Respon Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI atas Reshuffle Menteri KP2MI

Siaran Pers 

[Jakarta, 22 September 2025] – Merespon reshuffle Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Kepala BP2MI yang diumumkan pada tanggal 8 September lalu, Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI menyerukan agar reshuffle ini tidak boleh mengurangi dan mengubah komitmen dan kewajiban negara untuk memajukan hak asasi manusia pekerja migran Indonesia (PMI). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (‘UU PPMI’) sejatinya telah menjamin pelindungan dalam setiap tahapan migrasi bagi PMI, namun tidak terimplementasikan dikarenakan terlambatnya penerbitan aturan turunan di berbagai tingkatan pemerintahan, minimnya perjanjian bilateral, dan pengawasan yang tidak efektif. 

Banyak pemerintah daerah khususnya di tingkat desa bahkan tidak mengetahui keberadaan UU PPMI. Berdasarkan survei Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada tahun 2024 di 1.082 desa di 8 provinsi, 76% perangkat desa tidak memahami UU PPMI. Temuan serupa ditemukan dalam Feminist Participatory Action Research  (FPAR) yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan pada tahun 2024 di tiga kabupaten, yaitu, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Sumbawa. 

Tidak terimplementasikannya UU PPMI secara baik berdampak pada tingginya angka eksploitasi, TPPO, dan pelanggaran hak-hak yang dialami PMI baik itu sewaktu mereka berada di dalam maupun luar negeri. Maka, implementasi yang efektif dan menyeluruh dari UU PPMI merupakan syarat bagi untuk terpenuhinya pelindungan terhadap PMI UU PPMI perlu diimplementasikan secara menyeluruh. Selain itu  terdapat beberapa celah dalam UU PPMI yang perlu diperkuat untuk memenuhi pelindungan terhadap PMI, dengan memperkuat norma pelindungan terhadap PMI dan keluarganya. khususnya terkait: hak-hak anak dan keluarga PMI, perlindungan terhadap  perempuan serta pekerja rumah tangga migran dan ABK, pelindungan terhadap  pembela hak-hak pekerja migran, dan penegasan hak setiap individu untuk bermigrasi tanpa memandang status. 

Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan bertujuan untuk mengukuhkan perlindungan. Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI menyoroti urgensi untuk mempertahankan dan memperkuat norma-norma pelindungan yang sudah ada dan baik. Maka, penting untuk memastikan akses terhadap keadilan, jaminan sosial, dan proses reintegrasi yang aman dan bermartabat,  serta memastikan layanan bagi kesejahteraan PMI dan keluarganya yang transparan dan akuntabel. 

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) dan DPR wajib mendiskusikan sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) PPMI yang berpotensi menimbulkan ambiguitas, diantaranya pengaturan mengenai pekerjaan dengan ketentuan tertentu seperti praktik pemagangan. Pemagangan kerap dijadikan kedok atas perekrutan pekerja dengan upah murah dan disalahgunakan dengan mengabaikan hak-hak pekerja yang justru mempraktekkan perbudakan modern.  Pemagang meskipun pada kenyataannya mereka adalah pekerja, namun pemagangan bukan masuk dalam kategori sebagai pekerja sehingga menjadi keluar dari kategori pekerja migran sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICRMW). 

Selain itu rencana dibentuknya Badan Layanan Umum (BLU) Penempatan. Jaringan memerlukan kejelasan mengenai peran, fungsi, dan akuntabilitas BLU dalam proses penempatan untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan pelayanan yang transparan dan berpihak kepada PMI dan Keluarganya. Kami menolak ketentuan pengampunan . Karena, bisa menjadi celah bagi impunitas pelaku kejahatan terhadap PMI. Pendistribusian informasi peluang kerja, fasilitasi perselisihan/ advokasi/ bantuan hukum, dan potensi pengampunan/amnesti yang diberikan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) harus dikaji ulang untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dan tetap mengedepankan hak dan pelindungan PMI serta keluarganya.. 

Jaringan menilai penggunaan diksi “pengampunan” terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural menimbulkan masalah serius. Jika tujuan utama pemerintah adalah melakukan pendataan, maka langkah tersebut seharusnya difokuskan pada pemutakhiran data dan penguatan akses layanan, bukan memberi kesan seolah-olah PMI yang bersangkutan melakukan kesalahan dan harus “diampuni”. Diksi ini tidak hanya menstigmatisasi PMI, tetapi juga berpotensi memberi pemakluman kepada pihak-pihak yang justru memberangkatkan pekerja migran secara non prosedural. Dengan demikian, istilah yang digunakan harus merefleksikan pendekatan pelindungan dan keadilan, bukan pendekatan yang menyalahkan pekerja migran.

Biaya penempatan selama ini kerap menjadi titik eksploitasi karena tidak transparan dan menimbulkan potensi overcharging.  RUU PPMI perlu memastikan bahwa biaya penempatan, khususnya untuk kebutuhan pribadi Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) diatur secara jelas dan ketat agar tidak menjadi celah praktik pembebanan yang tidak adil. Prinsip keberpihakan kepada pekerja migran harus ditegaskan, dengan perlindungan eksplisit dari praktik biaya berlebihan. Pemerintah harus memastikan pemberian pelatihan/vokasi gratis kepada Calon PMI agar memastikan tidak adanya overcharging. Kami menuntut, untuk menciptakan mekanisme penuntutan ganti rugi yang mudah diakses oleh PMI dan Keluarganya. Jaringan juga mendesak agar norma pelindungan bagi pembela hak PMI sesuai dengan standar pembela HAM dimasukkan secara eksplisit dalam RUU PPMI. 

Revisi UU PPMI adalah momentum krusial dalam membangun tata kelola migrasi yang adil, transparan, dan bebas dari praktik eksploitatif untuk  mengukuhkan dan memperkuat perlindungan bagi jutaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sesuai standar HAM internasional, bukan justru melemahkan.  pelindungan wajib dijamin dan diberikan secara komprehensif kepada setiap PMI dan anggota keluarganya,mencakup pelindungan atas hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Jaringan Advokasi Kawal UU PPMI menegaskan bahwa proses revisi ini harus melibatkan PMI, keluarga, serikat pekerja, CSO, dan seluruh pemangku kepentingan, agar setiap pasal benar-benar mencerminkan kebutuhan di lapangan. Masukan dari berbagai pihak harus didengar dan dijadikan landasan keputusan, sehingga revisi ini bisa menjadi titik balik yang menutup celah impunitas, memperkuat perlindungan, dan menegaskan keberpihakan negara kepada pekerja migran Indonesia.