Suva/Jakarta, 4 Desember 2024 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia menjadi bagian dari pihak yang menyuarakan dan berhasil mendorong langkah menuju perbaikan serta pelindungan hak ketenagakerjaan awak kapal perikanan di kawasan Samudra Pasifik. Dalam pertemuan di Suva, Fiji, pada 3 Desember 2024, Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (Western and Central Pacific FIsheries Commission/WCPFC) mengadopsi Langkah-langkah Konservasi dan Manajemen (Conservation and Management Measures/CMM) baru melindungi hak tenaga kerja awak kapal perikanan di wilayah yuridiksinya.
Pemerintah Indonesia dan Selandia Baru memimpin bersama pembahasan dan finalisasi ketentuan standar ketenagakerjaan dalam Sesi Reguler WCPFC 21 [1] tersebut. SBMI dan Greenpeace Indonesia yang turut menjadi bagian dari delegasi SBMI di pertemuan WCPFC 21 mengapresiasi langkah WCPFC dalam mengadopsi ketentuan standar pelindungan pekerja perikanan. Hal ini tidak hanya menguatkan komitmen pada praktik perikanan berkelanjutan, tetapi juga mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pengelolaan perikanan regional.
Sebagai Organisasi Manajemen Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO) utama untuk wilayah Barat dan Tengah Samudra Pasifik, WCPFC memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kelestarian populasi ikan dan memastikan kesejahteraan pekerja di sektor perikanan.
Standar baru yang diadopsi mencakup aspek-aspek penting seperti protokol penanganan cedera atau penyakit serius di laut, penanganan kasus kematian awak kapal, pelindungan terhadap pemutusan kontrak sepihak, dan upaya pemberantasan kerja paksa di kapal penangkap ikan.
“Ini adalah momen bersejarah,” ujar Sihar Silalahi, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia. “Sudah terlalu lama, RFMO hanya berfokus pada stok ikan dan pengelolaan ekosistem. Dengan meningkatnya perhatian global terhadap masalah hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim, WCPFC telah membuat terobosan baru dengan mengintegrasikan standar tenaga kerja ke dalam kerangka konservasi perikanan berkelanjutan. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana keputusan ini setelah diterapkan benar-benar dapat mengubah kehidupan ribuan kru di atas kapal.”
Perjuangan menuju keputusan ini bukan tanpa tantangan. Sejak Indonesia pertama kali mengangkat isu perbudakan di laut pada WCPFC 10 tahun 2013 di Cairns, Australia, hingga diadopsinya Resolusi 2018-01 [2] tentang Standar Ketenagakerjaan untuk Awak Kapal Perikanan pada WCPFC 15 di Hawaii, prosesnya penuh dengan negosiasi yang intens. Barulah pada WCPFC 21, melalui diskusi mendalam selama satu pekan, CMM tentang standar ketenagakerjaan akhirnya diadopsi WCPFC, menjadikannya yang pertama di antara RFMO global.

Adopsi standar ketenagakerjaan ini menyoroti peran penting negara-negara pengirim awak kapal perikanan migran seperti Indonesia, sebagai pemasok terbesar tenaga kerja di sektor perikanan. Dengan adopsi standar ini, Indonesia diharapkan dapat segera mereformasi tata kelola agen perekrutan.
Laporan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia berkolaborasi dengan SBMI [3] menunjukkan banyak agen awak kapal yang terlibat dalam praktik kerja paksa, termasuk penahanan dokumen, penahanan upah, dan jeratan utang. Agen awak kapal beroperasi dengan tidak mematuhi hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia [4]; dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran [5].
Hariyanto, Ketua Umum SBMI, menegaskan bahwa reformasi ini harus mencakup seluruh proses perekrutan hingga penempatan. “Adopsi standar ketenagakerjaan oleh WCPFC menegaskan pentingnya agensi perekrutan untuk terdaftar di Sekretariat WCPFC dan mematuhi peraturan perizinan. Ini adalah panggilan bagi Indonesia untuk memperketat pengawasan dan mempercepat ratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (C188) [6],” kata Hariyanto.
Langkah WCPFC ini merupakan tonggak penting dalam upaya mengatasi perbudakan modern dan perdagangan orang di industri makanan laut global. “Menjunjung tinggi martabat manusia sambil menjaga kelestarian lingkungan adalah kunci untuk menciptakan solusi yang bermanfaat bagi manusia dan planet ini,” tambah Sihar.
Catatan
[1] The 21st Regular Session of the Western and Central Pacific Fisheries Commission
[2] Resolution 2018-01 – Resolution on Labour Standards for Crew on Fishing Vessels
[3] “Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas“ (2019) dan “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers” (2021)
[4] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
[6] Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (C188)
- Hariyanto, Ketua Umum SBMI, +62 822-9828-0638, [email protected]
- Sihar Silalahi, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, +62 811-9611-0906, [email protected]
- Gilang Ramadhan, Petugas Media dan Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 878-2210-6484, [email protected]
- Kirana, Koordinator Media Kampanye SBMI, +62823-8403-4349, [email protected]
Views: 96