Pemalang, 16 Juni 2025 — Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang hari ini mendampingi saksi korban dalam sidang lanjutan kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pengadilan Negeri Pemalang dengan nomor register perkara 71/Pid.Sus/2025/PN Pml. Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi korban ini menghadirkan terdakwa Andri Wijanarko, Direktur PT. Klasik Jaya Samudra (PT. KJS), yang didakwa telah melakukan perekrutan tidak sesuai prosedur terhadap 57 calon Awak Kapal Perikanan (AKP) migran untuk dipekerjakan di kapal perikanan berbendera asing.
Direktur PT. KJS didakwa dengan tiga alternatif pasal, yakni Pasal 4 jo Pasal 10, atau Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, atau Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Ancaman hukuman atas dakwaan ini maksimal 15 tahun penjara dan/atau denda miliaran rupiah.
Kesaksian saksi korban, Revly Christian juga memperkuat gambaran eksploitasi yang terjadi. Revly Christian Abikarim, saksi korban dalam persidangan hari ini, menyampaikan bahwa dirinya ditawari bekerja oleh teman yang sudah bekerja di laut sejak tahun 2023. Teman tersebut bekerja di kapal berbendera China melalui PT. KJS. Ia sempat diberangkatkan pada Desember 2024 di kapal penangkap cumi di Perairan Korea, tetapi hanya bertahan lima bulan karena sakit dan kembali ke Indonesia. Ia menyebut selama lima bulan bekerja, dirinya hanya menerima gaji sekali sebesar 330 USD, namun setelah dipotong-potong hanya menerima sekitar 1,5 juta rupiah setelah bekerja selama 5 bulan. Ia hanya mendapat waktu istirahat sekitar empat jam sehari, sisanya harus terus bekerja.
Setelah sampai di Indonesia, Revly mengaku sempat ingin pulang lebih awal ke daerah asalnya Bitung, Manado, namun pihak perusahaan tidak mengembalikan dokumen pribadinya karena alasan korban masih memiliki hutang yang wajib dibayarkan. Karena hal ini, korban terus diminta menunggu persetujuan pimpinan perusahaan tanpa adanya kepastian di mess penampungan PT.KJS di Pemalang.
“Saya diminta sabar, tapi tidak ada kepastian sama sekali. Kalau mau pulang, ya pulang saja, kata mereka. Tapi dokumen saya tidak akan dikembalikan, sampai saya melunasi hutang saya.” ungkap Revly.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menilai bahwa dakwaan terhadap satu orang saja sangat tidak cukup untuk membongkar kejahatan sistemik yang dilakukan oleh korporasi. “Faktanya, ada jaringan rekrutmen yang tidak tersentuh hukum. Sementara korban telah mengalami penipuan, utang fiktif, penahanan dokumen, dan ancaman ketika korban menolak keberangkatan,” ungkapnya.
Hariyanto melanjutkan bahwa ketika melakukan pendampingan para korban, aset pribadi para korban berupa ponsel disita tanpa alasan yang jelas, “Kami mendampingi para korban sejak diamankan Polda Jateng pada 17 Mei 2024. Sebagian besar ponsel korban ditahan sebagai barang bukti tanpa kepastian, dan baru dikembalikan setelah tekanan dari publik dan jaringan pendamping,” lanjut Hariyanto

Ringkasan kronologi yang dihimpun SBMI dan LBH Semarang menyebutkan bahwa para korban direkrut dengan janji gaji 350 hingga 400 dolar AS per bulan, namun sejak direkrut pada awal 2024 hingga Mei, korban hanya ditampung di mess PT. KJS di Pemalang tanpa kejelasan pemberangkatan. Dokumen yang ditahan, dan beberapa korban bahkan dipaksa menandatangani surat damai dan menerima uang agar tidak melanjutkan pelaporan.
LBH Semarang mengungkapkan bahwa, acap kali para aparat penegak hukum tidak maksimal dalam menemukan fakta yang sebenarnya untuk mengungkap jaringan perdagangan orang hingga ke akarnya.
“Dari banyaknya korban PT KJS yang kami dampingi selama pemeriksaan di Polda Jateng, para korban yang ditampung di mess Panti Pelayanan Sosial PMKS Margo Widodo Semarang, tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal dari pemerintah. Pun bahwa kasus serupa banyak sekali kami jumpai yang tidak hanya satu atau dua kali di wilayah kantong perekrut AKP Migran di Jawa Tengah. Indikasi TPPO yang dilakukan PT KJS adalah puncak gunung es yang sudah lama terjadi. Oleh karena itu, kami berharap para Majelis Hakim untuk aktif dalam proses persidangan guna menjerat dan menemukan fakta yang sebenar-benarnya serta mendesak Jaksa Penuntut Umum agar menjalankan proses persidangan perkara ini secara maksimal, untuk memastikan terdakwa dijerat sesuai hukum dan hak-hak korban dipulihkan secara menyeluruh.” tutur Safaly, dari LBH Semarang
SBMI dan LBH Semarang menilai bahwa penanganan kasus ini belum menyentuh akar permasalahan. Jaringan manajemen perusahaan, pemodal, dan perekrut lapangan belum dijerat hukum. Proses hukum juga tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban, yang hingga kini belum mendapatkan restitusi ataupun jaminan pelindungan hukum yang memadai. Dalam konteks ini, SBMI dan LBH Semarang mendesak pengadilan untuk menjamin transparansi proses, serta mendesak aparat penegak hukum untuk memperluas penyidikan dan menjamin tidak ada impunitas bagi pelaku perdagangan orang.
Link Dokumentasi: Disini
Narahubung:
Kirana, SBMI – (0823-8403-4349, [email protected])
Safaly, LBH Semarang (+62 813‑4213‑7630)
Views: 21