Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjadi panelis dalam forum Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Generasi VI yang dilaksanakan oleh Kementerian Hak Asasi Manusia bersama dengan Unicef pada Senin (29/09/25) di Jakarta Selatan. Forum ini diselenggarakan guna membahas RANHAM generasi ke-VI yang akan menggantikan RANHAM generasi ke-V yang akan selesai pada Desember 2025.
SBMI menjadi salah satu panelis dalam forum ini dengan membuka konteks bahwa migrasi paksa yang dialami buruh migran Indonesia dinilai bukan sekedar persoalan ekonomi, melainkan krisis Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering diabaikan dan semakin mendesak. SBMI menegaskan, tanpa keberpihakan negara, pekerja migran akan terus terjebak dalam lingkaran eksploitasi dari perekrutan hingga kepulangan.
SBMI mengungkap, sejak 2010 hingga 2024 data pengaduan SBMI mencatat ada sebanyak 6.120 aduan kasus buruh migran. Sementara catatan kasus perdagangan orang menunjukkan 1.115 kasus hanya dalam rentang 2010-2023 (Laporan Perdagangan SBMI, 2023).
“Data ini membuktikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami pekerja migran masih masif terjadi sampai hari ini, koordinasi antar-lembaga lemah, dan restitusi bagi korban hampir mustahil diperoleh. Kita mengapresiasi bahwa salah satu pilar utama dalam RANHAM generasi VI ini adalah Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Bagi SBMI, RANHAM akan lebih bermakna, jika bisa memastikan satu hal: hak-hak buruh migran menjadi pusat dari kebijakan, bukan catatan pinggir.” ujar Kirana, Koordinator Riset dan Investigasi SBMI

Negara Selalu Bersembunyi di Balik Jargon “Pahlawan Devisa”
SBMI menilai, negara terlalu lama bersembunyi di balik jargon “pahlawan devisa” sembari mengabaikan tanggung jawab pelindungan. Karena itu, SBMI mendorong agar RANHAM generasi ke-VI tidak hanya menulis komitmen di atas kertas, tetapi menghadirkan mekanisme nyata dengan adanya akses informasi yang utuh, layanan konsuler yang responsif, hingga program reintegrasi berkelanjutan untuk benar-benar mengimplementasikan Hak Asasi Manusia di segala aspek dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Tuntutan Untuk Membangun Kedaulatan Migrasi
Beberapa tuntutan utama yang disampaikan SBMI antara lain:
- RANHAM harus memberikan pengakuan konkrit bahwa migrasi paksa sebagai krisis HAM akibat krisis iklim dan hilangnya ruang hidup.
- RANHAM harus memastikan masuknya komponen anti-SLAPP dalam setiap regulasi yang berkaitan dengan hak asasi untuk menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela HAM.
- Mekanisme pengaduan dan bantuan hukum lintas negara yang cepat, transparan, dan berorientasi pada korban.
- Pergeseran narasi dari “pahlawan devisa” menjadi “subjek hak asasi”, RANHAM harus menegaskan buruh migran adalah subjek hak, bukan sekadar mesin remitansi.
- Komponen Human Right Due Diligence pada setiap pelaku dan/atau perusahaan bisnis penempatan Pekerja Migran Indonesia
Suara serupa datang dari jaringan dan lembaga lain sebagai narasumber dan juga peserta aktif dalam forum ini. IOM menegaskan pentingnya tata kelola migrasi yang berdaulat dan tidak tunduk pada kepentingan pasar. Komnas Disabilitas menyoroti kesenjangan perlindungan struktural yang membuat penyandang disabilitas semakin terpinggirkan ketika ingin bekerja ke luar negeri. Komnas Perempuan mengingatkan bahwa sekitar 500 peraturan daerah diskriminatif masih dibiarkan, memperkuat kontrol atas tubuh perempuan, termasuk buruh migran perempuan. Sementara KPAI menekankan bahwa pengabaian terhadap anak buruh migran berisiko memperkuat lingkaran ketidakadilan sosial, termasuk meningkatnya perkawinan usia dini.
Bagi SBMI, makna RANHAM generasi ke-VI, hanya bisa terwujud bila buruh migran ditempatkan sebagai subjek hak. “Migrasi harus menjadi pilihan, bukan paksaan. Komponen RANHAM harus memastikan bahwa Migrasi jangan dibiarkan berjalan di bawah logika pasar dan keuntungan, sementara hak-hak pekerja didorong ke pinggir.” tutup SBMI