan konsultasi regional Tentang Hak Asasi Manusia dan Penanggulangan TPPO yang bertajuk Membangun Sistem Rujukan Untuk Kekerasan Berbasis Gender Dan Perdagangan Orang Di Negara-Negara Asean.

Pada konsultasi kawaasan yang diselenggarakan di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta itu, Bobi Anwar Ma’arif menambahkan bahwa SBMI telah menscreening kasus Buruh Migran Indonesia dengan form TPPO. Hasilnya ada 1225 kasus yang terindikasi TPPO. Dari data tersebut kemudian dipulah berdasarkan sektornya ditemukan fakta 262 dialami oleh PRT Migran, 267 dialami oleh Buruh Migran Indonesia yang bekerja pada penipuan online, dan 696 Buruh Migran Indonesia yang bekerja sebagai Awak Kapal Perikanan Migran.

“Sayangnya, dari data tersebut yang berhasil mendapatkan Laporan Polisi (LP) hanya 22 kasus saja. Dari 22 LP yang berhasil masuk ke proses peradilan hanya 12 perkara saja. Dengan jumlah korban TPPO sebanyak 44 orang,” jelasnya.

Lebih lanjut Bobi Anwar Ma’arif menjelaskan jika proses peradilan yang dialami oleh Buruh Migran Indonesia yang menjadi korban TPPO itu baru sebatas memanjarakan pelakunya saja, sementara hak Buruh Migran Indonesia atas kerugiannya belum didapatkan. Meskipun hak mendapatkan ganti rugi (restitusi) itu menurut aturannya (UU 21-2007) harus didapatkan.

“Perkemabangan terbaru terkait hak restitusi saat ini, sudah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korean Tindak Pidana. Kemudian pada implementasinya, misalnya di Pengadilan Negeri Indramayu, ada statemen jika pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi kepada korban, maka akan ada penyitaan aset oleh Aparat Penegak Hukum,” jelasnya

Bobi Anwar Ma’arif berharap, praktik terbaik saat ini terkait dengan layanan SPKT dan pelaksanaan restitusi yang mengedepankan hak korban TPPO di Indramayu ini menjadi yurisprudensi bagi seluruh Indonesia. Dengan demikian korban TPPO mendapatkan ganti rugi yang menyejahterakannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *