Search

Putusan Bebas TPPO di PN Pemalang Dinilai Kubur Hak Korban: Civitas Akademika Unika SoegijapranataSemarang Gelar Eksaminasi

Semarang, 22 Oktober 2025 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersama jaringan masyarakat sipil Semarang menghadiri Eksaminasi Publik atas Putusan Nomor 71/Pid.Sus/2025/PN Pml dalam perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menjerat Direktur PT Klasik Jaya Samudera (KJS), Andri Wijanarko. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang bekerjasama dengan LBH Bantu Sesama.

Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri Pemalang memutus bebas terdakwa pada 21 Agustus 2025, meskipun terdapat 58 calon awak kapal perikanan (AKP) migran yang menjadi korban perdagangan orang dan pemalsuan dokumen. Eksaminasi publik ini dilakukan sebagai bentuk kontrol sosial masyarakat sipil dan akademisi terhadap proses peradilan yang dinilai mengabaikan perlindungan  hak-hak para korban.

Keadilan yang Timpang bagi 58 Korban

Kasus ini berawal dari pendampingan SBMI dan LBH Semarang sejak Mei 2024, ketika 58 calon AKP migran dibawa Polda Jawa Tengah dari mess milik PT KJS di Pemalang, Jawa Tengah. Para korban berasal dari Sulawesi Utara dan Maluku Utara, direkrut untuk dipekerjakan di kapal berbendera asing dengan diiming-imingi gaji 350–400 USD per bulan serta fasilitas kerja yang layak. Namun, selama berbulan-bulan para calon awak kapal ditampung tanpa kepastian keberangkatan, mengalami penipuan administratif, terjebak jeratan hutang dan ditemukan indikasi kuat pemalsuan dokumen keberangkatan.

Bagi SBMI, putusan bebas terhadap terdakwa adalah tamparan bagi korban. Majelis hakim menutup mata dari fakta bahwa ada proses perekrutan, penampungan, dan manipulasi dokumen yang secara jelas memenuhi unsur perdagangan orang, “Putusan ini memperlihatkan betapa sistem peradilan kita masih terjebak dalam paradigma hukum yang sempit dan gagal membaca relasi kuasa dalam praktik kerja di sektor perikanan. Ketika hukum tidak berpihak pada korban, maka ia justru memperkuat impunitas pelaku dan melemahkan upaya pemberantasan perdagangan orang. Kami mendesak agar Mahkamah Agung dapat mengevaluasi putusan bebas di Pengadilan Negeri Pemalang, dengan menjatuhkan hukuman pidana kepada Direktur PT. KJS dan mewajibkan pemulihan serta pemenuhan hak korban.,” jelas Dios Lumban Gaol, Koordinator Departemen Hukum, Analisa Kebijakan dan Manajemen Pengetahuan SBMI

Bahkan pada proses peradilan berlangsung, Majelis Hakim menolak pembacaan BAP ahli dan tidak mengizinkan pemanggilan saksi tambahan yang justru penting untuk menjelaskan konstruksi hukum TPPO. Akibatnya, kebenaran yang substantif tidak pernah diuji.

“Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim memaknai eksploitasi secara sempit, jaksa dan hakim mengabaikan HAM yang melekat pada 58 korban, adanya unsur perampasan kemerdekaan korban selama di penampungan yang berakibat fatal pada kerentanan psikis dan ekonomi. Dalam persidangan JPU dan Majelis Hakim perannya sangat pasif serta mengabaikan fakta-fakta persidangan.” terang M. Safali, Kepala Bidang Buruh LBH Semarang

Kolaborasi Masyarakat Sipil dan Kampus

Eksaminasi publik yang digelar di Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Semarang bekerjasama LBH Bantu Sesama ini menghadirkan majelis eksaminator yang terdiri dari para akademisi dan pakar hukum, antara lain Benediktus Danang Setianto, S.H., LL.M., MIL., Ph.D., Dr. Marcella Elwina Simandjuntak, S.H., CN., M.Hum., Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M., Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi., M.H., Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A.

Pada kegiatan ini, perguruan tinggi menegaskan untuk mengembalikan makna peradilan sebagai ruang keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Lebih lanjut, Eksaminasi publik ini menemukan bahwa hakim hanya berfokus pada aspek formal pembuktian pidana, tanpa menggali konteks struktural dan hubungan kuasa yang menjerat para korban ke dalam sistem kerja paksa, penahanan upah, dan pemalsuan dokumen. Pandangan yang sempit ini menjadikan putusan tersebut bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga abai secara moral.

Poin-poin Majelis Eksaminator

Eksaminator Benediktus Danang Setianto, S.H., LL.M., MIL., Ph.D. menilai bahwa putusan ini merupakan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran HAM berat. Menurutnya, praktik yang dialami para korban merupakan bentuk nyata dari perbudakan modern sebagaimana diatur dalam berbagai instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hakim, kata Danang, gagal menimbang kerentanan korban dan sama sekali tidak menempatkan kasus ini dalam bingkai pelanggaran terhadap hak untuk hidup dan bekerja secara manusiawi. “Narasi korban sama sekali diabaikan. Pengadilan sibuk dengan bukti formil, tetapi kehilangan makna keadilan substantif,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M. menyoroti absennya prinsip Human Rights Due Diligence (HRDD) dalam operasi bisnis PT KJS yang berjejaring dengan perusahaan asing. Ia menyebut bahwa tidak ada kebijakan HAM ataupun penilaian risiko pelanggaran yang dilakukan perusahaan, padahal indikasi eksploitasi sudah tampak sejak pra-penempatan. Asmin menegaskan bahwa hakim keliru menafsirkan makna eksploitasi, karena eksploitasi harus dimaknai sebagai tetap terjadi walau korban tampak memberikan persetujuan. “Dengan mengabaikan 57 korban lain dan hanya berfokus pada tiga orang, hakim melanggar prinsip Rule of Law dan kehilangan empati terhadap penderitaan manusia,” ujarnya.

Kritik juga datang dari Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi., M.H. yang menyoroti dualisme perizinan di sektor perikanan yang justru membuka peluang bagi pelanggaran. Menurutnya, izin usaha seperti SIUPPAK tidak dapat menjadi tameng hukum bagi pelaku. “Masalahnya bukan sekadar punya izin atau tidak, tapi apakah izin itu digunakan untuk melanggengkan praktik eksploitatif,” tegasnya. Ia menambahkan, kerumitan sistem perizinan justru memperkuat impunitas dan memperlemah perlindungan terhadap pekerja migran perikanan yang seharusnya sudah diakhiri dengan terbitnya PP 22/2022.

Sementara itu, Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. menekankan bahwa tindak pidana perdagangan orang harus dilihat sebagai kejahatan korporasi, bukan semata perorangan. Kesalahan logika hukum aparat penegak hukum, dari kepolisian hingga hakim, terletak pada pemahaman sempit terhadap unsur eksploitasi. Mereka hanya mengakui eksploitasi fisik langsung, tanpa memahami bahwa rantai penempatan tenaga kerja yang melibatkan pemalsuan dokumen dan jeratan utang adalah bagian integral dari TPPO. Ia menegaskan, “Korporasi tidak boleh dibiarkan bersembunyi di balik badan hukum. Negara punya kewajiban menghukum.”

Lebih jauh, Dr. Marcella Elwina Simandjuntak, S.H., CN., M.Hum., mengingatkan bahwa TPPO merupakan delik formil: tidak harus menunggu korban benar-benar tereksploitasi untuk bisa menjerat pelaku. Ia menilai jaksa dan hakim sama-sama lemah dalam membangun konstruksi dakwaan dan pertimbangan hukum. Menurutnya, hakim justru menolak kesaksian ahli dari pihak korban tanpa alasan sah, suatu pelanggaran serius terhadap prinsip peradilan yang adil (fair trial). “Dakwaan jaksa lemah, pertimbangan hakim lebih lemah lagi. Eksploitasi ekonomi diabaikan, padahal terbukti ada penahanan upah dan pemalsuan dokumen,” ujarnya.

Tuntutan Reformasi dan Akuntabilitas Peradilan

SBMI dan LBH Semarang menegaskan, saatnya publik menuntut reformasi dan akuntabilitas peradilan dalam setiap kasus pelanggaran HAM. Lembaga peradilan harus keluar dari paradigma legal-formal yang kaku, dan berani menegakkan keadilan substantif yang berpihak pada manusia, bukan pada korporasi. Akuntabilitas peradilan harus diwujudkan melalui transparansi, pengawasan etik hakim, dan keberanian Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial untuk menindak setiap putusan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum progresif.