Jakarta, 26 Agustus 2025 – Sebagai bagian dari Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menggelar side event bertajuk “Perlindungan Sosial yang Adaptif untuk Masyarakat Rentan di Tengah Krisis Iklim” dalam rangkaian Indonesian Climate Justice Summit (ICJS) 2025. Kegiatan ini menjadi ruang strategis bagi penyintas perdagangan orang, buruh migran, dan komunitas terdampak krisis iklim untuk menyuarakan pengalaman mereka sekaligus merumuskan rekomendasi kebijakan perlindungan sosial yang lebih inklusif dan berkeadilan iklim.
Acara ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memperkuat rantai eksploitasi yang dialami kelompok rentan. Diskusi dipimpin oleh fasilitator dari jaringan masyarakat sipil dengan tujuan menggali realitas lapangan, memperkuat agenda advokasi, serta mendorong negara menghadirkan sistem perlindungan sosial yang melindungi hak migrasi dan memutus lingkaran kemiskinan struktural.
Resi Yulianto, seorang mantan awak kapal perikanan di kapal berbendera China, menceritakan pengalamannya sebagai korban eksploitasi. Ia direkrut dengan janji gaji tinggi, namun justru mengalami jam kerja berlebihan, upah tidak dibayar, dan kondisi kerja tidak layak. Setelah berbulan-bulan terkatung-katung di luar negeri,
“Saya pulang tanpa hak yang dijanjikan dan harus meminjam uang untuk kembali ke kampung halaman. Bersama SBMI, saya memperjuangkan hak saya hingga akhirnya hak tersebut dibayarkan setelah melalui proses panjang. Kini saya menjadi ketua di Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia di Tegal untuk membantu banyak orang yang menjadi korban seperti saya.” tuturnya
Sementara itu, Irmawati, M.A, dosen Hubungan Internasional IISIP Jakarta, menyoroti keterkaitan eksploitasi tenaga kerja dengan sistem ekonomi global. Menurutnya, nelayan tradisional yang kehilangan sumber daya karena ekosistem laut yang rusak akhirnya dipaksa menjadi buruh migran di kapal besar berbendera asing dengan kondisi kerja berbahaya.
“Migrasi menjadi suatu hal yang bukan pilihan bebas, tapi jalan terakhir akibat ketidakadilan struktural. Pemerintah harus hadir dengan komitmen keadilan,” ujarnya.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI menambahkan bahwa perubahan iklim memperparah kerentanan masyarakat pesisir. Hilangnya wilayah tangkap ikan dan rusaknya lahan pertanian akibat pembangunan industri ekstraktif, seperti PLTU dan perkebunan sawit, memicu migrasi paksa.
“Negara bukan hanya berbisnis tanah, tapi juga bisnis manusia ke luar negeri, yang memperburuk masalah struktural penyebab adanya migrasi paksa. Tanpa ratifikasi regulasi dan pengawasan ketat, kita tidak siap menjadi negara maritim yang berdaulat.” katanya, menyoroti kebijakan negara yang gagal melindungi warga.
Dalam giat ini, SBMI bersama IISIP menegaskan bahwa sistem pelindungan sosial Indonesia masih mengandalkan indikator kemiskinan berbasis rumah tangga, tanpa mempertimbangkan kerentanan individu seperti disabilitas, gender, status migran, atau lokasi geografis. Buruh migran, baik di luar negeri maupun setelah kembali, seringkali tidak tercakup dalam skema pelindungan sosial.
Para peserta sepakat bahwa kebijakan negara gagal menjawab dampak multidimensi krisis iklim yang memicu disabilitas baru, memiskinkan komunitas adat, dan memperburuk ketimpangan gender serta Pemulihan sumber penghidupan masyarakat lokal untuk mencegah migrasi paksa dan perdagangan orang menjadi suatu yang krusial untuk segera diimplementasikan.
Views: 22