Malang, 11 September 2025 – Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC SBMI) Malang menyatakan kekecewaan atas putusan kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pengadilan Negeri Malang dengan nomor perkara 1. 128/Pid.Sus/2025/PN Mlg atas Nama Hermin Naning Rahayu, 2. 127/Pid.Sus/2025 PN Mlg atas nama Dian Permana Putra dan 3. 197/Pid.Sus/2025/PN Mlg atas nama Alti Baiquniati dari PT Nusa Sinar Perkasa (NSP) Cabang Malang.
Dalam sidang putusan yang digelar pada Rabu (10/9/2025), majelis hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan kepada terdakwa Hermin Naning Rahayu. Sementara dua terdakwa lainnya, Dian Permana Putra dan Alti Baiquniati, masing-masing divonis satu tahun delapan bulan penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Vonis ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Hermin enam tahun penjara serta Dian dan Alti lima tahun penjara.
DPC SBMI Malang menyatakan kekecewaannya atas putusan tersebut. Sejak awal SBMI mengawal kasus ini dengan harapan keadilan bagi korban ditegakkan, namun proses persidangan justru menyempitkan perkara hanya menjadi pelanggaran administratif dalam UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Padahal, fakta persidangan menunjukkan adanya unsur-unsur perdagangan orang sebagaimana diatur dalam UU No.21 Tahun 2007.
SBMI menegaskan, fakta persidangan telah menunjukkan unsur perdagangan orang: penahanan dokumen, penampungan ilegal, kekerasan fisik dan psikis, hingga eksploitasi kerja tanpa upah layak. Namun, hak-hak korban seperti restitusi sama sekali tidak dipenuhi. “Putusan ini kembali menunjukkan bahwa korban tidak menjadi pusat perhatian dalam penegakan hukum,” tegas DPC SBMI Malang, dalam pernyataan resminya
Bahwa Selama persidangan, fakta-fakta yang terungkap jelas menunjukkan adanya praktik pelanggaran serius yang mengarah pada TPPO yaitu
- Adanya praktik perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan
- Penahanan dokumen pribadi Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang mencipta posisi rentan bagi CPMI untuk tidak bisa menolak perintah dari pengendali kuasa atasnya.
- Adanya Penampungan ilegal yang tidak layak diluar Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)
- Adanya eksploitasi tersembunyi dengan terpaksa bekerja domestik di rumah pribadi dan usaha keluarga pihak perekrut tanpa pelindungan hukum. Kekerasan fisik dan psikis pada praktik yang disebut sebagai “pelatihan penguatan mental” dirumah terdakwa ini merupakan tindakan yang sama halnya menormalisasi kekerasan dan kerja tanpa upah.
- Adanya penempatan unprosedural. Sebagaimana dalam fakta persidangan terbukti bahwa Berdasarkan keterangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur,hingga November 2024 PT. NSP Cabang Malang belum memiliki izin operasional karena dokumen pada OSS belum lengkap dan permohonan ditolak, sehingga seluruh aktivitas pada PT cabang tersebut dianggap ilegal dan melanggar hukum dan
- Adanya fakta praktik jahat penyalahgunaan kewenangan dengan menunjuk sopir menjadi Kepala Cabang tanpa pemahaman akan konsekwensi yang diterimanya .
Sayangnya, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian dipersempit hanya menjadi pelanggaran administratif berdasarkan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengenai penempatan unprosedural, alih-alih menjerat pelaku dengan UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO. Kami menilai bahwa sistem peradilan pidana dalam kasus TPPO ini terang-terangan tidak berpihak pada korban
Sikap SBMI
Putusan harusnya berpihak pada korban.Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan seperti penahanan dokumen, penampungan ilegal, kerja eksploitatif hingga adanya kekerasan fisik maupun psikis, jelas memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dalam UU 21/2007. Jika hanya dipandang sebagai masalah administratif, maka pengadilan sedang menutup mata atas realitas kejahatan perdagangan orang.
Dalam proses ini, SBMI menolak normalisasi praktik eksploitatif juga kekerasan dengan dalih “penguatan mental” atau “pelatihan”. Dan terkait restitusi. Restitusi bukanlah belas kasihan, melainkan hak korban yang wajib dipenuhi negara.
SBMI menolak keras praktik victim-blaming oleh hakim dalam persidangan, seperti menyalahkan korban karena melapor atau menyarankan agar tidak bekerja ke luar negeri. Sikap ini menunjukkan aparat penegak hukum gagal memahami posisi rentan perempuan korban TPPO sekaligus mengabaikan prinsip keadilan restoratif dan perlindungan korban sebagaimana diatur dalam Perma No. 3 Tahun 2017.
Catatan Penting untuk Publik
SBMI mengingatkan bahwa putusan dalam kasus ini akan menjadi cermin keseriusan negara dalam melawan perdagangan orang. Sebagaimana kasus kasus lain yang dikawal oelh SBMI seperti kasus di Serang dengan nomor register (170/Pid.Sus/2025/PN SRG), Pemalang dengan nomor register (71/Pid.Sus/2025/PN Pml), Sukadana dengan nomor register (96/Pid.Sus/2025/PN Sdn) dan juga Indramayu dengan nomor register (87/Pid.Sus/2025/PN Idm).
Putusan yang adil harus memulihkan korban sekaligus mencegah pekerja migran lain terjerat praktik serupa. SBMI menyerukan agar korban yang berani melapor didukung, bukan distigma /disalahkan. Pengadilan memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk mengembalikan martabat korban serta memastikan hukum berpihak pada kemanusiaan.
Rekomendasi Umum SBMI atas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Telah diluncurkan pada Tgl 30 Juli 2025, Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang Sedunia)
- Pemerintah RI dan DPR RI harus segera mengakomodir hak-hak korban dalam RUU KUHAP yang berorientasi terhadap pemenuhan hak, kebutuhan pelindungan, peran korban dalam sistem peradilan pidana.
- Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Mahkamah Agung RI perlu menyusun dan menerbitkan peraturan/panduan bersama yang menjadi panduan penanganan kasus TPPO pada pekerja migran. Panduan ini harus menjelaskan penggunaan UU No. 21/2007 tentang PTPPO dan UUNo. 18/2017 tentang PPMI secara terpadu, serta memprioritaskan pendekatan berbasis hak korban, termasuk mekanisme restitusi dan pemulihan.
- Pemerintah RI dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU PTPPO untuk memperbaiki dan menyesuaikan unsur utama TPPO sesuai Protokol Palermo, memperkuat hak korban terutama menambahkan mekanisme kompensasi dan dana bantuan korban bagi korban TPPO.
- Pemerintah RI dan DPR RI harus menjamin pelindungan hukum terhadap korban atas tindakan pembalasan, non penghukuman serta pelindungan pendamping, paralegal, dan advokat yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Hal ini merupakan mandat tegas Pasal 60, 61, dan 62 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mengakui peran masyarakat sipil dalam pemberantasan TPPO yang sangat penting untuk mengakomodir prinsip Anti-SLAPP.
- Kepolisian RI segera mengembangkan dan mendirikan Direktorat TPPO di seluruh Kepolisian di tingkat daerah. Serta mengembangkan agar pelayanan Kepolisian ramah korban, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan serta keamanan korban. Pelaporan harus didukung oleh protokol yang memastikan hak korban terpenuhi sejak tahap awal, termasuk hak atas pendampingan, perlindungan, dan informasi.
- Pemerintah perlu memperkuat Gugus Tugas TPPO di semua tingkat dengan memastikan fungsi koordinatif berjalan efektif, anggaran tersedia pelibatan masyarakat sipil dilakukan secara bermakna, serta mendorong penguatan kapasitas Gugus Tugas Daerah agar dapat bekerja secara nyata dan tidak bersifat simbolik. Terutama memastikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO diimplementasikan.
- Meningkatkan kapasitas Aparat Penegak Hukum melalui pelatihan dan pendidikan dalam menangani kasus TPPO pekerja migran Indonesia dan untuk memahami kerangka hukum UU TPPO dan UU PPMI. Serta menyediakan aparat penegak hukum khusus untuk menangani kasus TPPO.
- 8.Memperkuat komitmen Pemerintah Indonesia dalam membangun kerjasama Global dan Asean untuk pencegahan dan penanganan TPPO transnasional.
Views: 30