sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

KETERANGAN LENGKAP DARI ANDY YENTRIYANI AHLI PIHAK TERKAIT SBMI

7 min read

Jakarta, 31 Agustus 2020. Selamat pagi dan salam nusantara.
Majelis Hakim yang kami hormati, pertama-tama terima kasih karena telah memperkenankan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyampaikan pendapat kami mengenai perkara yang diajukan ini. Kami membagi penyampaikan kami dalam 5 tahapan, yaitu tentang Komnas Perempuan, latar belakang dari pertimbanganpertimbangan kami, serta pendapat terhadap pasal-pasal yang diajukan, dan kesimpulan.

Sebagaimana yang diketahui, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga hak asasi nasional manusia dengan  dengan mandat spesifik, yaitu untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan untuk perlindungan hak asasi manusia, perempuan khususnya. Lahir dari Tragedi Mei 1998, kami diberi kewenangan untuk melakukan pendidikan, pemantauan, pencarian fakta, pendokumentasian, pengkajian untuk melakukan rekomendasi kebijakan, dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Acuan kerja kami adalah konstitusi dan juga terutama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang memastikan komitmen negara untuk menghapuskan penyiksaan.

Dalam pekerjaan Komnas Perempuan, isu buruh migran telah menjadi bagian sedari awal. Kami melakukan pemantauan, pengkajian, dan juga dukungan untuk penyelesaian kasus, serta rekomendasi kebijakan. Secara umum, migrasi menjadi pantauan Komnas Perempuan dalam konteks selain kerja, juga pada konflik dan trafficking. Berdasarkan pemantauan-pemantauan Komnas Perempuan tersebut, kami dapat menyimpulkan bahwa migrasi yang terjadi di Indonesia berwajah perempuan dan kerentanan yang dihadapi oleh perempuan sejak berangkat hingga dia kembali. Data menunjukkan bahwa persentase perempuan yang bekerja di luar negeri lebih tinggi daripada yang laki-laki. Dan di dalam seluruh proses, baik itu mulai dari rekrutmen sampai pemulangan sektor yang ia masuki, risiko yang ia hadapi, maupun dampak yang harus ditanggung oleh perempuan berbeda dari pekerja migran yang laki-laki. Kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran memiliki lapisan yang berganda, baik karena jenis kelaminnya maupun jenis pekerjaannya. Misalnya saja sebagai contohnya, pekerja migran laki-laki dapat kembali keluarganya yang relatif stabil, dibandingkan dengan pekerja migran yang perempuan. Kami menemukan bahkan pernah ada kebijakan daerah yang menjadikan kepergian pekerja migran perempuan sebagai alasan membolehkan poligami.
Untuk jenis pekerjaannya sendiri, banyak dari pekerja migran perempuan Indonesia yang bekerja di sektor domestik yang jauh dari sentuhan hukum ketenagakerjaan. Meletakkan mereka di ruang-ruang privat ketika eksploitasi dan kekerasan hampir tidak bisa terlihat.

Data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan dari pelaporan langsung ke lembaga kami menunjukkan bahwa baik itu kekerasan dan eksploitasi yang dialami oleh perempuan pekerja migran, sering kali bertaut dengan persoalan perdagangan manusia. Bahkan dalam upaya untuk membebaskan diri dari kekerasan ada sejumlah pekerja perempuan migran Indonesia yang harus berhadapan dengan hukuman mati. Semua hal ini terjadi sementara kita juga mengetahui bahwa sudah ada undang-undang yang mencoba untuk melindungi pekerja migran dari isu perdagangan, termasuk di dalamnya pemanfaatan tenaga kerja, pemanfaatan tenaga dan kemampuan menempatkan seseorang dalam kondisi serupa perbudakan, penindasan, dan
pemerasan.
Jika kita membandingkan data-data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan pada tahun sekarang dengan temuan pelapor khusus PBB untuk pekerja migran dalam misinya ke Indonesia pada tahun 2006 dan juga pelapor khusus PBB dalam misinya ke Indonesia untuk penghapusan penyiksaan pada tahun 2007. Hampir tidak adaperubahan karena kita melihat kerentanan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan yang dihadapi oleh perempuan buruh migran Indonesia, mulai dari rekrutmen, sebelum keberangkatan, di masa kerja, dan pemulangan, terus berulang dan masif hingga saat ini.
Ketika terjadi kondisi eksploitatif terhadap perempuan Buruh Migran Indonesia, pelaksana penempatan tenaga kerja, seolah lepas tangan. Pemerintah kerap melakukan mediasi, tetapi ini lebih pada dispute ataupun perselisihan pekerjaan dan buruh migran yang dieksploitasi ataupun yang menghadapi kekerasan adalah pihak yang paling dirugikan.

Kami ingin menegaskan bahwa sesungguhnya negara menjamin hak atas migrasi dan atas kerja konstitusi menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah bukan saja hak warga negara, tetapi hak asasi manusia. Demikian juga hak atas rasa aman, untuk bebas dari perbudakan dan bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun. Sementara perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Upaya untuk melindungi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya juga dikuatkan komitmennya oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. Mengenali bahwa ada kerentanan khusus yang dihadapi oleh perempuan, maka kita juga perlu menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 untuk memastikan kerangka perlindungan hak migrasi dan kerja dapat juga turut menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Dan secara khusus Komite CEDAW telah memberikan Rekomendasi Umum Nomor 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Komnas Perempuan memandang bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran karenanya merupakan sebuah terobosan hukum yang sangat penting. Ia mengadopsi kerangka perlindungan bagi buruh migran dan keluarganya dan di dalamnya juga menegaskan asas antiperdagangan manusia dengan ketentuan penghukuman bagi para pelaku kejahatan migrasi tenaga kerja. Baik itu dilakukan oleh perseorangan, korporasi, dan pejabat publik sekalipun. Juga terdapat reorganisasi peran penyelenggaraan tanggung jawab negara di tingkat nasional, daerah, dan desa. Ruang perbaikan
tentunya ada, Majelis Hakim Yang Mulia. Tetapi perkenankan saya langsung masuk ke dalam pasal yang dipertanyakan. Pendapat kami mengenai Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b dari Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mengacu pada Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 26, “Negara asal maupun negara penerima berkewajiban mengatur dan mengawasi keterlibatan pihak Swasta untuk memastikan bahwa ada fasilitasi akses yang bekerja di luar negeri mempromosikan migrasi aman dan melindungi hak-hak perempuan migran.” Upaya untuk tata kelola migrasi ini juga tidak dapat kita lepaskan dari rencana aksi nasional HAM tentang bisnis dan hak asasi manusia yang telah dicatatkan di dalam lembar negara yang menggunakan kerangka perlindungan, penghormatan, dan pemulihan.
Ini adalah tiga pilar utama bisnis dan hak asasi manusia. Pada prinsip perlindungan, ada kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Di mana pemerintah harus melindungi individu dari
pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis, melalui kebijakankebijakan, peraturan, dan pengadilan yang memadai. Ada prinsip penghormatan, yaitu tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar HAM yang telah diakui secara internasional dengan cara menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. Serta prinsip pemulihan korban untuk perluasan akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial.
Kami juga ingin menegaskan penjelasan dari Pasal 66 dari konvensi yang telah menjadi bagian dari hukum nasional yang saya sebutkan sebelumnya. Bahwa negara memiliki kewajiban untuk secara efektif mengatur, dan memantau, dengan termasuk melakukan upayaupaya perizinan, sanksi, dan denda, serta menetapkan kriteria khusus dan memastikan bahwa hanya agen yang memiliki kriteria dan kode ini yang dapat terus beroperasi.
Dengan acuan tersebut, Komnas Perempuan berpendapat bahwa Pasal 54 ayat (1) a dan huruf b adalah mengatur mengenai persyaratan bagi perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang ingin memperoleh surat izin. Dan ini merupakan bagian dari kewajiban pemerintah sebagai pemangku kewajiban utama untuk memastikan keterlibatan swasta di dalam tata kelola migrasi sesuai dengan standar yang berlaku, terutama standar HAM. Dan merupakan bentuk pelaksanaan dari kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa pihak ketiga turut menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi pekerja migran yang menjadi korban. Deposito yang dimaksudkan merupakan alternatif jaminan jika P3MI lalai dalam melakukan kewajibannya, sehingga pekerja migran dapat akses untuk pemulihan, dalam hal ini ganti rugi melalui deposito yang dimaksud.
Kami tidak melihat bahwa pengaturan ini mengurangi hak dari P3MI untuk berusaha, melainkan memastikan pelaksanaan kewajiban penghormatan pada hak asasi manusia dari orang lain, sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi Pasal 28J ayat (1). Berkaitan dengan Pasal 82 huruf a dan 85 huruf a dari Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Sekali lagi, kami ingin menegaskan bahwa ada celah hukum yang perlu dikoreksi. Impunitas pada kasus-kasus pekerja migran yang terus berulang, bukan saja akibat dari lemahnya penegakan hukum dan pemulihan yang tidak berlangsung, melainkan juga pengaturan sumir tentang keterkaitan perdagangan orang, dan praktik perekrutan, dan penempatan pekerja migran yang di dalam pandangan kami bersinggungan sangat keras, termasuk melalui fenomena yang umum
kita temukan, yaitu proses penandatanganan perjanjian kerja yang disisipi unsur penipuan, dan pemaksaan, pemberian waktu singkat untuk membaca perjanjian, tidak ada penjelasan akurat dan rinci tentang isi dari perjanjian tersebut, dan penempatan Pekerja Migran Indonesia pada jenis atau jabatan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Sementara, kita juga mengenali bahwa jalur mediasi telah menjadi peluang impunitas. Jalur-jalur mediasi ini digunakan tidak saja untuk perselisihan kerja. Dalam praktiknya, juga digunakan untuk kasus kekerasan seksual dan berpotensi memberikan impunitas kepada pelaku kekerasan dan eksploitasi pada perusahaan maupun perseorangan yang bekerja untuk rekrutmen dan penempatan ini.
Kami ingin menegaskan bahwa di dalam mandat negara untuk perlindungan hak asasi manusia dalam konteks pekerja migran ada kewajiban untuk memastikan bahwa kontrak kerja vaild dan melindungi perempuan dalam prinsip kesetaraan dengan laki-laki dan menyediakan sanksi hukum bagi pelanggaran yang dilakukan oleh agen perekrut dan penempatan. Serta ada kewajiban untuk melakukan uji cermat tuntas atau adopsi dari principles of due diligence dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, meliputi aspek pencegahan, penyelidikan, penuntutan, pemidanaan, dan pemulihan korban. 

Dengan pandangan tersebut, kami melihat bahwa Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a dari Undang-Undang PPMI yang dimaksud adalah mengatur ketentuan tentang sanksi pidana yang diberikan kepada setiap orang yang dengan sengaja saya ulangi, dengan sengaja menempatkan calon Pekerja Migran Indonesia pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja dan kepada setiap orang yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia.

Ketentuan pidana ini tidak memiliki keterkaitan atau kausalitas dengan Pemohon sebagai sebuah badan hukum perkumpulan yang kita yakini beritikad tunduk pada hukum. Sebaliknya, pasal-pasal ini merupakan langkah maju untuk memberikan kepastian hukum, membuka akses keadilan bagi pekerja migran, dan memutus impunitas. Ia juga mewujudkan hak konstitusional warga negara, termasuk bagi perempuan pekerja migran, terutama atas hak atas kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak atas rasa aman untuk bekerja, serta mendapat imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja itu, dan untuk penghidupan yang layak, untuk hidup, untuk tidak disiksa, untuk tidak diperbudak, dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, serta untuk bebas dari segenap perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, yang kami hormati, Majelis Hakim, Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa tidak ada bukti kerugian hak konstitusional dari pihak  Pemohon, melainkan terdapat bukti yang cukup untuk pemajuan pemenuhan tanggung jawab konstitusional negara pada perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam hal ini perempuan pekerja migran terutama. Dan bahkan jika ketentuan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a dari Undang-Undang PPMI ini dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka negara dapat juga dimaknai ‘telah melanggar hak konstitusional’ sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan akan berdampak secara tidak proporsional pada akses perempuan pada keadilan.
Dengan seluruh pertimbangan ini, kami memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia untuk menolak seluruh permohonan. Terima kasih, selamat siang, salam nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *