Search

Reformasi Tata Kelola Migrasi untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap Perempuan

Jakarta, 31 Juli 2025 –  Solidaritas Perempuan dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melakukan dialog publik dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Bertempatkan di Kantor Komnas Perempuan, berbagai pihak hadir untuk menyoroti persoalan TPPO di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perempuan buruh migran.  Dialog publik ini juga menjadi momentum penting untuk mendiskusikan  secara bersama-sama dalam menyoroti berbagai bentuk eksploitasi manusia dan pelanggaran hak yang dialami oleh perempuan buruh migran (PBM), termasuk hal yang dialami Rokayah.

Rokayah, salah satu purna perempuan buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang di negara Arab Saudi menceritakan pengalaman buruknya menjadi korban perdagangan orang pada saat bekerja keluar negeri, “Ketika saya ingin pulang karena sakit, majikan itu mengatakan bahwa dia tidak peduli bahkan jika saya mati karena dia sudah membeli saya.” ucap Rokayah. 

Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan –  “Ada relasi kuasa yang sangat timpang yang terjadi kepada perempuan, padahal banyak perempuan yang memang tidak ingin memberangkatkan diri keluar negeri. Dari data SP, sekitar 80% perempuan buruh migran diberangkatkan ke Timur Tengah, padahal sudah ada moratorium Indonesia terkait pelarangan penempatan pekerja migran ke daerah Timur Tengah. Tata kelola migrasi yang rumit memperparah perempuan menjadi korban TPPO. Pembangunan yang patriarki dan merusak sumber penghidupan juga memaksa perempuan mengalami semua dampak, yang kita kenal sebagai feminisasi migrasi.” 

Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI – “Menyoroti berbagai bentuk perdagangan orang, permasalahannya adalah perspektif aparat penegak hukum tidak ramah bagi perempuan korban TPPO pun diperparah dengan sistem peradilan pidana kita yang tidak akuntabel. Karena harus diakui, sistem pelindungan yang ada masih jauh dari memadai, dan praktik eksploitasi terhadap perempuan buruh migran terus berlangsung dengan pengabaian oleh negara. Salah satu titik paling gelap dari sistem peradilan pidana kita adalah ketika korban yang menjadi saksi korban justru tersisih dari proses hukum yang seharusnya mengedepankan kepentingannya. Dalam banyak kasus TPPO, saksi korban diposisikan hanya sebagai pelengkap formalitas, bukan subjek utama dalam pencarian keadilan.” 

Ahmad Sofyan, Dosen Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara – “Dalam konteks TPPO di Pasal 4 Undang-Undang TPPO perlu ditafsirkan tidak hanya berdasarkan akibatnya (delik materiil), tetapi juga berdasarkan tujuannya (delik formil). Sayangnya, aparat penegak hukum masih sering memaknai pasal ini secara sempit, hanya pada aspek akibat. Hal ini berdampak pada rendahnya pengakuan terhadap hak korban, terutama terkait restitusi. Restitusi adalah hak korban, bukan sanksi tambahan bagi pelaku. Tidak seharusnya ada opsi subsider. Negara harus menyediakan dana abadi untuk memastikan pemulihan korban secara nyata.” 

Irwan Setiawan, Komnas Perempuan – “Kami dengar kemarin dari Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bahwa sebanyak 1125 Pekerja Migran Indonesia terjerat menjadi perdagangan orang. Kitakan sudah ada gugus tugas TPPO, tapi pertanyaan yang besar dari kita adalah mengapa kasus seperti yang dialami ibu Rokayah, masih terjadi juga? Untuk itu setelah BP2MI beralih menjadi KP2MI bisa secara sentral masuk ke dalam gugus tugas TPPO. Komnas Perempuan selalu terbuka untuk menjalin diskusi dengan masyarakat sipil termasuk SBMI dan Solidaritas Perempuan.”

Tingginya kasus perdagangan orang di Indonesia tidak terlepas dari lemahnya implementasi kebijakan undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO. Data penangan kasus Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada tahun 2019-2024 terdapat 1.800 buruh migran yang di dominasi oleh perempuan. Pada tahun 2023, SBMI menangani 344 kasus perdagangan orang dengan presentasi 76% korban laki-laki dan 24% korban Perempuan. Catatan  Solidaritas Perempuan (SP) pada tahun 2024 terdapat 87% PBM bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) mengalami lapisan kekerasan, pelanggaran hak kerja dan menjadi korban TPPO di berbagai negara penempatan. 

Mega, Perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Kami mengakui bahwa dalam satuan gugus tugas TPPO Kementerian/lembaga masih berjalan sendiri-sendiri. Terkait pelindungan pekerja migran, di Kemenko Polkam sudah membentuk desk untuk penanganan perdagangan orang. Kita pun tidak berharap ini berhenti hanya di regulasi, namun terwujud ke arah implementasinya.”

Firman, KP2MI“Dalam persoalan TPPO, kami mencoba menyuarakan ini dari desa untuk menyebarkan informasi mengenai migrasi bekerja keluar negeri yang aman. Kami bukan berarti abai terkait hal-hal yang tidak viral, kami akan melakukan apa yang menjadi kewajiban pemerintah untuk mencegah dan mengawal sampai tuntas, dan perlu koordinasi lintas stakeholder untuk membantu KP2MI.”

Ahmad Firman, Bareskrim – “Kami juga menghimbau seluruh lapisan masyarakat yang bisa membantu pencegahan TPPO.”

Reformasi tata kelola migrasi menjadi hal penting untuk segera dilakukan, terutama sistem peradilan karena reformasi tidak hanya soal perbaikan kebijakan migrasi, tetapi juga penataan ulang paradigma perlindungan, pemberantasan praktik percaloan, serta pembenahan sistem perekrutan dan penempatan agar lebih berperspektif hak asasi manusia dan sensitif gender. Negara harus hadir secara aktif, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung yang memastikan hak-hak buruh migran, terutama perempuan, dihormati dan dilindungi secara menyeluruh.


Narahubung : 

Mareta (Staf Kampanye Solidaritas Perempuan) – 085883108642

Kiran (Koordinator Media Kampanye SBMI) – 082384034349

Views: 1