Siaran Pers: ABK TERJARING PERBUDAKAN, SIAPA PELANGGAR HAM?


Jakarta, 9 Desember 2021 – Menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia
yang jatuh pada 10 Desember, merupakan hal yang penting untuk kembali memberikan
sorotan pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa para anak buah kapal (AB
Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.

Tahun demi tahun, kabar mengenai ABK Indonesia yang mengalami perbudakan selama
bekerja di kapal hingga jenazah ABK dilarung ke laut tanpa persetujuan keluarga mewarnai
pemberitaan di media massa. Namun, selalu saja perhatian kita berangsur surut seiring
berjalannya waktu.

Menurut catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sejak September 2014 hingga Juli
2020 terdapat 338 aduan terkait kerja paksa di laut yang dialami ABK Indonesia di kapal
ikan asing. Pada 2020, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 104, meningkat dibanding
tahun 2019 sebanyak 86 pengaduan.

Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno menyebut setidaknya ada tiga faktor penyebab
terjadinya praktik perbudakan modern ini. Di antaranya karena tata kelola penempatan ABK
yang masih amburadul, penindakan hukum yang kurang tegas terhadap para pelaku
penempatan ABK yang bermasalah, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah.

“Berdasarkan catatan SBMI, jenis praktik perbudakan terhadap ABK Indonesia ini di
antaranya gaji tidak dibayar, tindak kekerasan hingga menyebabkan kematian, bahkan
hingga pelarungan jenazah tanpa seizin keluarga. Praktik perbudakan ini telah merampas
hak asasi para ABK sebagai manusia dan harus segera diakhiri,” tegas Hariyanto dalam
diskusi publik daring berjudul “ABK Terjaring Perbudakan, Siapa Pelanggar HAM?” pada
Kamis, 9 Desember 2021. Diskusi ini terselenggara berkat kolaborasi SBMI dengan
Greenpeace Indonesia dan Human Rights Working Group (HRWG).

Menambahkan SBMI, aktivis HAM dari HRWG Daniel Awigra menilai persoalan struktural
dari isu perbudakan modern terhadap ABK di Indonesia adalah pada kekosongan jaminan
perlindungan hukum (the absence of law), seperti mandat Undang-undang No. 18 Tahun
2017 untuk menyusun peraturan pemerintah (PP) tentang ABK. Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah abai dan wajib
dimintai pertanggungjawaban HAM atas apa yang dialami oleh para ABK. Kekosongan
hukum ini telah, sedang dan akan menambah kerentanan, mengurangi dan menghilangkan
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ABK.

“Presiden wajib memanggil menteri-menterinya untuk mengakhiri konflik kepentingan yang
ada kaitannya dengan proses dan biaya perizinan. Sikap yang lebih mengutamakan
kepentingan dan keuntungan perorangan atau lembaga di atas semangat negara melindungi
pekerja migran termasuk ABK melalui UU 18/2017 patut dikecam. Karena sudah terlambat
lebih dari dua tahun, maka HRWG mendesak Komnas HAM untuk mengusut pelanggaran
ini,” tutur Daniel Awigra.

Guna mendesak pemerintah Indonesia serta negara lain di kawasan Asia Tenggara bersikap
lebih tegas untuk perlindungan ABK, bulan September tahun ini Greenpeace memfasilitasi
peluncuran joint briefing paper masyarakat sipil berjudul “Ratifying and Implementing ILO
Convention 188 in ASEAN Member States”. Joint briefing paper ini didukung oleh 24
lembaga masyarakat sipil di Asia Tenggara. Dokumen ini menekankan urgensi bagi
negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, untuk segera meratifikasi Konvensi
ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan merupakan instrumen
internasional yang paling komprehensif mengenai kondisi kerja dan hak-hak
ketenagakerjaan awak kapal/ABK perikanan. Hak-hak ketenagakerjaan di antaranya adalah
hak atas kesehatan, istirahat yang cukup, gaji yang rutin, repatriasi tanpa biaya tambahan,
akomodasi hidup dan makanan, hingga jaminan sosial serta keselamatan dan kesehatan
kerja merupakan bagian dari hak asasi manusia.

“Ratifikasi konvensi ini merupakan bukti nyata perlindungan HAM yang dapat dan harus
segera dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia,” sebut Annisa Erou, peneliti
kebijakan laut Greenpeace Indonesia dan salah satu penulis briefing paper tersebut.

SELESAI


Views: 71