Pemalang, 15 Oktober 2025 — Di balik pasokan hidangan laut global, ada krisis kemanusiaan yang tak terlihat: para awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia terperangkap dalam lingkaran setan kerja paksa, eksploitasi, kekerasan, hingga perdagangan orang. Lautan yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan justru menjadi saksi bisu krisis kemanusiaan yang terabaikan.
Menjawab kondisi darurat ini, sejumlah lembaga menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Grand Wijaya, Pemalang, Jawa Tengah. Acara bertajuk “Menuju Kepastian Tata Kelola Pelindungan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan Migran dalam Kewenangan Daerah, Nasional, Regional dan Internasional” ini mempertemukan pemerintah pusat dan daerah, serikat buruh, pelaku usaha perekrutan (manning agency), serta masyarakat sipil.
Diskusi ini diinisiasi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, dan Migrant Workers’ Concern Desk Stella Maris Taipei, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurut Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, selama bertahun-tahun pemerintah seolah berjalan di tempat. Padahal Indonesia memiliki kerangka hukum seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Perikanan Migran. Modalitas regulasi ini diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-XXI/2023 telah menegaskan hak konstitusional awak kapal untuk diakui sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia harus menjadi pijakan kuat untuk memastikan seluruh pelaut migran, baik di kapal niaga maupun perikanan, mendapat pelindungan hukum dan akses keadilan yang setara.
Namun, lanjut Hariyanto, regulasi tersebut hanya menjadi macan kertas saat berhadapan proses di kementerian/lembaga negara dan lemahnya pengawasan di lapangan. Akibatnya jelas, AKP migran dibiarkan tanpa pelindungan memadai. Para pekerja di laut menjadi kelompok yang paling rentan terhadap praktik kerja paksa, perdagangan orang, dan kekerasan.
Hasil temuan lapangan SBMI bersama para pendamping korban dan AKP migran menunjukkan bahwa penanganan kasus di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa masih diwarnai kebingungan dan saling lempar tanggung jawab antar instansi. Kondisi ini terutama disebabkan oleh terbatasnya kewenangan Dinas Tenaga Kerja Daerah yang sulit untuk menindak perusahaan-perusahaan yang memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK)/Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK). Izin tersebut diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan, bukan oleh Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) yang seharusnya mengeluarkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
Hariyanto menilai momentum pembentukan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) pada tahun 2024 menjadi titik penting dalam agenda pembenahan struktural. Transformasi kelembagaan ini diharapkan tidak berhenti pada perubahan nomenklatur, tetapi benar-benar memperkuat mandat negara dalam memastikan pelindungan menyeluruh, memperluas diplomasi pelindungan lintas negara, serta menegakkan akuntabilitas tata kelola dari tingkat nasional hingga daerah.
Dia menegaskan komitmen negara terhadap pelindungan pelaut migran tidak bisa bersifat simbolis. “Mandat Negara telah tegas melalui UU No.18/2017, PP No.22/2022, dan Putusan MK 127/PUU-XXI/2023 yang menjelaskan awak kapal perikanan migran merupakan bagian dari Pekerja Migran Indonesia, namun hingga saat ini Kementerian Perhubungan melakukan pembangkangan hukum dan melawan Presiden dengan tidak mematuhi peraturan dan Putusan MK,” tutur Hariyanto.
Salah satu contoh nyata eksploitasi adalah kasus yang menimpa AKP di kapal penangkap cumi berbendera Taiwan, Para pekerja direkrut dengan kontrak 2-3 tahun, namun kapal hanya beroperasi selama 4-6 bulan saat musim cumi. Menurut Romo Hendrikus Arie Ukat,Romo Arie, Migrant Workers’ Concern Desk Stella Maris Taipei menuturkan bahwa di luar musim itu, para AKP migran telantar tanpa gaji dan harus menanggung biaya hidup sendiri. Praktik penipuan ini bahkan telah menjadi temuan investigasi lembaga pengawas Pemerintah Taiwan, The Control Yuan, pada September 2024.
“Seasonal squid fishing (kapal cumi musiman) merugikan AKP migran yang ditempatkan di kapal-kapal tersebut. Pemerintah Taiwan dan Indonesia harus memastikan bahwa pelaut migran tidak dieksploitasi. Pengawasan, inspeksi serta kontrol terhadap kapal-kapal ini harus dilaksanakan secara intensif agar gaji para AKP migran tetap dibayar sesuai dengan peraturan yang berlaku di Taiwan, serta memastikan majikan tidak lari dari tanggung jawabnya sebagai pemberi kerja,” jelas Romo Arie.

Di tingkat internasional, desakan untuk perbaikan terus menguat. Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara dan Pimpinan Global “Beyond Seafood Campaign”, menyoroti langkah penting Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (Western and Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC) yang telah mengadopsi Labour Standard Conservation and Management Measure (CMM) pada Desember 2024.
“Saat ini semua kapal yang beroperasi di wilayah Pasifik harus mendaftarkan awak kapalnya sebagai bagian dari upaya pembenahan untuk mengakhiri perbudakan di laut. Dengan begitu, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu mendaftarkan crew provider atau perusahaan penempatan perekrutan untuk bisa berlisensi sehingga kapal-kapal yang beroperasi di wilayah Pasifik bisa menempatkan awak kapal perikanan Indonesia sesuai prosedur,” kata Arifsyah Nasution.
FGD di Pemalang ini menjadi momentum untuk mendorong pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melindungi para pahlawan devisa di sektor perikanan. Pelindungan mereka adalah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas kerja layak, keselamatan, dan martabat manusia.
Para pemangku kepentingan berharap diskusi ini dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan tata kelola yang adil dan akuntabel, sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto pada Hari Buruh Internasional 2025 untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 atau K-188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.