Kamis, 21 Agustus 2025 – Sidang pembacaan putusan perkara TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dengan nomor Perkara 71/Pid.Sus/2025/PN Pml berlangsung pada pukul 10:12 WIB di Pengadilan Negeri Pemalang, Jawa Tengah. Agenda sidang ini dihadiri oleh Terdakwa Andri Wijanarko selaku Direktur PT Klasik Jaya Samudera, JPU (Jaksa Penuntut Umum), Penasehat Hukum Terdakwa serta sidang putusan dipimpin langsung oleh ketua Pengadilan Negeri Pemalang, Majelis Hakim Hasrawati Yunus S.H, M.H.
Pada perkara a quo, tercatat 58 Calon/Awak Kapal Perikanan (C/AKP) Migran sebagai korban TPPO dan pemalsuan dokumen. Sidang amar putusan, Hakim menyatakan beberapa pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim sebagai berikut;
- Bahwa unsur eksploitasi terhadap para korban tidak terbukti secara sah dan menyakinkan sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan Pasal 4 jo Pasal 10, Pasal 19 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang serta Pasal 5 huruf b sampai dengan huruf e yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 UU 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
- Terdakwa tidak melanggar proses pemberangkatan para korban selaku C/AKP Migran.
- Dokumen palsu salah satu korban dari 58 C/AKP Migran tidak kuat untuk membuktikan adanya unsur pemalsuan dokumen.
- Terdakwa dibebaskan dan seluruh haknya dipulihkan.
Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara a quo tidak melihat secara komprehensif kasus yang dialami 58 C/AKP Migran yang dilanggar hak asasi-nya oleh perusahaan Terdakwa, Majelis Hakim menutup mata dari moralitas keadilan, kepastian dan pelindungan terhadap hak-hak korban. Selain itu, Majelis hakim sangat sempit memaknai tindakan Eksploitasi sebagaimana yang telah diatur di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2007), pun Majelis Hakim tidak menelaah secara cermat dokumen-dokumen serta keterangan dari Saksi Korban sebagai fakta persidangan yang dihadirkan untuk membuktikan adanya unsur eksploitasi serta pemalsuan dokumen oleh Terdakwa.
Merujuk pada UU 21/2007 definisi dari perdagangan orang, tidak hanya berkaitan terkait eksploitasi dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga mencakup proses, cara, dan tujuan yang manipulatif yang dilakukan oleh perusahaan terdakwa yang berujung pada kerentanan para korban. Putusan Majelis Hakim dalam perkara a qou menunjukan adanya penguburan HAM para korban, jika merujuk pada UU 21/2007 dengan cara perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat telah memenuhi unsur-unsur eksploitasi terhadap para korban. Fakta persidangan menunjukkan bahwa para korban direkrut serta akan diberangkatkan dengan cara-cara sebagaimana definisi TPPO pada pasal 2 UU 21/2007 seharusnya Majelis Hakim melihat TPPO dari keseluruhan tindakan yang telah dilakukan terdakwa terhadap para korban.
Bahwa Majelis Hakim hanya mengutamakan habisnya masa penahanan terdakwa di atas pencarian kebenaran materiil. Akibatnya Majelis Hakim menolak pembacaan BAP ahli dan tidak mengizinkan pemanggilan ahli tambahan, meskipun peran ahli sangat penting dalam menjelaskan konstruksi hukum TPPO. Hal ini sangat melemahkan dakwaan JPU dan mengakibatkan tindak pidana menjadi kabur. Selain itu, Pernyataan Majelis Hakim yang menyalahkan korban (victim blaming) karena tidak mengecek benefit kerja dan kesehatan kerja menunjukkan bias struktural dan mengabaikan kerentanan korban, serta Majelis tidak mendorong pengungkapan obstruction of justice. Dalam hal ini tidak menjadikan fakta obstruction of justice (pemberian uang dan surat pernyataan tidak menuntut) sebagai bagian dari pembuktian utama, padahal hal ini melemahkan keterangan korban di pengadilan.
Safali, Kabid Bidang Buruh LBH Semarang, menegaskan “Putusan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara 71/Pid.Sus/2025/PN Pml menunjukkan kualitas jaksa penuntut umum (JPU) dan Majelis Hakim yang belum memiliki perspektif korban untuk memberi rasa keadilan bagi buruh C/AKP Migran dan menjerat pelaku TPPO. Alih-alih ruang persidangan mengungkap fakta kebenaran materil, namun persidangan justru membenarkan tindakan pelaku serta membebaskan terdakwa. Proses persidangan yang buruk dan melanggengkan praktik kejahatan TPPO serta mengabaikan hak asasi para korban”.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), menegaskan bahwa penegakan hukum semata tidak cukup jika tidak dibarengi dengan campur tangan pemerintah, negara harus secara sungguh-sungguh melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana agar berpihak kepada korban. Pendekatan berbasis hak asasi manusia harus menjadi kerangka utama dalam setiap proses hukum, dari penyelidikan hingga eksekusi putusan. Keberpihakan bukan sekedar jargon tapi harus dibuktikan dalam proses peradilan.” Tegas Hariyanto
SBMI dan LBH Semarang, selaku kuasa hukum serta pendamping korban C/AKP Migran menilai langkah Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara 71/Pid.Sus/2025/PN Pml pada Pengadilan Negeri Pemalang untuk membebaskan Terdakwa menjadi preseden buruk dalam penegakan peradilan pidana untuk korban TPPO.
Putusan ini mengabaikan fakta-fakta dalam surat dakwaan: korban direkrut tanpa prosedur resmi, ditahan berbulan-bulan di mess dengan kondisi buruk, dipungut biaya besar, bahkan dipaksa menandatangani surat pelepasan hak. Semua tanda eksploitasi jelas, tapi justru dinyatakan “tidak terbukti”. Lebih jauh, hakim menolak unsur pemalsuan dokumen, padahal BAP menyebut adanya ijazah palsu.
Majelis tidak hanya gagal menggali kebenaran materiil, tetapi juga secara terang melanggengkan impunitas pelaku perdagangan orang dan menelantarkan pelindungan HAM para korban.
Kami pendamping para korban menuntut:
- Reformasi menyeluruh penegakan hukum peradilan dalam menangani perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO); Mendukung penuh upaya hukum lanjutan (KASASI) dari Jaksa Penuntut Umum untuk memastikan hak-hak 58 para korban C/AKP Migran yang terdampak langsung dapat dipulihkan;
- Negara harus hadir dan memberikan pelindungan secara menyeluruh untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak AKP Migran, baik sebelum berangkat, pada saat bekerja dan pekerja yang telah finish kontrak.
Link Dokumentasi : Di sini
Narahubung:
Caca, LBH Semarang (+62 823-9907-0729)
Kirana, SBMI (0823-8403-4349, [email protected])
Views: 28