sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

BELAJAR TENTANG HAK ASASI MANUSIA DARI HRWG

30 min read
HAM adalah hak-hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah.

hrwgHuman Right Working Group (HRWG) mengadakan pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mekanisme HAM internasional yang diselenggarakan dari tanggal 13-16 Desember 2016 di Hotel Aston Jogjakarta. Pada kesempatan ini HRWG mengundang pegiat buruh migran dari berbagai daerah dan organisasi yang konsentrasi dalam pembelaan buruh migran.  
Sejarah dan Latar Belakang Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok HAM dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat Negara-negara anggota PBB sendiri maupun dikalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada dibawah yuridiksi mereka. Oleh sebab bentuknya sebagai acuan umum, maka diperlukan penjabaran isi dan makna DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. 
Pada tahun 1950, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsionalnya dan juga mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESR) beserta Protokol Opsional. Pembedaan kedua tema HAM ini yang melahirkan ICCPR merupakan hasil kompromi politik yang keras antara kekuatan negara-negara Blok Sosialis melawan kekuatan negara-negara Blok Kapitalis yang sedang terlibat Perang Dingin. Situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi HAM PBB (mulai bekerja tahun 1949). Akibatnya terjadi pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional, yang pada awalnya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Akibat pembedaan ini telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakkan kedua kategori hak tersebut.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak persoalan di bidang HAM, pada dasarnya telah memuat beberapa muatan hak yang menjadi materi di pasal-pasal ICCPR, jauh sebelum ICCPR itu sendiri disahkan. Hal ini dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia materi hak sipil dan politik yang termuat dalam UUD 1945 tidak dapat dan atau tidak mau dijalankan sepenuhnya dengan baik oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa pada masanya, mulai dari rejim Presiden Soekarno sampai dengan Soeharto. Seiring dengan proses demokrasi yang terus tumbuh dan bergerak cepat di Indonesia, maka terjadilah sebuah ‘pemberontakan rakyat’ kepada rejim Presiden Soeharto yang korup dan otoriter pada tahun 1998 yang ditandai dengan lahirnya sebuah suasana politik yang ‘baru’ yang disebut orde reformasi. 
Selanjutnya, penghormatan dan penegakkan HAM di Indonesia mulai membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Untuk hak sipil dan politik lebih konkrit lagi ditandai dengan Pengesahan ICCPR dengan UU Nomor 12 Tahun 2005. Akan tetapi realitas penegakkan instrumen-instrumen tersebut dalam kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan dengan baik. Hal ini tercermin dari beberapa kasus yang ada dimana terjadi pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya. 

Jenis dan Muatan Hak dalam ICCPR, UU HAM, dan UUD 1945
ICCPR
Pada dasarnya ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur negara yang ingin bertindak refresif, khususnya negara-negara yang menjadi pihak dalam ICCPR. Oleh sebab itulah, hak-hak yang ada didalamnya sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights), artinya hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat berkurang. Akan tetapi, apabila negara berperan sebagai intervensionis, maka hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakan dengan model legislasi ICESCR yang justru menuntut peran maksimal negara untuk memenuhi hak-hak dalam kovenan tersebut yang sering disebut juga sebagai hak-hak positif (positive rights).
Ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dalam ICCPR, yakni Non-Derogable Rights dan Derogable Rights. Hak Non-Derogable Rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walau dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah: 

  1. hak atas hidup (right to life) Pasal 3,
  2. hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture) Pasal 5,
  3. hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery) Pasal 4,
  4. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang (Pasal 9),
  5. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut,
  6. hak sebagai subjek hukum, dan
  7. hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama (Pasal 200). 

Klasifikasi kedua adalah Derogable Right, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk jenis hak ini adalah:

  1. hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
  2. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, dan
  3. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui tulisan maupun tulisan).

Berikut adalah rincian hak-hak sipol sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap kovenan internasional tentang hak sipil-politik. 

