sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Peringatan Hari Buruh Sedunia : UU PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TIDAK DIIMPLEMENTASIKAN, PEKERJA MIGRAN JADI KORBAN

3 min read

Sejak disahkannya UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) tahun 2017, sudah tujuh (7) tahun implementasinya belum dijalankan. Pekerja migran pun menjadi korban. Laporan Catahu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sepanjang tahun 2010 s/d 2023 menerima aduan sebanyak 5.664 kasus, dari jumlah kasus tersebut , kasus di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran masih menduduki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 2.608 kasus (46%). peringkat terbanyak kedua dialami oleh Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran sebanyak 747 kasus (13%). Peringkat ketiga dialami oleh buruh migran di sektor pabrik sebanyak 643 kasus (11%). Peringkat keempat yaitu di sektor konstruksi sebanyak 486 (9%) dan perdagangan orang dengan modus online scam menduduki peringkat kelima yaitu sebanyak 283 kasus (5%). Data Solidaritas  Perempuan juga menunjukkan bahwa feminisasi migrasi timbul akibat kemiskinan struktural oleh dampak pola pembangunan industri ekstraktif dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan berbagai ketimpangan, sehingga perempuan di paksa bermigrasi kerja di sektor informal dengan berbagai kerentanan tinggi seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, pelanggaran hak kerja hingga  Human trafficking  di seluruh tahapan migrasi.

Meskipun hanya menyisakan beberapa aturan turunan UU PPMI, namun secara holistik, isi UU PPMI dan aturannya belum terimplementasi dengan baik. Informasi lowongan pekerjaan masih didominasi oleh calo/sponsor. Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang seharusnya hanya melakukan pendidikan dan pelatihan pra keberangkatan justru masih menggunakan praktik-praktik dibawah UU 39/2004 seperti menampung calon PMI. Bahkan di beberapa LPK, yang seharusnya tidak boleh memberangkatkan PMI justru memberangkatkan PMI. Akibatnya tingkat unprosedural menjadi bertambah. 

Jaringan Buruh Migran merupakan koalisi dari 28 organisasi buruh dalam dan luar negeri serta organisasi pemerhati buruh migran melihat masih terdapat lobang yang besar dalam hal pemenuhan HAM dan keadilan gender yang seharusnya dapat segera terwujud, menjadi tertunda. 

Menurut Yunita Rohani, Koord. Dept. Advokasi DPN-SBMI mengatakan bahwa masih terjadinya carut marut tata kelola penempatan Pekerja Migran Indonesia disebabkan masih belum diimplementasikannya UU No. 18/2017 tentang PPMI dengan baik oleh pemerintah dari pusat sampai di tingkat desa, serta kebijakan pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah membuat para Buruh Migran Perempuan terjebak praktek perdagangan orang. Selain itu, pelindungan terhadap Awak Kapal Perikanan Migran masih belum maksimal, perwujudan tata kelola pelindungan dan penempatan AKP Migran masih belum ditindaklanjuti melalui PP No. 22/2022.

Sementara itu, Savitri Wisnu, Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM) menegaskan tata kelola migrasi pekerja migran Indonesia masih jalan ditempat. Misalnya dalam segi standar kualitas kurikulum dan layanan pendidikan dan pelatihan bagi pekerja migran Indonesia. Lembaga Pendidikan dan Pelatihan untuk Pekerja Migran Indonesia khususnya sektor rumah tangga, mayoritas dioperasionalisasikan oleh swasta. Perlunya peningkatan kualitas tata kelola dan pengawasan untuk perusahaan swasta yang memberikan layanan pendidikan, pelatihan maupun penempatan. Kode etik yang menjadi bagian dari Panduan Teknis Penyelenggaraan layanan yang Responsif Gender (Implementasi UU PPMI) menjadi instrumen penting untuk memitigasi  risiko tindak perdagangan dan segera diwajibkan dan diterapkan oleh semua penyediaan layanan swasta 

Pemenuhan hak-hak perempuan pekerja migran Indonesia juga masih terbatas. Armayati Sanusi Ketua Solidaritas perempuan mengatakan, paradigma patriarki negara yang melihat buruh migran sebatas ‘komoditas’ telah memperparah  kerentanan perempuan buruh migran terhadap berbagai pelanggaran haknya hingga saat ini. Solidaritas Perempuan mencatat bahwa angka kasus trafficking yang dialami perempuan buruh migran mencapai lebih dari 85% baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh perusahaan jasa pengiriman tenaga kerja[1]


Perlindungan PMI di tingkat daerah juga masih memprihatinkan. Moch Kholily, Ketua Migrant AIDS mengungkapkan bahwa masih sedikit pemda yang memberikan perhatian kepada perlindungan pekerja migran. Misalnya adanya Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang sudah ada di beberapa provinsi/kabupaten tidak semua berjalan secara maksimal sehingga LTSA yang seharusnya menjadi salah satu layanan utama dalam pemberian informasi, penanganan kasus, layanan BPJS Ketenagakerjaan dan verifikasi dokumen kerja PMI tidak dapat berjalan di seluruh LTSA yang ada.

Menyikapi berbagai permasalahan dan dampak lambatnya implementasi peraturan pelaksana UU PPMI, di peringatan Hari Buruh Sedunia Jaringan Buruh Migran menyampaikan pernyataan sikap untuk perwujudan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia :

  1. Segera implementasikan secara utuh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
  2. Menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Kepmenaker 260 tahun 2015 yang berdampak terhadap eksploitasi Perempuan Buruh Migran.
  3. Segera mengesahkan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk mewujudkan perlindungan buat Pekerja Rumah Tangga di dalam negeri dan di luar negeri
  4. Segera implementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Perikanan Migran dan Awak Kapal Niaga Migran
  5. Segera Ratifikasi ILO C-189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga.

Visits: 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *