sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

#PERNYATAAN SIKAP SBMI, REFLEKSI PERINGATAN HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 2022: HENTIKAN BIAS GENDER, STEREOTIP DAN DISKRIMINASI TERHADAP BURUH MIGRAN INDONESIA DI MASA PANDEMI

4 min read

Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Womens Day (IWD) sejak tahun 1908. Peringatan IWD tahun 2022 mengusung tema ‘Break The Bias’ atau ‘Mendobrak Bias’.  Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menggunakan momentum ini untuk mengajak semua pihak mendorong perbaikan respon pemerintah dalam melindungi Buruh Migran Indonesia, yang mayoritas adalah perempuan, di masa pandemi Covid-19.

Hasil studi SBMI  yang dilakukan selama Februari – Juni 2021,  tentang “Respons dan Tanggung Jawab Perwakilan RI dalam Melindungi Buruh Migran Indonesia dari Dampak Pandemi COVID-19” di 4 negara tujuan BMI  (Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi), menguak berbagai ketidakadilan gender termasuk kekerasan, stereotype dan diskriminasi dan pelanggaran hak-hak terhadap BMI di masa pandemi Covid-19. Berbagai persoalan yang dialami BMI dalam masa pandemi Covid-19, yaitu: 1). Dampak Ketenagakerjaan, mencakup; a) Masalah gaji (41% BMI yang mengikuti survey mengalami pencurian gaji (wage theft), termasuk gaji tidak dibayar (23%) dan pemotongan gaji secara ilegal (18%). Juga, dirumahkan tanpa menerima gaji dan penambahan beban dan durasi kerja tanpa menerima upah  lembur; b)Kerentanan pangan; c) Tidak Mendapat Hari libur (dialami 23% dari responden di Malaysia dan Singapura); d) Kekerasan di tempat kerja (fisik, psikis, dan seksual) 2) Keterbatasan saluran informasi, 3) Dampak kesehatan, 4) Masalah-masalah kepulangan, dan 5) Stigmatisasi (termasuk dianggap sebagai pembawa virus, baik oleh pemerintah dan warga negara tujuan, juga oleh pemerintah dan sebagian masyarakat di Indonesia).1

Studi yang sama juga menemukan bahwa secara umum respons perwakilan RI masih belum memadai dan belum sesuai dengan kebutuhan BMI yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah juga masih belum maksimal dalam melindungi buruh migran perempuan dari berbagai pelanggaran dan kekerasan (fisik, psikis dan seksual) yang kasusnya meningkat selama pandemi Covid-19.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan, pandemi Covid-19 memiliki sejumlah dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap buruh migran secara global. Dari hasil studi di atas, buruh migran menjadi kelompok paling rentan.

“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah secara keseluruhan, khususnya Perwakilan RI  mempunyai rencana kontijensi/kedaruratan yang baik dan terukur, sehingga dalam situasi darurat yang dihadapi buruh migran, pemerintah sudah tidak lagi gagap dan kebingungan dalam melakukan penangananan dan memperjuangkan hak ketenagakerjaan dan hak lainnya yang sering kali terampas,” tegas Hariyanto.

Peringatan Hari Perempuan Internasional Tahun 2022 harus menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan pelindungan BMI, yang mayoritas perempuan, dari dampak pandemi Covid 19. Untuk itu, SBMI menuntut:

  1. Pemerintah RI harus mengimplementasikan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan segera menerbitkan berbagai aturan turunan yang dimandatkan dalam UU tersebut.
  2. Pemerintah RI harus segera membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan untuk memastikan perlindungan hak-hak BMI, khususnya tentang: a). Hak BMI atas informasi dan untuk menggunakan alat komunikasi agar BMI dapat mengakses informasi terkait Covid-19 serta dapat melakukan pengaduan secara online. b). Jaminan kebutuhan dasar BMI berupa tempat tinggal, makanan dan alat kebersihan dapat terintegrasi dalam undang-undang buruh lokal di negara tujuan sebagaimana mandat Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2017; c). Semua BMI dapat menjadi peserta program asuransi yang berlaku di negara tujuan untuk memastikan pertanggungan risiko dampak COVID-19 yang tidak di-cover Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia dapat tercover asuransi di negara tujuan; d). Asuransi kesehatan di Singapura, skema pembayaran bersama (co-payment) antara pemberi kerja dengan BMI harus diubah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam hal akses layanan kesehatan, dan penambahan cakupan asuransi kesehatan akibat COVID-19;
  3. Kementerian Ketenagakerjaan harus segera merevisi Permenaker No 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, untuk memastikan adanya pertanggungan risiko terkait dampak Covid-19 pada tahap sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah  bekerja;
  4. KBRI/KJRI harus menyampaikan informasi perkembangan COVID-19 di negara tujuan secara berkala melalui media kreatif yang mudah dipahami BMI, termasuk kebijakan soal vaksinasi di negara tujuan dan prosedur kepulangan pada masa pandemi dari bandara di negara tujuan hingga pemulangan ke kampung halaman BMI;
  5. Seluruh perwakilan RI secara periodik mengumumkan agensi (Mitra Usaha) yang resmi/berlisensi dan agensi (Mitra Usaha) yang tidak resmi/tidak berlisensi serta calon Pemberi Kerja bermasalah, sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2017 (Pasal 10);
  6. Pemerintah Pusat (Kemenlu) dan Perwakilan  RI di negara tujuan harus memastikan keterlibatan Serikat Buruh Migran dan organisasi komunitas BMI di luar negeri dalam penanganan dampak COVID-19;
  7. Setiap Perwakilan RI harus membuat rencana kontijensi untuk memetakan masalah kedaruratan COVID-19 sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;
  8. Perwakilan RI harus memastikan layanan yang cepat, profesional, sensitif gender, berempati kepada korban yang terakses serta menyediakan  layanan khusus terkait pengaduan kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual yang dialami oleh BMI, termasuk shelter dan layanan pemulihan yang memadai;
  9. Perwakilan RI harus memastikan BMI yang terdampak Covid-19 mendapat perlindungan dari segala bentuk diskriminasi, misalnya di-PHK karena terpapar Covid-19;
  10. Sanksi yang tegas harus diberikan kepada para staf perwakilan yang melakukan tindakan tidak profesional, tidak etis, dan tidak berempati terhadap korban, termasuk melontarkan kata-kata merendahkan kepada BMI yang menyampaikan pengaduan;
  11. Perwakilan Pemerintah RI  dan pemerintah negara tujuan harus melakukan pengawasan secara berkala dan intensif terhadap agensi dan para pemberi kerja untuk memastikan hak-hak BMI terpenuhi, termasuk memastikan BMI tidak mengalami kekerasan dan pelanggaran, baik yang dilakukan pemberi kerja maupun agensi;
  12. Pemerintah RI harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga,  Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan, serta mendorong negara-negara penempatan untuk meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut.

***

Narahubung:

Figo Paroji, 081357606899


[1]
 Temuan lebih rinci studi ini, dapat dilihat pada: http://imwcore.sbmi.or.id/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *