sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SBMI Sorot Lemahnya Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Buruh Migran Indonesia

5 min read

Jakarta, 2 Juni 2023 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terus mendorong  Pemerintah Indonesia untuk lebih serius lagi dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Keseriusan Pemerintah dalam menangani kasus TPPO juga harus dibarengi dengan penindakan hukum, namun sampai sejauh ini masih banyak kasus TPPO yang mandek di Kepolisian Republik Indonesia.

Sejak tahun 2012 sampai Mei 2020, SBMI menerima dan menangani 262 kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang telah telah memenuhi tiga unsur perdagangan orang yakni Proses, Cara, dan Tujuan (Eksploitasi). SBMI juga mencatat, dari 2020 sampai 2023 SBMI mendapatkan aduan kasus dugaan TPPO online scam sebanyak 267 kasus dan yang tertinggi dengan total 211 kasus online scam yang dikirim ke Kamboja. 

Sedangkan pengaduan kasus Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran yang melaporkan kasusnya ke SBMI dari tahun 2010 sampai dengan Bulan Mei 2022 sebanyak 696 kasus. Kerentanan berlapis yang dihadapi ini telah menjadi permasalahan yang selama ini dihadapi oleh AKP Migran, seperti eksploitasi, perbudakan di atas kapal, dan tidak sedikit yang telah menjadi korban TPPO. 

Baca juga: Kertas Investigasi: Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran Indonesia

Kasus Mandek di Kepolisian

Dari jumlah kasus Perdagangan Orang yang ditangani oleh SBMI, sebanyak 18 Laporan Pengaduan Kepolisian dengan jumlah 109 korban mandek. Dalam hal ini, SBMI menyoroti lambatnya dan rendahnya komitmen Kepolisian dalam penyelesaian kasus Perdagangan Orang dengan melaporkan kasus yang mandek ke Inspektorat Pengawasan Umum Polisi Republik Indonesia (Itwasum Polri). 

Salah satu korban TPPO yang melaporkan kasusnya ke ITWASUM bersama SBMI adalah Gimbal yang merupakan salah satu korban dari 74 korban TPPO yang dipekerjakan selama 19 bulan sebagai AKP Migran di bawah bendera Taiwan dan beroperasi di Cape Town, Afrika Selatan. Kasusnya dilaporkan pada Maret 2014 dan hingga kini, sembilan tahun lamanya tidak ada kejelasan dari Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya. Gimbal dan korban lainnya mengatakan telah bosan diperiksa berulang-ulang oleh penyidik yang menangani kasusnya, tanpa adanya tindakan penangkapan pelaku.

Baca juga: Penyelesaian Kasus BMI Banyak yang Mandek di Kepolisian, SBMI Sampaikan Aduan ke Itwasum Polri

Penyelesaian Kasus BMI Banyak yang Mandek di Kepolisian, SBMI Sampaikan Aduan ke Itwasum Polri
Penyelesaian Kasus BMI Banyak yang Mandek di Kepolisian, SBMI Sampaikan Aduan ke Itwasum Polri

Proses Peradilan Tidak Adil

Catatan SBMI melihat dalam mendampingi kasus TPPO, masih terdapat banyak masalah dalam penegakan hukum. Selama ini penegak hukum kerap menyandingkan UU 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan UU 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, tanpa alasan yang jelas. Penyandingan kedua UU tersebut kerap melemahkan proses penegakan hukum bagi pelaku Perdagangan Orang.

Aparat Penegak Hukum cenderung memilih membuktikan UU 18/2017 karena proses pembuktiannya jauh lebih mudah, hukuman lebih ringan karena tidak ada ancaman hukuman minimal, dan tidak ada kewajiban restitusi bagi Pelaku dibandingkan UU 21/2007. Hal ini sangat merugikan korban.

Salah satu kasus yang baru didampingi oleh SBMI ialah Muninggar. Ia merupakan korban TPPO yang ditempatkan sebagai PRT di Dubai. Kepulangan Muninggar dibantu oleh Kementerian Luar Negeri ke Indonesia. Saat proses penegakan hukum dengan perkara 146/Pid.Sus/2023/PN Serang, pelaku TPPO didakwa dengan dakwaan alternatif UU 21/2007 atau UU 18/2017. 

Dalam proses penegakan hukum tersebut, Jaksa menuntut para pelaku menggunakan UU 18/2017 dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda masing-masing Rp10.000.000, lalu kemudian pada putusan, Hakim menggunakan UU 18/2017 dengan diskon hukuman menjadi 7 bulan penjara dan denda masing-masing Rp10.000.000, pada 13 April 2023 lalu. Denda yang dikenakan kepada para pelaku yang dimaksud bukan restitusi melainkan denda yang dibayarkan kepada negara. 

“Proses hukum kasus saya percuma dan sangat tidak berarti. Saya sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk memenuhi panggilan pemeriksaan kepolisian sampai menghadiri persidangan. Namun pelaku malah diputus ringan dan tidak ada hak restitusi bagi saya,” ungkap Muninggar. 

Selama proses penegakan hukum, Muninggar diintimidasi oleh keluarga pelaku untuk mencabut laporan, saat proses persidangan pun Muninggar terus diintimidasi dan diejek oleh pelaku karena tidak didampingi pengacara.

Hak Restitusi Tidak Dipenuhi

Selain kasus yang mandek di kepolisian dan proses peradilan yang tidak adil, SBMI juga menyoroti hak restitusi yang tidak didapatkan oleh korban TPPO. Ada 6 putusan pengadilan dengan hak restitusi yang hingga saat ini masih belum dieksekusi dengan total Rp 3.707.895.396. 

Salah satu korban yang belum menerima restitusi atas Putusan Pengadilan 484/Pid.Sus/2016/PN Cibinong adalah Teten Sumarna. Teten bersama SBMI telah menempuh berbagai cara untuk mencairkan hak restitusi dengan meminta penjelasan dari Kejaksaan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Cibinong. Namun sampai sekarang Teten tidak mendapatkan jawaban. Teten juga menanyakan proses restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tetapi LPSK juga tidak bisa memberikan jawaban pasti. Terhadap penundaan berlarut pembayaran uang restitusi, Teten bersama SBMI sudah adukan hal ini kepada Ombudsman RI pada tahun 2016, namun Teten lagi-lagi tidak mendapat jawaban yang pasti. 

“Saya sangat kecewa karena hak restitusi saya dan teman-teman sudah 7 tahun tidak kunjung ada kejelasan bagaimana prosesnya. Saya mengalami kerugian besar karena menjadi korban TPPO, kini saya mengalami kerugian besar lagi karena mengeluarkan biaya untuk mendatangi berbagai instansi menuntut hak restitusi saya yang dijanjikan Putusan Pengadilan. Saya bisa berharap dengan siapa lagi?” Tegas Teten.

Peradilan yang Tidak Adil bagi Muninggar

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno menegaskan minimnya penanganan kasus melalui jalur hukum disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya seringkali pelaku yang memperdagangkan adalah saudara dekat bahkan ada beberapa yang masih saudara kandung, seringkali korban dan keluarga mendapatkan ancaman dari pihak luar untuk tidak melanjutkan kasusnya ke ranah hukum, bahkan ada beberapa yang meminta untuk dicabut kuasanya dari SBMI. Selain itu korban kerap kali memilih penyelesaian kasus yang cepat, sementara proses penanganan melalui jalur hukum berbelit-belit dan lama. Adanya oknum dari pihak penyidik yang tidak berperspektif korban dan cenderung menyalahkan korban juga menyebabkan korban untuk enggan melaporkan kasus perdagangan orang.

“Ada penyidik yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan tentang pemahaman Tindak Pidana Perdagangan Orang dan dalam beberapa peristiwa dengan sengaja melemahkan bukti-bukti yang diberikan korban, sehingga laporan sering kali ditolak dan/atau dihentikan. Hal ini mengindikasikan adanya dugaan penyidik melakukan praktik kotor bermain dengan pelaku,” tegas Hariyanto.

Melalui momentum ini, SBMI mendesak Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri menyegerakan restrukturisasi Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan dan Pencegahan TPPO agar kasus-kasus yang mandek dan kasus-kasus TPPO lainnya segera mendapatkan kepastian hukum. Kepolisian harus meningkatkan kapasitas para penyidik yang menangani kasus TPPO, terutama kasus-kasus yang ada di Polda, Polres yang berada di wilayah kantong buruh migran. 

SBMI juga mendesak Kejaksaan RI agar lebih berkomitmen dalam penuntutan terhadap pelaku TPPO, terutama memastikan hak restitusi korban terpenuhi. SBMI juga mendesak Mahkamah Agung RI agar melakukan penguatan kapasitas terhadap Hakim yang menangani kasus TPPO, terutama sensitifitas saat melakukan pemeriksaan terhadap korban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *