Jakarta, 30 Juli 2025
Setiap tanggal 30 Juli, masyarakat dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Orang dengan tekad untuk menghentikan praktik perbudakan modern, kerja paksa dan eksploitasi manusia. Dalam peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia di tahun 2025 ini, Pemerintah Indonesia mengambil tema #KitaSemuaBisa. Bagi kami yang sehari-hari bersama korban dan penyintas perdagangan orang, tema #KitaSemuaBisa bisa dimaknai bahwa kita semua bisa jadi korban atas praktik perdagangan orang, akibat ketidakseriusan pemerintah memberantas dan mencegah praktik perdagangan orang.
Praktik perdagangan orang bukan hanya tindak pidana biasa, ini merupakan tindak pidana terorganisir yang melibatkan sindikat lintas batas negara. Hal yang menyuburkan tindak pidana perdagangan orang adalah tata kelola pemerintahan yang buruk dan korup, penegakan hukum yang lemah, adanya penyalahgunaan teknologi digital dan masih langgengnya impunitas yang dinikmati para pelaku perdagangan orang.
Secara internasional, tema Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia tahun 2025 yang bertajuk “Human Trafficking is Organized Crime” mengingatkan kita bahwa upaya memerangi perdagangan orang yang juga dilakukan secara serius dan terorganisir dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, sejak masa pandemi hingga saat ini terjadi eskalasi kasus perdagangan orang hingga 700%. Situasi krisis akut pasca pandemi Covid-19 telah mengakselerasi perdagangan orang akibat fenomena ‘lapar kerja’. Sepanjang tahun 2023 hingga pertengahan 2025, Indonesia dilanda gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal yang makin membuat kelas pekerja semakin sengsara setelah didera pandemi COVID-19.
Tipologi korban perdagangan orang meluas, tidak hanya mencakup perempuan dan anak, di wilayah pedesaan atau perbatasan, dengan akses ekonomi dan pendidikan yang terbatas, namun juga telah menjerat orang muda, wilayah urban, dan mempunyai akses pendidikan yang cukup. Jika dalam satu dekade terakhir ini kasus perdagangan orang didominasi oleh para pekerja di sektor pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan sawit dan pekerja di kapal penangkap ikan, maka sekarang ini telah meluas pada pekerja muda yang terjebak dalam penyalahgunaan teknologi digital untuk penipuan (scam online dan judi online) di kawasan Mekong Asia Tenggara (Kamboja, Myanmar dan Laos).
Kompleksitas kasus perdagangan orang ini terhubung oleh akar persoalan struktural berupa minimnya lapangan pekerjaan, absennya jaminan kerja layak, dan meningkatnya mobilitas kerja yang tidak diiringi dengan perlindungan HAM yang menyeluruh. Semua berkelindan secara simultan membentuk satu rantai pasok perdagangan orang.
Normalisasi Impunitas, Kriminalisasi Korban
Eskalasi kasus perdagangan orang tidak dibarengi dengan langkah-langkah yang komprehensif mendekatkan korban pada akses keadilan. Para korban perdagangan orang dan pendampingnya malah kerap menghadapi kriminalisasi atas aktivitasnya, sementara para pelaku perdagangan orang menikmati impunitas akibat lemahnya penegakan hukum, merajalelanya mafia hukum di peradilan dan praktek kolusi dan korupsi yang melibatkan pejabat publik.
Di Lampung, lima orang korban perdagangan orang justru dikriminalisasi oleh pelaku yang memiliki kuasa sosial dan ekonomi. Di Indramayu, keluarga korban dilaporkan balik oleh jaringan pelaku. Di Jakarta dan Batam, organisasi pendamping dan pejuang hak asasi manusia seperti menghadapi ancaman kriminalisasi saat memperjuangkan keadilan. Korban perdagangan orang masih terjauhkan dari akses keadilan, pemulihan dan restitusi bahkan rentan untuk berulang menjadi korban lagi.
Negara Lalai: Gugus Tugas Tak Berfungsi, Payung Hukum Ketinggalan Zaman
Gugus Tugas TPPO—yang semestinya menjadi garda terdepan pencegahan dan penanganan—nyaris tidak hadir di daerah. Tidak ada koordinasi, minim pelibatan masyarakat sipil, dan jauh dari konteks kekinian. Revisi terhadap UU TPPO No. 21 Tahun 2007 sudah sangat mendesak. Undang-undang ini tidak bisa menjangkau modus-modus baru perdagangan orang dengan penyalahgunaan teknologi digital seperti forced scamming, penipuan kerja daring, dan eksploitasi melalui platform digital.
Kasus perdagangan orang bermodus pemagangan mahasiswa seperti ferienjob ke Jerman yang marak pada tahun 2024 lalu, proses persidangannya kini mandek. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan penegakan hukum dalam menangani perdagangan orang yang menyasar orang muda berpendidikan tinggi. Sementara itu, pada Maret 2025, sebanyak 555 korban forced scamming dipulangkan dari Myanmar, tetapi tanpa informasi resmi, tanpa pemeriksaan kepolisian, tanpa upaya memproses pelaku perdagangan orang, serta tanpa kejelasan layanan pemulihan.
Walau dalam Keketuaan Indonesia untuk ASEAN di tahun 2023 telah menghasilkan 2 dokumen ASEAN terkait pelindungan pekerja migran di sektor perikanan dan pencegahan praktik perdagangan orang melalui penyalahgunaan teknologi digital namun Pemerintah Indonesia tidak pernah menggunakannya secara maksimal untuk upaya pencegahan dan penanganan kasus perdagangan orang di sektor perikanan dan forced criminality.
Pada bulan Juli 2025 ini Pemerintah Indonesia melaporkan Voluntary National Review Sustainable Development Goal di forum UN High Level Political Forum on SDGs di New York. VNR yang dilaporkan adalah Goal 3, goal 5, Goal 8, Goal 14 dan Goal 17. Ternyata dalam VNR Indonesia sama sekali tidak menyampaikan situasi tentang migrasi dan perdagangan orang yang seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari inisiatif SDGs, terutama di goal 8 mengenai kerja layak dan upaya pencegahan perbudakan modern.
Orang Muda Jadi Komoditas: Gig Economy, Rezim Buruh Murah, dan Trauma
Struktural
Dengan situasi lapar kerja, Pemerintah memilih jalan pragmatis “menjual” orang muda untuk kerja ke luar negeri. Buruknya tata kelola migrasi tenaga kerja diperlihatkan oleh Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang kembali mengedepankan perspektif komodifikasi pekerja migran hanya demi meningkatkan perolehan remitansi. Ini melemahkan agenda Pelindungan Pekerja Migran yang menyebabkan banyak orang muda terjebak dan menjadi korban perdagangan orang. Di Indramayu 7 (tujuh) orang muda menjadi korban perdagangan orang yang akan dikirim ke Jepang, saat ini para korban berjuang di Pengadilan Negeri Sukadana 2025. Di Pemalang 58 (lima puluh delapan) orang muda menjadi korban perdagangan orang yang akan ditempatkan di Kapal-kapal berbendera China, saat ini para korban berjuang di Pengadilan Negeri Pemalang 2025. Peristiwa ini menunjukkan pola eksploitasi yang struktural dan mengakar.
Janji 19 juta lapangan pekerjaan dan ilusi bonus demografi telah membius dan menjerumuskan orang muda dalam mimpi palsu pekerjaan masa depan. Orang muda direduksi sebagai komoditas murah dalam ekonomi digital: sebagai buruh platform, sebagai bagian dari gig economy yang eksploitatif, tanpa jaminan kerja, upah, atau perlindungan hukum. Konsep reserve labour army atau “cadangan tenaga kerja menganggur” telah menjadi kenyataan struktural di Indonesia hari ini. Dengan lebih dari 7,8 juta pengangguran
terbuka dan lebih dari separuh angkatan kerja terjebak dalam sektor informal tanpa jaminan kerja, negara menyimpan populasi besar yang siap dieksploitasi kapanpun dibutuhkan, namun mudah dibuang ketika tak lagi menguntungkan. Situasi ini diperparah oleh absennya kebijakan ketenagakerjaan yang berkeadilan dan minimnya akses terhadap kerja layak. Dalam kondisi tersebut, tawaran kerja, baik melalui jalur formal maupun informal, dipandang sebagai “kesempatan langka”, meskipun seringkali menjadi pintu masuk ke dalam praktik kerja paksa dan perdagangan orang. Reserve labour army di Indonesia hari ini tidak hanya dibiarkan tumbuh, tetapi dimanfaatkan secara sistemik oleh rezim upah murah dan industri outsourcing global, menjadikan rakyat—terutama orang muda dan perempuan—sebagai komoditas fleksibel dalam rantai nilai kapitalisme internasional.
Dalam skema gig ekonomi, nilai lebih hasil kerja mereka diambil platform, sementara perlindungan tak diberikan negara. Ini bukan sekadar persoalan ketenagakerjaan. Ini adalah bentuk baru perbudakan digital. Menyempitnya Ruang Masyarakat Sipil Efektivitas advokasi dan perlindungan hukum terhadap korban sangat bergantung pada jaminan kebebasan sipil, khususnya bagi para pembela hak asasi manusia. Namun dalam praktiknya, pembela HAM kerap menjadi target kriminalisasi, represi aparat, serta pembatasan akses informasi dan partisipasi publik. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya penyusutan ruang demokrasi dan pelanggaran prinsip-prinsip negara hukum yang seharusnya menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap mereka yang bekerja untuk kepentingan publik. Ketika pembela HAM tidak memperoleh perlindungan yang memadai, maka sistem penegakan hak asasi manusia menjadi timpang dan tidak mampu merespons secara adil terhadap eskalasi pelanggaran, termasuk dalam kasus-kasus perdagangan orang dan eksploitasi terhadap kelompok rentan.
Di saat partisipasi publik tidak memiliki jaminan hukum dan kepercayaan terhadap sistem runtuh, kita sedang menyaksikan trauma generasional yang terus berulang—karena negara gagal hadir dan malah menjadi bagian dari pelanggengan kekerasan.
Atas dasar latar belakang tersebut, dalam peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia 2025, kami, organisasi masyarakat sipil Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan:
- Mendorong revisi menyeluruh UU TPPO agar bisa menjangkau modus-modus baru perdagangan orang dengan penyalahgunaan teknologi digital.
- Negara harus bekerja serius dalam penegakan hukum TPPO dan kerja paksa sebagai bagian dari perlindungan bagi semua warga negara Indonesia
- Negara harus hadir mendekatkan korban TPPO pada akses keadilan, menerapkan prinsip non-punishment dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap korban TPPO
- Negara harus menerapkan kompensasi yang adil, restitusi, memfasilitasi layanan pemulihan, dan dukungan reintegrasi yang jangka panjang bagi korban TPPO
- Negara harus memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia dan tidak terjebak dalam kebijakan komodifikasi pekerja migran Indonesia
- Pemerintah RI dan DPR RI harus menjamin pelindungan hukum terhadap korban atas tindakan pembalasan, non penghukuman serta pelindungan pendamping, paralegal, dan advokat yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Hal ini merupakan mandat tegas Pasal 60, 61, dan 62 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mengakui peran masyarakat sipil dalam pemberantasan TPPO yang sangat penting untuk mengakomodir prinsip Anti-SLAPP.
Kami mengundang publik, media, serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan #KamiBukanKomoditas dan mendorong #RevisiUUTPPO secepatnya.
Kami yang menyatakan sikap:
- Migrant CARE
- Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (IJMI)
- Human Rights Working Group (HRWG)
- Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
- Destructive Fishing Watch (DFW)
- Emancipate Indonesia
Views: 29