sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

TAPMI Audiensi ke Kementerian Hukum dan HAM dalam Hal Menjadi Pihak Terkait Judicial Review Undang-Undang 18/2017 tentang PPMI di Mahkamah Konstitusi

2 min read

Jakarta, 12 Januari 2024- Serikat Buruh Migran Indonesia yang bergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) dengan 8 serikat dan NGO lainnya melaksanakan audiensi guna menyelaraskan pandangan dengan pemerintah dalam upaya mempertahankan Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017  (UU 18/2017) tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Gedung Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (PUU), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Audiensi ini diterima langsung oleh Direktur Litigasi Ditjen PUU, Andrie Amoes, para perancang ahli muda dan madya serta jajarannya. Dalam penyampaiannya, Andrie mengatakan bahwa audiensi ini diterima berdasarkan surat permohonan yang telah diajukan TAPMI. “Sebagai warga negara Indonesia silahkan saja mengajukan menjadi pihak terkait karena itu merupakan hak konstitusional, dan sikap pemerintah terhadap JR UU pasti sudah jelas” jelas Andrie

Urgensi TAPMI mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dalam permohonan Uji Materi tersebut adalah mempertahankan Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPMI, mengingat Pasal tersebut merupakan langkah progresif upaya pelindungan hak perburuhan dan hak asasi manusia terhadap Pelaut Migran Indonesia. 

Perlu diingat bahwa saat ini sedang dilakukan JR UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tepatnya pada Pasal 4 yang mana dalam permohonannya pihak pemohon menginginkan bahwa pelaut dikeluarkan dari kategori pekerja migran.TAPMI menegaskan, efek jika pasal itu dihapuskan maka tidak ada jaminan kesejahteraan dan pelindungan dan tidak setaranya posisi AKP Migran dengan buruh migran di sektor lain.

“Jangan sampai terjebak pada norma pelaut bukan buruh migran. Kita harus menyadari bahwa jika pasal ini dihapuskan maka payung hukum bagi pelindungan yang sistematis untuk AKP migran akan hilang, mulai dari pelindungan yang terdapat di UU 18/2017 sampai aturan turunan seperti PP 22/2022 Tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran” tutur Dios Lumban Gaol, selaku Koordinator Departemen Kemaritiman SBMI. 

Permohonan TAPMI menjadi pihak terkait langsung sudah didasarkan pada riset, investigasi dan pengolahan data dengan kualitas dan kuantitas yang telah dilakukan sebelumnya. Sebelum lahirnya UU 18/2017 TAPMI menegaskan bahwa ada kekosongan hukum untuk pelindungan para pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing. TAPMI yang beranggotakan 9 serikat dan NGO, melalui Sakti dan Greenpeace Indonesia mengatakan jika kemudian JR UU 18/2017 ini dikabulkan dari sisi mana lagi perjuangan 10 tahun lalu harus dilakukan? 

“Saat kami mendampingi 74 ABK Indonesia yang berasal dari Capetown, Afrika yang terindikasi sebagai korban TPPO untuk menuntut hak-haknya, kami menyadari bahwa ada kekosongan hukum. Disaat kami mendatangi BNP2TKI mereka mengatakan bahwa ABK yang bekerja di negara lain tidak masuk ke dalam pelindungan UU 39/2004. Hal yang sama juga terjadi ketika kami mendatangi kementerian perhubungan, pun mereka mengatakan bahwa tidak ada aturan kemenhub yang mengakomodir terkait pelindungan pelaut perikanan migran disitu.” terang ketua umum SBMI,  Hariyanto.

Penuturan penutup  yang diberikan oleh Kemenkumham bahwasannya mereka akan berupaya untuk mempertahankan batang tubuh yang sudah jelas tertuang di dalam UU 18/2017. “Pemantauan secara spesifik terhadap kasus ini tidak dapat kita lakukan, namun kami akan tetap mendukung undang-undang ini.” tutup Andrie

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *