sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

DEKLARASI BERSAMA PERINGATAN HARI BURUH MIGRAN 2015

4 min read
Jaringan Buruh Migran dan Jaringan Buruh Migran Indonesia mengadakan deklarasi bersama menuntut implementasi Konvensi PBB 1990 perlindungan buruh migran dan keluarganya

aksi migrantday2015“Implementasikan Konvensi PBB 1990 untuk Mewujudkan Perlindungan Buruh Migran & Keluarganya”

Tanggal 12 April 2012 Pemerintah Indonesia akhirnya meratifikasi Konvensi PBB yang dibuat ditahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya setelah mendapat desakan dari para buruh migran, serikat dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran. Para buruh migran Indonesia (BMI) berharap dengan diratifikasinya konvensi ini maka kebijakan pemerintah yang ada benar-benar diimplementasi dan dilaksanakan agar memberikan per­lindungan kepada BMI. Namun pada kenyataannya, sudah tiga setengah tahun konvensi ini dira­tifikasi, upaya perlindungan bagi BMI belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Penurunan jumlah pengiriman sebagai dampak moratorium tidaklah ser­ta merta menurunkan jumlah kasus pelanggaran karena kebijakan mora­to­rium nyatanya sama se­kali belum atau malah menghindar dari kewajiban pemerintah mena­ngani secara langsung akar masalah pelanggaran hak bu­ruh migran, yaitu ma­salah perekrutan non-prosedural yang terus merajalela. Justru sebaliknya, data Kementerian Luar Negeri menunjukkan dari tahun 2011 hingga Oktober 2015, terjadi kenaikan kasus perdagangan manusia, deportasi dan kasus ABK (prosedural maupun non-prosedural). Dalam tiga tahun terakhir rata-rata kenaikan kasus sebanyak 52,5%. Data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mencatat dari 321 ka­sus yang ditangani, rata-rata BMI mengalami lebih dari satu pelanggaran kasus. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) menangani sebanyak 675 kasus selama 2014. Sementara itu, pengalaman Solidaritas Perempuan dalam melakukan pengorgan­isasian dan penanganan kasus kekerasan terhadap buruh migran juga menunjukkan kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafficking. Indikasi trafficking terlihat jelas dari proses perekrutan dan penempatan —baik tidak melalui maupun melalui PPTKIS— berupa pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis (bukan visa kerja), dan modus dipindah-pindah majikan.

Langkah ratifikasi seharusnya langsung diikuti dengan harmonisasi kebijakan baik di tingkat nasional maupun lokal. Namun setelah tiga tahun Konvensi ini diratifikasi, belum juga terlihat langkah-langkah signifikan dari pemerintah terkait baik harmonisasi kebijakan maupun langkah implementasi lainnya. Memang sekarang DPR-RI sudah akan segera bekerja lagi dalam me­lakukan revisi terhadap UU PPTKILN No. 39/2004. Tetapi, sesungguhnya kerja DPR periode 2011-2015 sangat tidak efektif karena proses revisi UU tersebut selama lima tahun hanya men­tok pada pembahasan judul. Selain itu dilihat dari isi draf revisi yang dibahas pada periode itu tidak dihasilkan sebuah perubahan yang signifikan dan isi draft tersebut belum mencakup perlindungan komprehensif bagi buruh migran sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Sementara, program-program pemerintah terkait buruh migran terkesan sebagai program yang parsial dan bukan solusi dari akar permasalahan yang terjadi. Bahkan, beberapa kebijakan yang dikeluarkan, seperti Roadmap Zero Domestic Workers tidak menetapkan pokok-pokok perlindungan yang sungguh-sungguh nyata terutama bagi kelompok yang paling rentan yaitu perem­puan buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Padahal sejumlah 70 persen dari delapan juta orang buruh migran adalah pekerja rumah tangga. Tanpa menyingkap dimensi per­lindungan yang sangat diperlukan oleh para PRT migran, roadmap itu justru hanya sekedar be­rupa pengembangan teknis dari pembentukan sub-sub pekerjaan rumah tangga, seperti peng­urus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, supir keluarga, tukang kebun dan penjaga anak. Seharusnya pemerintah menetapkan peraturan perundangan untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dan dosmetik. Pemerintah harus segera meratifikasi Kon­vensi ILO 189 tentang pekerjaan rumah tangga layak, dan segera mengimplementasikannya ke dalam UU Perlindungan PRT dan UU Perlindungan bagi Buruh Migran dan Keluarganya.

Upaya pemerintah untuk mendorong kebijakan di tingkat regional (ASEAN) terkait perlindungan Buruh Migran pun belum membuahkan hasil. Pembahasan ASEAN Framework Instrument for The Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, yang dilakukan sejak lahirnya Deklarasi Cebu pada 2007 juga masih mengalami kebuntuan (dead lock) hingga saat ini.

Karena itu, pada rangkaian peringatan hari Buruh Migran Internasional yang akan diperingati puncaknya pada tanggal 18 Desember 2015 ini, kami dari Jaringan Buruh Migran (JBM), yang beranggotakan 28 serikat buruh migran di dalam dan luar negeri, organisasi perempuan dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran, KABAR BUMI, Garda BMI menyatakan komitmen kami untuk terus mendorong perlindungan buruh migran dan keluarga­nya, antara lain melalui:

  • Menolak isi RUU PPILN dan mendorong negara untuk merevisi kembali RUU PPILN karena isi nya yang belum memuat perlindungan bagi buruh migran secara holistik sebagaimana yang termuat dalam Konvensi Migran 1990. Pembahasan revisi UU 39/2004 harus melibatkan kelompok buruh migran dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk perlindungan buruh migran.
  • Mencabut UU PPTKILN dan mendesak pemerintah untuk menetapkan UU perlindungan untuk buruh migran sesuai dengan Konvensi PBB 1990 dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT & Konvensi ILO 188 tentang Perlindungan Anak Buah Kapal (ABK).
  • Mendesak pemerintah untuk menghapus biaya tinggi dalam penempatan buruh migran (overcharging) dan memberlakukan kontrak mandiri.
  • Mendorong Ratifikasi Konvensi ILO No 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
  • Mendorong Ratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Perlindungan Anak Buah Kapal.
  • Mendorong Penghentian Kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap Pekerja Rumah Tangga dimana kebijakan tersebut hanya mengatur ihwal teknis pekerjaan dan meng­gantinya dengan kebijakan pro-perlindungan secara substansial bagi Pekerja Rumah Tang­ga, termasuk kebijakan moratorium dan Roadmap Zero Domestic Workers.
  • Mendorong Instrumen Perlindungan Buruh Migran di ASEAN, sebagaimana amanat Deklarasi Cebu dengan mencakup perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya, baik yang berdokumen maupun tidak berdokumen, dan bersifat mengikat secara hukum (legally binding).
  • Ciptakan lapangan pekerjaan dan akhiri kemiskinan.
  • Selamatkan BMI dari hukuman mati.

Jakarta, 18 Desember 2015
Jaringan Buruh Migran (SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Pertimat Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, Migrant Care, PBHI Jakarta, Peduli Buruh Migran, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, Institute Ecosoc Rights, PBH-BM, Migrant Aids), KABAR BUMI, GARDA BMI

Contact Person :
Hariyanto (SBMI/Presidium JBM Pokja Legislasi) : 085259307953
Karsiwen (KABAR BUMI) : 081281045671
Savitri Wisnu (SekNas JBM) : 082124714978
Alinurdin (Garda BMI) : 085920654988

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *