Search

Lima Pengadilan, Satu Pola: Tersisihkannya Hak Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana TPPO di Indonesia

Jakarta, 30 Juli 2025 — Dalam momentum peringatan Hari Internasional Melawan Perdagangan Orang, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meluncurkan laporan berjudul dan menggelar diskusi publik bertema “Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO: Membongkar Realitas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum” di Sekretariat DPN SBMI, Jakarta Selatan.

Laporan ini tidak hanya memotret wajah suram perlakuan negara terhadap korban TPPO, pun  secara khusus menyoroti kasus-kasus perdagangan orang yang sedang disidangkan di lima pengadilan negeri pada tahun 2025: Pengadilan Negeri Sukadana, Pengadilan Negeri Serang, Pengadilan Negeri Indramayu, Pengadilan Negeri Pemalang, dan Pengadilan Negeri Malang.  

Di Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur, korban yang dijebak visa “studi banding” ke Jepang dipaksa membayar puluhan juta, laporan awal ditolak polisi, penyidikan lamban hingga bukti hilang, LPSK tersendat, dan hakim justru menekan korban serta ahli di ruang sidang. Di Pengadilan Negeri Serang, Banten, kasus perempuan buruh migran yang dijual berulang kali dari Arab Saudi sampai Suriah bahkan sempat ditolak Polda karena korban masih di luar negeri; sepanjang proses, korban menghadapi kekerasan fisik dari majikan, pemerasan Rp50 juta untuk pulang, dan nihil pemulihan. Di Pengadilan Negeri Indramayu, Jawa Barat, pekerja rumah tangga migran hamil yang tak digaji di Abu Dhabi dipaksa menandatangani pernyataan “tidak disiksa”, diperiksa delapan jam tanpa ruang khusus, jaksa memanggilnya sejam sebelum sidang, dan hakim menyalahkan korban karena dianggap “berpengalaman” untuk bekerja keluar negeri. 

Di Pengadilan Negeri Pemalang, Jawa Tengah, 58 calon awak kapal perikanan ditampung berbulan‑bulan, dokumen korban dipalsukan, pemeriksaan tanpa pendamping, koordinasi APH kacau, sebagian korban dipaksa menandatangani surat damai oleh karyawan perusahaan, LPSK tak bisa melindungi semua, dan hakim menunjukkan bias terbuka, reviktimisasi terjadi dari penyidikan sampai putusan. Sementara di Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, buruh migran perempuan yang direkrut PT NSP dipaksa melakukan domestik sebelum berangkat; Kejaksaan tak pernah berkomunikasi, surat sidang datang mendadak, dan hakim menyudutkan korban dengan lelucon patriarkal. Parahnya, pendamping SBMI malah diancam digugat dan/atau kriminalisasi. Lima ruang sidang ini menegaskan satu pola: proses hukum abai terhadap prinsip pelindungan korban, membuka jalan bagi pelaku untuk terus menekan, dan membuat pengadilan menjadi arena kekerasan baru alih‑alih ruang pemulihan, sistem peradilan pidana tidak hanya gagal melindungi, tetapi kerap menjadi alat represi baru bagi korban yang seharusnya dilindungi sebagai subjek hukum. 

lima pengadilan, satu pola: tersisihkannya hak korban dalam sistem peradilan pidana tppo di indonesia 02/08/2025
lima pengadilan, satu pola: tersisihkannya hak korban dalam sistem peradilan pidana tppo di indonesia

Menanggapi laporan tersebut, Maidina Rahmawati, Plt Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut sistem peradilan pidana dalam kasus TPPO “kacau balau” dan sistem peradilan pidana di Indonesia memang tidak didesain untuk pelindungan korban. Menurutnya, hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana masih jauh dari akses korban, dan korban tidak dianggap penting dalam konstruksi hukum yang berjalan. “Penegakan hukum itu satu hal yang bisa kita capai jika peradilan pidana kita sudah akuntabel, tapi yang terjadi adalah peradilan ini terang-terangan tidak berpihak pada korban,” tegasnya.

Senada dengan itu, Shafira Ayunindya dari International Organization for Migration (IOM) menggarisbawahi pentingnya sistem pendampingan yang utuh, fisik, psikologis, dan hukum. Ia juga menyoroti mandeknya fungsi Gugus Tugas TPPO dan lemahnya penjeratan terhadap korporasi. “Selama pelaku utama dibiarkan bebas, sistem ini hanya menjadikan sponsor sebagai kambing hitam,” ujarnya.

Acara ini menjadi ruang konsolidasi berbagai pihak untuk menyuarakan dan mendesak perubahan nyata. Serta mendorong Revisi KUHAP yang mengatur secara rinci terkait adanya pengaturan menyeluruh terhadap hak korban dan pendamping serta dana bantuan korban, dan termasuk pelindungan yang dapat diakomodir melalui pasal Anti-Slapp. Struktur Gugus Tugas TPPO harus segera dirombak dengan melibatkan masyarakat sipil secara bermakna termasuk mengakomodir lembaga pemerintah independen seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, 

SBMI menyatakan bahwa peluncuran laporan ini bukan akhir, melainkan awal dari konsolidasi nasional untuk menata ulang cara negara menangani TPPO. “Kami menolak diam ketika hukum dipakai untuk menakut-nakuti korban. Kami menolak tunduk pada sistem yang lebih melindungi pelaku daripada buruh migran yang menjadi korban TPPO. Hari Anti TPPO ini bukan seremoni ini seruan perlawanan,” tegas Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI

Views: 33