sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SBMI AKAN MELUNCURKAN HASIL PENELITIAN PELINDUNGAN BMI DI MASA PANDEMI

3 min read

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto mengatakan akan meluncurkan hasil penelitian terkait pelindungan buruh migran Indonesia di masa pandemi. Penelitian ini terselenggara atas kerjasama dengan Yayasan Kurawal. Pelaksanaannya menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan survei yang melibatkan 148 responden yang aktif bekerja di negara tujuan, dengan mempertimbangkan keragaman gender dan sektor pekerjaan. Sementara itu, data kualitatif dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam dalam rentang waktu Maret hingga Juni 2021 melalui media Zoom, Whatsapp, dan saluran telepon.

“Diskusi kelompok terfokus tersebut melibatkan konsulat jenderal/duta besar serta perwakilan fungsi kekonsuleran dan ketenagakerjaan di Kuala Lumpur (Malaysia), Kota Kinabalu (Malaysia), Singapura, Hong Kong, dan Jeddah (Arab Saudi),” jelasnya pada 2 Juli 2021. 

Tujuan dari penelitian tersebut mencakup:

  1. berusaha mengidentifikasi dampak-dampak pandemi COVID-19 terhadap kesejahteraan pekerja migran Indonesia (PMI) dalam berbagai sektor kerja di Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Arab Saudi, serta bagaimana dampak-dampak tersebut turut berimbas pada kesejahteraan keluarga PMI di negara asal (Indonesia).
  2. menelaah berbagai tanggung jawab dan respons yang telah dilakukan oleh perwakilan pemerintah Republik Indonesia (RI) di beberapa negara tujuan tersebut dalam memitigasi dampak COVID-19 terhadap PMI.
  3. berusaha mendapatkan informasi mengenai tantangan dan kendala yang dihadapi oleh PMI dalam mengakses layanan dan bantuan oleh perwakilan RI dalam konteks COVID-19.
  4. menghimpun penilaian dan rekomendasi PMI atas berbagai layanan dan bantuan yang disediakan oleh perwakilan RI dalam konteks COVID-19. 

Buruh Migran : Makin Rendah Upahnya, Makin Rentan

Beberapa kebijakan negara tujuan penempatan memposisikan beberapa jenis pekerjaan buruh migran kedalam skema upah rendah. Melalui kebijakan ini kemudian menghilangkan hak-hak dasar buruh.   

Contohnya, pemerintah Singapura mengesahkan undang-undang bernama Employment of Foreign Manpower Act sebagai kerangka pelindungan pekerja migran sektor bangunan dan rumah tangga. Undang-undang ini memuat serentetan klausul diskriminatif yang menghilangkan berbagai macam hak dasar yang dijamin dalam Employment Act. 

Kebijakan ini kemudian mengatur masa tinggal selama peride tertentu saja, tidak boleh mendaftarkan diri menjadi penduduk tetap (permanent resident), dilarang membawa anak atau pasangan, dan tidak diizinkan menikahi warga lokal tanpa persetujuan Kementerian Ketenagakerjaan Singapura.  Selain itu, pekerja upah-rendah akan dideportasi dengan segera jika terbukti hamil atau terjangkit HIV/AIDS. 

Negara Tujuan Mendapatkan Penghasilan Triliun Dari Buruh Migran Upah Rendah

  1. Malasia mendapatkan keuntungan finansial yang besar melalui skema pajak yang dibebankan pada pekerja migran. Misalnya, pendapatan pajak tahunan sebesar RM 2.500 (8,7 juta rupiah) per pekerja dari pekerja migran sektor manufaktur, bangunan dan jasa, dan RM 1.500 (5,2 juta rupiah) per pekerja dari pekerja migran sektor perkebunan dan pertanian. Ini berarti setiap tahun, Pemerintah Malaysia mendapatkan triliunan ringgit dari pajak yang dibayarkan oleh pekerja migran, yang jumlahnya mencapai 2 juta orang pada 2020.
  2. Setiap bulan, Singapura mendapatkan SGD 300-950 (3 juta hingga 9,5 juta rupiah). Ini berarti setiap tahun, Singapura menerima SGD 3.600-11.400 (Rp 36 juta-114 juta) dari setiap pekerja migran, yang jumlahnya mencapai 1,2 juta orang pada 2020. 

Walaupun kontribusi buruh migran terhadap pendapatan negara tujuan begitu signifikan, pemerintah setempat tidak membangun jaring pengaman (safety net) untuk melindungi mereka ketika terjadi situasi krisis, seperti pandemi COVID-19 seperti sekarang, pemutusan hubungan secara sepihak, atau pensiun dini. Hal tersebut berarti bahwa buruh migran harus bergantung sepenuhnya pada pendapatan bulanan yang masih di bawah upah minimum regional setempat dan rentan terhadap situasi-situasi tak terduga.

Tidak dapat dipungkiri, tata kelola migrasi upah-rendah semacam ini bukan merupakan corak khas Singapura saja, tetapi juga beberapa negara lain seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Hong Kong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *