Serikat Buruh Migran Indonesia

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Koalisi Perdana antara Serikat Pekerja dan Organisasi Masyarakat Sipil: Terbentuk untuk Menuntut Pelindungan Pemerintah Indonesia dan Taiwan bagi Awak Kapal Migran Indonesia melalui Kesepakatan Migrasi

4 min read
koalisi perdana antara serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil: terbentuk untuk menuntut pelindungan pemerintah indonesia dan taiwan bagi awak kapal migran indonesia melalui kesepakatan migrasi 27/07/2024

Waktu terus bergulir seiring penantian koalisi akan respons otoritas Taiwan atas tuntutan mereka

JAKARTA – Koalisi tujuh serikat pekerja yang mewakili lebih dari 30.000 Awak Kapal
Perikanan (AKP) Indonesia di kapal-kapal ikan seluruh dunia, serta 12 organisasi masyarakat
sipil di Indonesia dan Taiwan telah dibentuk untuk memperjuangkan standar-standar
pelindungan yang lebih baik bagi AKP migran Indonesia. Menamai diri sebagai Koalisi
Pelindungan AKP Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan, seluruh anggotanya
mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan segera merumuskan kesepakatan yang menjamin
hak asasi manusia, terutama hak perburuhan AKP migran Indonesia, yang ditempatkan untuk
bekerja di kapal ikan Taiwan sepanjang proses migrasi mereka.


Koalisi ini menandai gerakan perdana yang mempersatukan serikat pekerja dan organisasi
masyarakat sipil di Taiwan dan Indonesia guna memperjuangkan hak AKP migran.
Aspek-aspek yang diperjuangkan oleh koalisi ini dituliskan secara sistematis dalam proposal
yang berisikan rekomendasi berbasis bukti (evidence-based) kepada otoritas di Indonesia dan
Taiwan.

“Kami bersatu lintas batas untuk menyampaikan tuntutan kami. Kami menyerukan otoritas
Taiwan untuk mengadopsi praktik terbaik internasional dan memenuhi komitmennya dalam
mendukung hak-hak perburuhan untuk semua pekerja, termasuk hak-hak yang termaktub
dalam perjanjian internasional terkait,” ujar Achmad Mudzakir, Ketua Forum Pertemuan
Pelaut Indonesia (FOSPI).


Koalisi menuntut hak-hak perburuhan yang fundamental dan kondisi kerja yang layak,
kebebasan berserikat dan anti-retaliasi, perjanjian kerja bersama, Wi-Fi, upah yang adil,
mekanisme pengaduan masalah (grievance mechanism), dan pertanggungjawaban pemberi
kerja dalam proses perekrutan, termasuk biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh pemberi
kerja. Koalisi telah menyampaikan tuntutan ini kepada otoritas Taiwan dan Indonesia. Pada
Maret, tuntutan ini telah disampaikan kepada Badan Perikanan Taiwan, Kementerian Tenaga
Kerja, dan Kementerian Luar Negeri, serta Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan di
Jakarta.


Koalisi juga telah menyampaikan Proposal dalam diskusi kelompok terfokus atau focus group
discussion (FGD) tentang Pelindungan AKP Migran Indonesia, yang diselenggarakan oleh
Kementerian Luar Negeri Indonesia pada 6 Mei 2024. Kementerian/Lembaga pemerintah
yang hadir dalam FGD ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
(BP2MI).

Menanggapi proposal oleh koalisi, Pemerintah Indonesia menyetujui bahwa penempatan
pekerja migran di sektor perikanan perlu diatur dalam pengaturan tersendiri. Namun, otoritas
terkait di Taiwan belum menanggapi tuntutan yang diajukan pada 1 Maret 2024.
Di dalam FGD, Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia menyampaikan, “Kami telah mencatat dengan cermat dan
mempertimbangkan semua rekomendasi yang disampaikan oleh koalisi. Kami mengakui
kompleksitas pelindungan AKP migran dan berkomitmen melanjutkan diskusi bermakna
dengan koalisi dan pemangku kepentingan lain untuk mendalami isu-isu penting dan praktik
terbaik tentang pelindungan AKP migran Indonesia.”


“Kami mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan untuk mengembangkan kesepakatan terkait
pelindungan AKP migran Indonesia. Kami menghendaki tempat di meja perundingan agar
kesepakatan tersebut dapat melindungi AKP Migran Indonesia yang telah memainkan peran
penting dalam memastikan makan malam tersedia di meja-meja di Taiwan,” kata Syofyan,
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SAKTI).


Jeremia Humolong Prasetya, peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI),
menyampaikan pentingnya FGD dengan pendekatan multi-stakeholders. “Di samping model
tripartit, pendekatan whole of government dan whole-of-society perlu menjadi landasan bagi
pelaksanaan pelindungan AKP migran Indonesia, termasuk ketika otoritas Indonesia
mengembangkan suatu kesepakatan dengan otoritas Taiwan.”

AKP migran di kapal ikan perairan jauh Taiwan, yang sebagian besar berasal dari Indonesia,
menyuarakan kondisi yang mereka hadapi, termasuk kerja paksa, kekerasan fisik,
pemotongan upah, kematian dan hilang di laut, serta kurangnya komunikasi dengan keluarga
dan dunia luar selama berbulan-bulan di laut.


“Jika industri perikanan di Taiwan ingin mempertahankan kelanjutan usahanya, mereka harus
terus-menerus mendengarkan aspirasi para AKP dan serikat pekerjanya, serta organisasi
masyarakat sipil. Pelaku-pelaku bisnis ini harus menjalankan usaha yang bertanggung jawab
bagi pemenuhan hak asasi manusia AKP migran,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Serikat
Buruh Migran Indonesia (SBMI).


“Ketiadaan akses Wi-Fi yang rutin untuk menghubungkan AKP migran ke darat membuat
lautan secara efektif menjadi ‘zona tanpa serikat’ bagi para pekerja ini. Oleh karenanya,
sangat penting bagi pemerintah Taiwan dan Indonesia untuk mengakui hak-hak pekerja AKP
migran, dimulai dengan penyediaan akses Wi-Fi, dan memastikan hasil tangkapan harian
bebas dari pelanggaran hak perburuhan para pekerja,” kata Valery Alzaga, Wakil Direktur
Global Labor Justice.

Perjuangan AKP migran di kapal ikan Taiwan kembali mendapatkan perhatian usai kisah
tragis yang baru-baru ini diberitakan The Guardian. Dalam artikelnya, The Guardian
menyoroti kondisi kerja mengerikan yang dihadapi oleh AKP Migran di kapal ikan perairan
jauh Taiwan. Kapal tersebut menyuplai ikan, termasuk tuna dan cumi-cumi, senilai USD1,1
miliar ke pasar global.


AKP migran merupakan penyumbang besar perekonomian Taiwan, dengan lebih dari
750.000 orang bekerja di industri kunci itu dengan kondisi yang tidak adil dan penuh
kekerasan. Lebih dari 22.000 migran yang berasal dari Asia Tenggara bekerja di industri
perikanan Taiwan, yang terdiri dari lebih dari seribu kapal penangkap ikan di seluruh
samudra dunia.


Narahubung:
English Inquiries: Julie Blust, Global Labor Justice
[email protected]
+1-215-713-6777
Indonesian Inquiries: Jeremia Humolong Prasetya
[email protected]
+62 813-8080-2531
Mandarin Inquiries: Shih Yi-hsiang, Taiwan Association for Human Rights
[email protected]
+886-920719347
Anggota Koalisi Pelindungan AKP Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan:
FOSPI (Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia) — Indonesian Seafarers Gathering Forum
SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) — Indonesian Migrant Workers’ Union
SPPI (Serikat Pekerja Perikanan Indonesia) — Indonesian Fishing Union
SAKTI (Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia) — Indonesian Transport Crew Union
SAKTI Sulut (Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulut) — Union of Fishing Vessel
Crews United
PPB (Persatuan Pelaut Borneo) — Borneo Seafarers Union
SBPI (Serikat Buruh Perikanan Indonesia) — Indonesian Fisheries Labor Union
PSP (Pejuang Suara Pelaut)
IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative)
HRWG (Human Rights Working Group)
Greenpeace Indonesia
EJF (Environmental Justice Foundation)
DFW-Indonesia (Destructive Fishing Watch Indonesia DFW-Indonesia)
BEBESEA (Better Engagement Between East and Southeast Asia)
GLJ (Global Labor Justice)
TAHR (Taiwan Association for Human Rights)
HRC (Humanity Research Consultancy)
SPA (Serve the People Association)
Stella Maris Kaohsiung

Views: 89

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *