sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Sembilan Organisasi Pelaut & Masyarakat Sipil Ajukan Permohonan Pihak Terkait JR UU Pelindungan Pekerja Migran ke MK

3 min read

Jakarta, 20 November – Sembilan perwakilan organisasi pelaut dan organisasi masyarakat sipil mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait atas pengujian (judicial review) materiil Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Mahkamah Konstitusi (MK), yang terdaftar dalam perkara nomor: 127/PUU-XXI/2023. Pengajuan permohonan Pihak Terkait tersebut dilakukan pada Senin (20/11/2023) pagi.

Sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil tersebut tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), yang terdiri dari dari: Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Pengajuan ini dilatarbelakangi oleh permohonan judicial review UU PPMI yang diajukan oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Perorangan) dan manning agency PT Mirana Nusantara Indonesia. Pokok permohonan dalam pengujian materiilnya adalah Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Mereka meminta agar klausul tersebut dihapus. Para Pemohon mengklaim, efek dari pasal tersebut mengakibatkan jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.

Di sisi lain, kuasa hukum Pemohon Pihak Terkait, Jeanny Silvia Sari Sirait, menyebut pihaknya melakukan permohonan karena jika klausul tersebut dihapus akan merugikan pekerja migran di sektor pelayaran, baik pelaut kapal niaga maupun kapal perikanan.

Dalam isi permohonannya, para Pemohon Pihak Terkait salah satunya mengutip Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang juga berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Menurut Jeanny, pekerja migran di sektor pelayaran, tidak boleh dikecualikan karena justru akan berdampak pada pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak. Menurutnya, jadi sangat keliru bila pihak Pemohon menganggap UU PPMI merugikan Pelaut. 

“Kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon sebagai Pihak Terkait untuk seluruhnya dan memohon agar menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh Para Pemohon,” kata Jeanny.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, mengatakan bahwa pihaknya selama ini telah memperjuangkan kesejahteraan dan keselamatan pekerja migran Indonesia, termasuk pelaut dan nelayan migran. “Padahal, memasukkan pelaut migran ke dalam kategori pekerja migran adalah perjuangan selama bertahun-tahun, agar ada jaminan kesejahteraan dan pelindungan serta posisinya setara dengan pekerja migran di sektor lain. Jika judicial review ini dikabulkan, ini artinya kemunduran,” tuturnya.

Hal senada juga dikatakan oleh Sekretaris Jenderal SAKTI, Syofyan. Kata dia, penghapusan klausul tersebut akan membuat pelaut Indonesia di kapal asing bekerja tanpa payung hukum yang melindungi. Apabila status pekerja migran bagi awak kapal niaga dan pelaut perikanan dihilangkan, maka aturan turunan UU PPMI–Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran–tidak berlaku lagi.

Syofyan menambahkan, Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran hanya mengatur awak kapal berbendera Indonesia. Artinya, awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing tidak termasuk. “Walau Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006 dan menjadi Undang-Undang No. 15 tahun 2016, tapi sampai saat ini kita belum punya aturan turunan yang melindungi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing, yang merujuk ke undang-undang itu,” katanya.

Sebagai organisasi kampanye lingkungan, Greenpeace Indonesia juga merasa penting untuk tergabung dalam tim advokasi ini. Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, menyebut bahwa penegakan keadilan untuk laut berjalan seiring dengan penegakan keadilan untuk manusia yang menggantungkan hidup di laut. 

“Aktivitas perikanan yang ekstraktif telah merusak ekosistem laut sekaligus mengeksploitasi para awak kapal perikanan. Selama ini kita mendorong pemerintah untuk memberikan pelindungan yang lebih kuat untuk mereka. Jika MK mengabulkan permohonan judicial review tersebut, kami merasa perjuangan masyarakat sipil selama ini akan sia-sia,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *