sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Tanggapan SBMI Atas Pernyataan Ketua Apjati

3 min read
Ayub Basalamah (Ketua Umum Apjati) “lemahnya rupiah kerana moratorium. Karena hampir tidak ada bisnis di Indonesia, dengan modal rupiah kecil, bisa memasukan dollar AS dalam jumlah besar”, sungguh tidak patut disampaikan. (kompas, 7 September 2013).

Sudah saatnya moratorium TKI dicabut

Sudah saatnya moratorium TKI dicabut
Berita Kompas Edisi 5 September 2013, Sudah saatnya moratorium TKI dicabut

Moratorium merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI). Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah sebagai akibat dari limbah praktik bisnis penempatan BMI yang tidak pernah beres; Pemerintah selalu mencuci piring kotor dari pelaku bisnis penempatan jika muncul permasalahan BMI, baik pada pra, masa, pasca penempatan.

70 % persoalan BMIbermula dari dalam negeri, sehingga semua ini merupakandampak dari carut marutnya persoalan dalam negeri, kolusi dan komoditisasi buruh migran.Sedangkan selebihnya adalah masalah Negara tujuan yang memang secara kultur-historismemiliki perberbedaan dengan Indonesia, sehingga penempatan ke negar-negara yang secara kultural-historisnya (mengganggap bangsa Indonesia adalah budak) harus dihentikan. Apalagi sebagian besar BMI yang pulang dari negara-negara Timur Tengah banyak yang menjadi korban perdagangan orang.

Penempatan BMI bukan hanya bisnis semata, melainkan pemenuhan hak asasi, bukan sekedar memberangkatkan orang ke luar negeri, akan tetapi juga harus dilindungi. Mudah saja memberangkatkan BMI ke luar negeri, akan tetapi jika tidak diurus dan berakibat60 ribu orang per tahun mengalami masalah, di mana sikap kebangsaan kita sebagai sesama bangsa?

Bahwa nasib BMI dipertaruhkan hanya untuk kepentingan remitansi atau devisa serta bisnis. Menutup mata terhadap apa yang telah terjadi di negara penempatan kepada para BMI yang telah dikirim. Menikmati keuntungan semu dari timbunan penderitaan yang dirasakan oleh BMI.

Fatalnyalagi ada diskriminasi dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. BMI formal diberangkatkan oleh pemerintah, sedangkan yang non formal (yang memiliki kecenderungan lemah secara SDM) malah diswastakan, dampaknya seperti yang sekarang terjadi dan kita rasakan; Pemerintah sepertinya mengetahui konskuensi dari kebijakan tersebut. Seolah ingin menunjukkan perbandingan bahwa pemerintahlah yang paling becus dalam kontkes penempatan BMI.

Dalih tentang peningkatan kualitas pendidikan oleh PPTKIS untuk para BMI pada saat pra penempatan yang lebih baik itu hanya isapan jempol belaka. Faktanya banyak BMI yg masih unskill ketika mereka diberangkatkan ke negara-negara Timur Tengah yang tidak dimoratorium penempatannya, terbentur permasalahan dengan majikan, sehingga terjadi timbunan manusia Indonesia yang bermasalah di negara penempatan. Lihat saja di kantor perwakilan RI di neegara-negara Timur Tengah, ratusan bahkan ribuan BMI mengalami masalah. Belum lagi di kantor penampungan agen untuk meminta perlindunga. Untuk itu, pemerintah harus melakukan desentralisasi dengan daerah kantong BMI. Pembekalan yang lebih komprehensif dilakukan oleh pemerintah. Banyak sekali Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah yang mangkrak, seharusnya itu dioptimalkan fungsinya. Sehingga cost structure penempatan BMI tidak membengkak dan tidak membebani BMI.

Indonesia telah meratifikasiKonvensi Internasional 1990 mengenaiConvention On The Protectionof The Rightsof All Migrant Workersand Membersof Their Familiesmerupakan hukum positif yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang No. 6 tahun 2012 tentang ratifikasi konvensi itu, inilah yang seharusnya menjadi rujukan dalam membuat peraturan-peraturan mengenai BMI. Untuk itu revisi Undang-Undang 39 tahun 2004 menjadi penting, karena saat ini yang menjadi rujukan adalah konvensi internasional itu. Selain itu, meningkatkan diplomasi untuk menjalin MOU dengan nengara penempatan dengan prinsip perlindungan WNI yang setara dan adil.

Apa yang dikatakan oleh Ayub Basalamah (Ketua Umum Apjati) “lemahnya rupiah kerana moratorium. Karena hampir tidak ada bisnis di Indonesia, dengan modal rupiah kecil, bisa memasukan dollar AS dalam jumlah besar”, sungguh tidak patut disampaikan. Karena dia mendapat makan dari BMI, BMI merupakan sumber penghidupannya. Sudah seharusnya dia menghormati hak-hak para BMI, bukannya mengkomodisasi mereka. Jelas sekali BMI merupakan tumbal para pelaku bisnis penempatan yang hedonis. Selain itu, faktanya, tidak ada variable langsung antara meningkatnya jumlah devisa dengan penguatan ruapiah (kompas, 7 September 2013).

Oleh karena itu Pemerintah harus memperbaiki penempatan, dan mempertahankan moratorium ini.  Pemerintah harus memperbaiki proses penempatan dan moratorium di perluas ke negar-negara  yang masih tidak melindungi pekerja asing mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *