sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Kabupaten Sukabumi Wujudkan Perlindungan TKI dari Desa

3 min read
Salah satu akibat terburuk yang bisa dialami oleh TKI adalah menjadi korban perdagangan orang. Pemkab Sukabumi, SBMI dan IOM bekerjasama memberantas tindak pidana korban perdagangan orang
14480655_778672638835878_7885141560827901517_o
Diskusi komunitas Desa Cimaja, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi

Sukabumi—Jawa Barat merupakan provinsi kantong TKI terbesar di Indonesia, di mana Kabupaten Sukabumi menempati urutan kedua terbesar setelah Indramayu yang warganya menjadi TKI. Migrasi sebagai tenaga kerja ke luar negeri diyakini bukanlah proses yang mudah dan tanpa rintangan. Salah satu gejala terburuk yang bisa dialami oleh TKI adalah menjadi korban perdagangan orang. Untuk alasan inilah Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM/OIM), Kabupaten Sukabumi dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjalin kerjasama untuk menciptakan perlindungan terhadap masyarakat Sukabumi melalui peran aktif pemerintah desa. Kegiatan diskusi komunitas merupakan salah ratu dari rangkaian kegiatan program perlindungan TKI dari hulu. Terdapat 15 desa dari 15 kecamatan yang terlibat di dalamnya, yaitu Desa Cireunghas, Cikembang, Caringin, Sukalarang, Kebonpedes, Mekarjaya, Pasirbaru, Cimaja, Karangpapak, Cidadap, Lengkong, Sukaraja, Warnajati, Hegarmana dan Desa Sukamaju. Diskusi komunitas ini berlangsung mulai dari tanggal 26 September – 7 Oktober 2016 di Sukabumi.

Sebagai tahap awal atas inisiatif kerjasama ini, 15 desa di Kabupaten Sukabumi dijadikan sebagai percontohan. 15 desa tersebut dipilih berdasarkan rekomendasi dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPM PD) Kabupaten Sukabumi dan kuisioner dari responden. Rekomendasi BPM PD mempertimbangkan bahwa 15 desa tersebut merupakan desa kantong TKI. Sedangkan kuisioner berasal dari responden yang berasal dari kepala desa dan perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hasil kuisioner memperlihatkan bahwa kehendak pemangku kepentingan dari 15 desa yang paling menginginkan adanya mekanisme perlindungan bagi warganya yang menjadi TKI.

Kegiatan diskusi komunitas terhadap pemangku kepentingan desa merupakan proses lanjutan dari pertemuan sebelumnya. Diskusi ini melibatkan kepala desa, BPD, LPMD, mantan TKI, tokoh agama dan tokoh masyarakat desa. Banyak hal menarik selama proses diskusi komunitas tersebut. Namun, secara keseluruhan, semua pihak menginginkan mekanisme yang terbaik dalam pelayanan dan perlindungan terhadap warganya.

“Kita baru sadar akan kompleksitas TKI di dalamnya dan kemungkinan ancaman kejahatan luar biasa yang dialami oleh TKI,” ucap anggota BPD Desa Mekarjaya, Kecamatan Jampang Kulon.

Beliau menambahkan bahwa selama ini sponsor sudah sangat lazim membawa warga kita. Kita bahkan tidak mengetahui jika ada persyaratan-persyaratan yang seharusnya dimiliki oleh sponsor sebelum merekrut calon TKI. Pemerintah desa sebagai gerbang pertama dalam migrasi juga kurang mengetahui hal ini. Kita juga tidak ingin warga kita mengalami masalah pada kemudian jika proses awal sudah salah.

Meski begitu, terdapat kemungkinan yang tidak diharapkan dari anggapan masyarakat. Dengan ketatnya mekanisme migrasi yang sebenarnya menginginkan perlindungan warganya, adakalanya dampak yang berupa pelanggaran kemungkinan akan muncul di desa lainnya. Misalnya proses pemberangkatan melalui Desa Cimaja sulit, sehingga calon TKI memilih berproses melalui desa sebelah.

“Kita khawatir muncul permasalahan di desa lain,” kata Suhermat, Kepala Desa Cimaja, yang juga mantan TKI.

Pasalnya, tambah Suhermat, bekerja di luar negeri adalah hak warga. Pemerintah desa tidak ingin dikatakan oleh warga sebagai pihak yang mempersulit proses sebelum pemeberangkatan calon TKI. Namun, meski begitu, mengingat ancaman besar bagi warganya yaitu perdagagangan orang, Suhermat berharap semua desa di Kabupaten Sukabumi mesti melakukan hal yang sama agar seragam. Sehingga pelayanan itu merata, tidak hanya mekanisme perlidungan TKI diatur oleh 15 desa tersebut di Kabupaten Sukabumi.

Tantangan terbesar bagi pemerintah desa adalah memberikan pemahaman kepada calon TKI sebelum berangkat. Bukan berarti inisiatif desa adalah mempersulit, akan tetapi mencegah kemungkinan terburuk yang bisa menimpa warganya. Dengan demikian, perlunya peraturan di tingkat desa untuk mengatur mekanisme tersebut.

IOM secara serius menempatkan hubungan sangat dekat antara TKI dan perdagangan orang. Tidak semua TKI ilegal merupakan korban perdagangan orang. Sebaliknya, perdagangan orang bisa menimpa TKI legal. Oleh sebab itu, semua masyarakat mesti mewaspadai ancaman tersebut dengan melihat tiga unsur, yaitu proses, cara dan tujuan untuk mengeksploitasi korban. Perdagangan orang merupakan kejahatan terbesar kedua setelah narkoba. Sedangkan dampa merusaknya juga sangat luar biasa.

“Depresi, stres, pengasingan, rusak dan hilangnya organ tubuh adalah dampak yang diakibatkan dari perdagangan orang,” tegas Niken dari IOM Indonesia.

Niken menambahkan bahwa mengingat begitu serius dampaknya, ancaman bagi pelaku juga sangat berat. Selain penjara minimal 2 tahun, pelaku perdagangan orang juga berkewajiban membayar restitusi kepada korbannya.

“Sistem informasi, pendataan, mekanisme penanganan kasus dan pemberdayaan, merupakan empat poin penting yang seharusnya tertuang di dalam peraturan desa,” uangkap Hariyanto dari SBMI.

Melalui kewenangan pemerintahan desa saat ini, diharapkan desa memiliki mekanisme sendiri dalam melindungi warganya. Tidak harus semuanya diserahkan kepada pemerintah pusat. Oleh sebab itu, Hariyanto menyatakan bahwa inisiatif SBMI melalui peran aktif desa adalah membangun gerakan perlindungan TKI dari hulu, di mana desa adalah gerbang pertama migrasi. Untuk alasan inilah kita ingin melibatkan partisipasi pemerintah desa dalam perlindungan TKI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *