Jakarta, 3 Agustus 2025 – Masih dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia dan Human Rights Working Group (HRWG) dengan dukungan sekitar 100 perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai elemen gerakan di Indonesia, pagi ini di area Car Free Day (CFD), Bundaran HI, Jakarta, menggelar kegiatan jalan sehat sekaligus seruan pernyataan sikap bersama untuk merespon tindakan represif kepolisian dalam pengamanan aksi hari anti Perdagangan Orang di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 2025 lalu.
Kegiatan ini dilakukan untuk terus meningkatkan kesadaran publik, khususnya warga Jakarta tentang situasi darurat dan bahaya perdagangan orang, termasuk terhadap buruh migran perempuan di sektor laut dan darat. Para peserta mengenakan atribut aksi, membawa pesan edukatif dan kritis yang mengajak masyarakat mengenali, mencegah dan juga melaporkan praktik eksploitasi dan perbudakan modern yang masih marak terjadi di balik proses migrasi tenaga kerja.
“Kami memilih turun ke ruang publik agar masyarakat tahu perdagangan orang bukan kejahatan yang jauh dari kita. Ini terjadi setiap hari, menimpa para pekerja migran yang diberangkatkan secara tidak manusiawi dan terjerat dalam pusaran Perdagangan Orang,” ujar Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI.
Aksi jalan sehat hari ini tetap mengusung pendekatan simpatik dan damai, berbaur dengan masyarakat pengunjung CFD Jakarta, memberikan informasi terkait modus perdagangan orang, serta menunjukkan wajah-wajah korban dan pendamping yang selama ini terabaikan negara. Jalan sehat ini adalah ajakan terbuka kepada publik untuk peduli, bertanya, dan turut mengingatkan pemerintah agar melindungi HAM dan bertindak tegas terhadap kejahatan perdagangan orang.

Terkait dengan tindakan represif aparat kepolisian yang dialami massa aksi damai sebelumnya di depan Kementerian Perhubungan dan Kemenko Polkam (1/82025), di mana sejumlah peserta aksi terutama perempuan penyintas TPPO, mengalami kekerasan verbal dan fisik dari aparat. Atas peristiwa tersebut, masyarakat sipil dari berbagai elemen gerakan di Indonesia menyatakan seruan dan pernyataan sikap [1], diantaranya mendesak Kapolri untuk melakukan pemeriksaan kode etik terhadap seluruh aparat kepolisian yang melakukan kekerasan. Masyarakat sipil juga mendesak Presiden untuk mengevaluasi peran dan fungsi gugus tugas TPPO yang dimandatkan oleh Perpres 49/2023.
“Usut pelaku intimidasi ke massa aksi anti-TPPO. Pembiaran terhadap represifitas semacam ini juga bentuk pelanggaran HAM terhadap pembela hak-hak buruh migran. Seharusnya peserta massa aksi dihargai dan dilindungi hak konstitusionalnya dalam ekspresi damai tanggal 1 Agustus kemarin. Pembiaran ini juga bisa dimaknai sebagai pembiaran atas korban-korban TPPO”, tegas Daniel Awigra, Direktur Eksekutif, HRWG.
Sementara itu, Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Indonesia menyatakan: “Tindakan dan watak represif terhadap massa aksi tidak mencerminkan tanggung jawab Kepolisian dan Kapolri sebagai Ketua Harian Gugus Tugas TPPO, yang seharusnya melindungi dan mendengarkan suara penyintas TPPO. Komitmen dan kinerja Kepolisian dalam pemberantasan TPPO harus segera dievaluasi.”
“Konsolidasi suara dan gerakan masyarakat sipil di Indonesia juga perlu terus dijalankan untuk senantiasa mengingatkan pemerintah agar semakin serius memberantas TPPO,” terang Arifsyah.
Catatan Editor:
[1] Pernyataan Bersama Masyarakat Sipil Indonesia (3 Agustus 2025) di sini.
Tautan Dokumentasi Kegiatan Jalan Sehat dan Pernyataan Sikap di sini.
Views: 102