Jakarta, 29 Juli 2025 – Setiap 30 Juli, dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Namun bagi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), momen ini bukanlah seremoni simbolik, melainkan pengingat keras atas kegagalan negara dalam menghentikan praktik eksploitasi sistemik terhadap buruh migran Indonesia. Di tengah janji-janji pelindungan, sistem peradilan pidana justru menjadi ruang di mana korban kembali dilukai. Fakta yang dihadirkan dalam laporan SBMI bertajuk “Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO: Membongkar Realitas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum” menunjukkan dengan jelas: sistem hukum kita belum berpihak pada korban, bahkan secara aktif melanggengkan kekerasan melalui proses hukum yang tidak sensitif, meminggirkan korban dari hak dasarnya, dan melemahkan pendamping yang berjuang mendampingi mereka. Pada Catatan Tahunan SBMI 2024, terdapat 251 Pekerja Migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban perdagangan orang dari berbagai sektor.
SBMI mencatat sedikitnya 22 kasus perdagangan orang terhadap buruh migran yang dilaporkan sejak tahun 2014 hingga 2025 ke berbagai instansi kepolisian, namun belum menunjukkan progres berarti. Beberapa kasus telah berusia lebih dari satu dekade dan terancam kadaluarsa. Di saat yang sama, hak restitusi yang telah diputus oleh pelbagai pengadilan senilai lebih dari Rp 5,6 miliar tak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan. Di ruang sidang, korban bukan hanya diabaikan, tetapi juga dipermalukan secara terbuka oleh majelis hakim. Hakim mempertanyakan alasan pelaporan korban, menyudutkan perempuan atas pengalaman kekerasannya, dan dalam beberapa kasus bahkan korban dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan tak mendasar yang bertentangan dengan prinsip peradilan berbasis korban. Pendamping korban menghadapi intimidasi, dikucilkan dari proses hukum, bahkan dicurigai, padahal kehadiran pendamping korban sangat vital dalam mendampingi korban yang mengalami trauma atas eksploitasi yang terjadi.

Laporan ini membongkar temuan penting dari lima wilayah pengadilan: Serang Banten, Pemalang Jawa Tengah, Malang Jawa Timur, Indramayu Jawa Barat, dan Sukadana Lampung. Di Serang, polisi sempat menolak laporan karena korban masih berada di luar negeri, mengabaikan fakta bahwa pelaku berada di Indonesia. Di Indramayu, korban yang sedang hamil diperiksa selama delapan jam dalam satu hari tanpa ruang ramah perempuan. Di Pemalang, para calon awak kapal perikanan ditampung secara berbulan-bulan tanpa kejelasan pemberangkatan, dan ketika kasus terungkap, para korban justru ditempatkan di panti sosial tanpa fasilitas layak dan tanpa pelindungan. Beberapa dari korban ini bahkan kembali menjadi korban perdagangan orang ke Kamboja/Myanmar setelah dilepas tanpa reintegrasi.
Di Malang, perempuan korban malah diintimidasi oleh hakim di ruang sidang, dan diposisikan sebagai penyebab kegagalan teman-temannya berangkat kerja karena pelaporan yang dilakukannya. Di Lampung Timur, aparat justru menyarankan korban berdamai dengan pelaku, disertai tekanan agar menerima uang damai, dan sejak awal kasus hanya diterima sebagai aduan masyarakat, bukan laporan resmi.
Kekerasan terhadap buruh migran tak hanya terjadi saat perekrutan atau penempatan, tetapi juga di tengah sistem hukum yang semestinya menjadi ruang pemulihan. Ketika proses hukum lebih berpihak pada kecepatan penyelesaian administratif daripada substansi pemulihan korban, maka keadilan berubah menjadi formalitas kosong. Ketika hakim, jaksa, dan polisi masih memandang korban dengan kecurigaan, bukan empati; ketika koordinasi antar lembaga minim, dan restitusi yang telah diputus pengadilan tak pernah terwujud, maka negara telah gagal mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil. Negara Gagal melindungi, gagal memulihkan, gagal bertanggung jawab.
Pada sistem peradilan pidana yang gagal, korban dan pendamping menjadi sasaran bagi tindakan retaliasi/pembalasan oleh pelaku. Di Sukadana Lampung Timur para Korban digugat Perdata oleh Pelaku, sedangkan para pendamping di Malang dan Pemalang mendapatkan ancaman intimidasi dan kriminalisasi. Gugus Tugas TPPO yang diketuai oleh Kepolisian juga tidak berjalan efektif, sehingga perlu untuk dievaluasi menyeluruh.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menegaskan, “Apa yang disampaikan negara adalah janji. Tapi yang dialami korban adalah pengkhianatan. Ketika laporan-laporan yang kami buat sejak lebih dari sepuluh tahun lalu tak kunjung selesai, ketika korban dihina di ruang sidang, dan restitusi tak pernah dibayar, itu bukan sekadar kelalaian. Itu adalah pengabaian yang sistemik.”
Bagi SBMI, peringatan Hari Anti Perdagangan Orang tidak boleh menjadi panggung seremoni, tetapi menjadi momen untuk mempertanyakan ulang arah dan tanggung jawab negara. Ketika keadilan tak lagi bisa ditemukan di dalam ruang hukum, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak korban, tapi juga martabat negara itu sendiri. Berikut rekomendasi SBMI dalam peringatan Hari Anti TPPO 2025:
- Pemerintah RI dan DPR RI harus segera mengakomodir hak-hak korban dalam RUU KUHAP yang berorientasi terhadap pemenuhan hak, kebutuhan pelindungan, peran korban dalam sistem peradilan pidana.
- Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Mahkamah Agung RI perlu menyusun dan menerbitkan peraturan/panduan bersama yang menjadi panduan penanganan kasus TPPO pada pekerja migran. Panduan ini harus menjelaskan penggunaan UU No. 21/2007 tentang PTPPO dan UU No. 18/2017 tentang PPMI secara terpadu, serta memprioritaskan pendekatan berbasis hak korban, termasuk mekanisme restitusi dan pemulihan.
- Pemerintah RI dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU PTPPO untuk memperbaiki dan menyesuaikan unsur utama TPPO sesuai Protokol Palermo, memperkuat hak korban terutama menambahkan mekanisme kompensasi dan dana bantuan korban bagi korban TPPO.
- Pemerintah RI dan DPR RI harus menjamin pelindungan hukum terhadap korban atas tindakan pembalasan, non penghukuman serta pelindungan pendamping, paralegal, dan advokat yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Hal ini merupakan mandat tegas Pasal 60, 61, dan 62 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mengakui peran masyarakat sipil dalam pemberantasan TPPO yang sangat penting untuk mengakomodir prinsip Anti-SLAPP.
- Kepolisian RI segera mengembangkan dan mendirikan Direktorat TPPO di seluruh Kepolisian di tingkat daerah. Serta mengembangkan agar pelayanan Kepolisian ramah korban, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan serta keamanan korban. Pelaporan harus didukung oleh protokol yang memastikan hak korban terpenuhi sejak tahap awal, termasuk hak atas pendampingan, perlindungan, dan informasi.
- Pemerintah perlu memperkuat Gugus Tugas TPPO di semua tingkat dengan memastikan fungsi koordinatif berjalan efektif, anggaran tersedia pelibatan masyarakat sipil dilakukan secara bermakna, serta mendorong penguatan kapasitas Gugus Tugas Daerah agar dapat bekerja secara nyata dan tidak bersifat simbolik. Terutama memastikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO diimplementasikan.
- Meningkatkan kapasitas Aparat Penegak Hukum melalui pelatihan dan pendidikan dalam menangani kasus TPPO pekerja migran Indonesia dan untuk memahami kerangka hukum UU PTPPO dan UU PPMI. Serta menyediakan aparat penegak hukum khusus untuk menangani kasus TPPO.
- Memperkuat komitmen Pemerintah Indonesia dalam membangun kerjasama Global dan Asean untuk pencegahan dan penanganan TPPO transnasional.
Link Laporan TPPO 2025:
Narahubung: Kirana, Koordinator Media Kampanye (+62823-8403-4349, [email protected])
Views: 24