  1. Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun)
  2. Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa)
  3. Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,)
  4. Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau di-tahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana)
  5. Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi)
  6. Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon-traktual (utang atau perjanjian lainnya)
  7. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri)
  8. Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional)
  9. Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah-annya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama)
  10. Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda-patkan keringanannya)
  11. Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan)
  12. Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau komunikasi pribadi)
  13. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)
  14. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)
  15. Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan)
  16. Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan atau keramaian)
  17. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh)
  18. Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak)
  19. Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela-hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis-kriminasi)
  20. Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih)
  21. Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin-dungi hukum tanpa diskriminasi)
  22. Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)
  23. Negara-negara pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut, tetapi penyimpangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang mengganggu keamanan nasional atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif terhadap ras dan etnis.

hrwgUndang-Undang HAM
Konsep Non-Derogable Rights juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang dapat dibaca pada ketentuan Pasal 4 yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Pengaturan lebih konkrit dari hak sipil dan politik dapat dibaca mulai dari Pasal 9 s.d. 34 UU HAM, yakni hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas memeluk agama, hak untuk berpendapat dan berorganisasi, hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang.

Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, UUD 1945 menjadi acuan bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang dibawahnya. Konsep HAM menjadi lebih jelas pengaturannya dalam arti mendapat tempat tersendiri, yakni pada Bab XA tentang HAM, ditambah beberapa pasal diluar Bab tersebut yang tetap memuat materi HAM. Muatan hak sipil dan politik di dalam UUD 1945 dapat dibaca pada Pasal 27 tentang persamaan dalam hukum, Pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, Pasal 28A tentang hak hidup, Pasal 28B tentang hak berkeluarga, Pasal 28C tentang hak mengembangkan diri, Pasal 28D tentang hak mendapat perlakuan hukum yang adil dan kepastian hukum, Pasal 28E tentang hak beragama, Pasal 28F tentang hak berkomunikasi, dan Pasal 28G tentang hak atas rasa aman. 
Konsep Non Derogable Rights juga dianut dalam UUD 1945, yakni pada Pasal 28I yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Penyebutan secara limitatif ini menimbulkan implikasi bahwa hak-hak lain diluar Pasal ini mengandung arti termasuk jenis derogale rights.

Tanggung Jawab Pemenuhan dan Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Tanggung Jawab Pemenuhan Hak Sipil dan Politik

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCRPR yang menyebutkan bahwa:

“Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.”

Kalau hak dan kebebasan yang terdapat dalam kovenan ini belum dijamin dalam yuridiksi suatu negara pihak, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektfkan perlindungan hak itu sebagaimana yang bunyi Pasal ayat (2) ICCPR. Kewajiban negara pihak lainnya adalah menjamin pemulihan hak yang efektif dari suatu pelanggaran hak sipil dan politiknya walaupun si pelaku bertindak sebagai pejabat negara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR. Perlindungan dan pemenuhan kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable.

Menurut Pasal 8 jo. Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab negara. Kewajiban dan tanggung pemerintah tersebut menurut Pasal 72 UU HAM meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Ketentuan-ketentuan ini juga berarti termasuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak dan kebebasan sipil dan politik. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (4) juga menyebutkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Pengaturan Hak Asasi Manusia dalan Berbagai Peraturan Perundang-undangan Nasional dan Bidang Politik
Bidang Sipil
Pada pokoknya, kategorisasi hak-hak sipil dan politik sebagai hak asasi didasarkan kepada kovenan Sipil dan Politik yang merupakan salah satu perangkat hukum internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling lengkap. Keseluruhan kovenan ini terdiri dari 27 Pasal. dari ke-27 Pasal kovenan tersebut, berbagai hak yang terdapat di dalamnya di kategorisasi menjadi hak politik dan hak sipil. Hak sipil di dalam kovenan itu sendiri dapat di generalisasi menjadi empat macam hak sipil, yakni: 

  1. Hak diperlakukan sama di muka umum (TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Pasal (17))H
  2. Hak bebas dari kekerasan (TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/I998)
  3. Hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu (UU RI Nomor 39 Tahun 1999)
  4. Hak hidup dan kehidupan 

Bidang Politik

  1. Hak kebebasan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)
  2. Hak Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran dengan Lisan dan Tulisan (Pasal 28 UUD 1945)
  3. Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Pasal 28 UUD 1945, Pasal 11 UU No 9 Tahun 1998) 

Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Hak Hidup
Pasal 6 ICCPR menyatakan setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat dan harus dilindungi oleh hukum. Keharusan melindungi ini berarti setiap negara pihak wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum di negaranya. Berkaitan dengan hak hidup ini, maka isu yang paling sering diperdebatkan adalah apakah hukuman mati diijinkan atau tidak. Perdebatan kebolehan atau tidak ini terjadi diantara para ahli hukum dan HAM dan juga ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Para pendukung atau pro hukuman mati berpendapat hukuman mati masih sangat diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku kejahatan yang dianggap melakukan suatu kejahatan yang sangat melukai rasa keadilan masyarakat atau biadab walaupun definisi mengenai arti melukai atau biadab itu sangat multi tafsir. 

hrwgArgumentasi Golongan Pro lainnya adalah Pasal 6 ICCPR sendiri membolehkan adanya hukuman mati dengan beberapa persyaratan atau kondisi yang khusus, yakni: 

  1. Dijatuhkan pada kejahatan yang sangat serius; harus sesuai hukum positif yang ada di negara tersebut; 
  2. Tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam kovenan atau Konvensi Pemusnahan Suku Bangsa;
  3. Hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan akhir yang diberikan oleh pengadilan yang berkompeten; dan
  4. Tidak dijatuhkan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun dan wanita hamil. Untuk golongan yang kontra hukuman mati argumentasinya adalah bahwa hak hidup termasuk non derogable rights sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU HAM. Namun demikian, pro kontra mengenai hal ini sudah pernah diujikan di Mahkamah Konstitusi dan putusannya membolehkan hukuman mati sepanjang memenuhi syarat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar HAM.

Penerapan Peraturan Daerah 
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur diri sendiri merupakan perwujudan dari semangat otonomi daerah. Untuk melaksanakan otonomi tersebut maka diperlukan peraturan daerah untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut. Landasan hukum Perda ini adalah berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Namun, dalam pelaksanaan dan penerbitannya, kewenangan Pemda ini telah memunculkan Perda hanya mementingkan golongan agama tertentu dan bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Contoh dari Perda tersebut adalah:

 

  1. Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Propinsi Banten. Perda ini mengakibatkan petugas trantib di lapangan bertindak sembarangan menangkap perempuan yang berada di jalan, di malam hari, yang dituduh sebagai pelacur. Perda ini perlu dicabut karena menimbulkan penyalahgunaan dan tindak sewenang-wenang karena tidak jelasnya criteria yang membedakan antara orang yang berada diluar rumah di malam hari dan yang bukan sehingga menimbulkan potensi pelanggaran HAM
  2. Perda Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pedagang Kaki Lima di Surabaya. Perda tersebut telah melanggar HAM karena mensyaratkan PKL harus memiliki KTP Surabaya sebagai syarat untuk mendapatkan tanda daftar usaha. Persyaratan ini merupakan pembatasan bagi penduduk di luar Surabaya untuk melakukan kegiatan sebagai PKL dan telah menghambat hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan yang layak serta hak setiap orang untuk bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dimanapun di wilayah negara RI.  Padahal dalam ketentuan Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan bahwa salah satu asas pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan adalah ‘kemanusiaan’, yang berarti harus menghormati HAM.

Hak Mendirikan Organisasi Buruh dan Menjadi Anggotanya
Hak ini telah jelas dijamin UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara dan juga di dalam UU HAM, serta lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Pembentukan Serikat Buruh. Akan tetapi pada prakteknya, masih banyak pengusaha yang tidak menyukai keberadaan organisasi buruh di perusahaannya. Pengusaha ini baik secara sengaja atau tidak sengaja, diam-diam maupun terang-terangan berusaha untuk menghalangi terbentuknya organisasi buruh dan mengintimidasi pengurusnya atau buruh yang menjadi anggota serikat buruh. Kurangnya keberpihakan dan perlindungan dari instansi yang terkait dalam perlindungan hak ini membuat hak-hak ini menjadi terlanggar yang ditunjukkan dari indikasi banyaknya kasus-kasus yang terjadi dan masuk sebagai pengaduan ke Komnas HAM.

Hak untuk tidak Ditahan dan Ditangkap Serta Dijadikan Tersangka/Terdakwa Secara Sewenang-wenang.
Penahanan adalah bentuk pengekangan kebebasan yang tidak boleh dilakukan kecuali memenuhi persyaratan yang secara ketat diberlakukan untuk membatasi penahanan tersebut. Kasus Asrori di Jombang menunjukkan penegakkan hak ini masih dilanggar dan di banyak kasus lainnya hak ini tidak begitu dihormati oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menahan/menangkap seseorang.

Kendala Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia

  1. Penegakan Hukum. Aparatur penegak hukum belum melaksanakan tugas dan pokok serta fungsinya secara maksimal.
  2. Kelembagaan. Belum responsifnya lembaga-lembaga negara terhadap tuntutan pemajuan dan penegakan HAM. Padahal tanggung jawab utama ada di pundak mereka; Belum sinerginya antara lembaga-lembaga negara dalam mengimplementasian hak sipil dan politik beserta pelaporannya kepada Dewan HAM PBB; Tidak fokusnya program-program HAM pemerintah dan terkadang hanya bersifat administratif.
  3. Pemahaman (mindset) Aparatur Negara. Belum meratanya dan mendalamnya wawasanya dan pengetahuan aparatur negara terhadap instrumen-instrumen HAM nasional maupun internasional, dimana HAM masih dianggap ‘barang asing’.
  4. Pengkebirian UU HAM Nasional. Tidak berjalannya norma-norma hukum HAM nasional akibat kurang tegasnya komitmen politik dan moral para penyelenggara negara; Tidak kooperatifnya orang/kelompok yang diduga pelaku pelanggaran HAM terhadap pengusutan kasus-kasus HAM masa lalu sehingga berdampak pada semakin menguatnya akar impunitas.
  5. Anggaran. Tidak tersedianya anggaran yang memadai bagi lembaga-lembaga yang terkait dengan pemajuan HAM. Misalnya keterbatasan anggaran Kepolisian untuk menangani suatu perkara.

15391106_1162965433821990_9065294556241173587_nKOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK, 
Kovenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan produk Perang Dingin, ia merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional yang tadinya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Tapi realitas politik menghendaki lain. Kovenan yang satunya lagi itu adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini merupakan anak kembar yang dilahirkan di bawah situasi yang tidak begitu kondusif itu, yang telah membawa implikasiimplikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut. Saat ini Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik itu ( selanjutnya disingkat ICCPR) telah diratifikasi oleh 141 Negara. Itu artinya tidak kurang dari 95% negaranegara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjumlah 159 negara itu. Telah menjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya. Tidak salah apabila kemungkinan kovenan ini dimasukkan menjadi bagian dari International Bill of Human Rights. Yang mengherankan justru adalah sikap pemerintah kita terhadap kovenan ini yang hingga hari ini belum juga memutuskan untuk segera meratifikasinya. Jadi sampai sekarang kita belum menjadi Negara Pihak dari kovenan yang sangat penting itu.

Substansi Hak-Hak Di Dalamnya 
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak hak negatif (negative rights). Artinya, hakhak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakannya dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (biasanya disingkat ICESCR) yang justru menuntut peran maksimal negara. 
Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR itu sering juga disebut sebagai hakhak positif (positive rights). Hak-hak negatif apa saja yang termuat dalam ICCPR ? Dengan resiko terjatuh pada penyederhanaan, kita dapat membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : 

  1. hak atas hidup (rights to life); 
  2. hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);
  3. hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); 
  4. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); 
  5. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; 
  6. hak sebagai subjek hukum; 
  7. hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama.

Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights). 
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah : 

  1. hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
  2. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan 
  3. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tilisan). 

Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi : 
1. menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; 
2. menghormati hak atau kebebasan orang lain.

Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. 
Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR. Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. 

Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang menyatakan, Negara-Negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apapun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2). Perlu diketahui, tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressive realization), dan karena itu bersifat non-justiciable. 

Kewajiban negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut :

Mekanisme Pengawasan
Kovenan ini menciptakan badan pengawasannya sendiri (treaty-base organ), yaitu Komite Hak asasi Manusia. Komite 

  1. Menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
  2. Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang ditentukan oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum. 
  3. Menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. 

Prinsip-Prinsip Hak Sipil dan Politik dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999
Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipermaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.

Di Indonesia, dikhusus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicaran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika internal yang merespon gejala internasional secara positif.

Pada tahun 1999, Indonesia memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558, memberikan harapan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang mendambakan penegakan hak-hak asasinya. Hak-hak asasi ini bukan lah pemberian Pemerintah. Ini hak kodrati dari Sang Pencipta kepada semua mahluk di muka bumi. Dalam kenyataannya tidak demikian karena sangat memprihatinkan dan mengecewakan. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya.

Sebelumnya, penerimaan Indonesia atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia atau dalam dunia internasional dikenal dengan nama International Bills of Human Right, dilakukan terhadap Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Meskipun deklarasi tersebut merupakan instrumen non yuridis, namun semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), termasuk Indonesia, wajib mengakui dan menerima pokok-pokok pikira yang terkandung dalam deklarasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi pertimbangan dalam hal dibuatnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian, dengan adanya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak menegakkan HAM masyarakatnya. Hal ini karena secara sederhana saja, Indonesia sudah mempunyai peraturan maupun pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM.

Sayang, kenyataannya tidak demikian. Harus diakui, masih ada kontroversi atau perbedaan pendapat yang cukup tajam atas suatu permasalahan berkaitan dengan kovenan-kovenan tersebut. Tentang hak atas hidup, misalnya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang diadakan pada tahun 1966, menyatakan bahwa hak atas hidup adalah hak yang mendasar dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun. KIHSP juga mengatakan, di negara-negara yang masih memakai hukuman mati, hukuman ini hanya boleh dipakai untuk kejahatan yang paling berat, dan pelaksanaannya hanya dapat dilakukan kalau ketentuan-ketentuan KIHSP dipenuhi, termasuk hak atas pengadilan di depan peradilan yang “kompeten.” Pada sisi lain, ketentuan hukum pidana di Indonesia dalam hal ini KUHP (dan aturan lain) masih memberlakukan pidana mati.

Perdebatan lain yang muncul seputar implementasi konvensi di atas adalah masalah penafsiran dan implementasi dari perlindungan terhadap menjalankan agama dan keyakinannya secara bebas tanpa ada ras takut, tentang hak untuk tidak ditangkap tanpa surat penangkapan dalam proses peradilan pidana, atau tentang perlindungan saksi yang belum optimal di Indonesia. Untuk hal tersebut, KHN melakukan diskusi untuk menelaah lebih jauh mengenai arti penting dari diratifikasi kovenan-kovenan tersebut, dan telah berwujud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik).

Sejak reformasi berbagai produk hukum telah dilahirkan guna memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi Anti-Diskriminasi Rasial dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 30 September 2005 pemerintah Indonesia meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR). Dan pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional; maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Perempuan (CEDAW),berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih gambang dicantumkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 ini menyatakan: 

  1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya
  2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.” 

Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 juga menyatakan,

  1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya
  2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. 

Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak 
Sipil Politik juga menjamin pemenuhan hak untuk berekspresi dan hak atas informasi. Pasal 
19 Ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan”. Sedangkan Ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/mengungkapkan diri” dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri.

Ada pula sejumlah UU yang mendukung adanya kebebasan informasi publik. Antara lain UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana tercantum dalam Pasal (4), “Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang”.6 Pasal (5) UU No 23 Tahun 1997 yang menyatakan, “setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dan pengelolaan lingkungan hidup”. Juga Pasal (3) UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan , ”perlindungan konsumen bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa” serta Pasal (7), “kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.

Hak Sipil dan Politik di Indonesia Pada Masa Transisi Politik
Bicara sistem politik pada intinya berbicara pilihan system politik, antara sistem politik dictator, otoriter, sentralistis, absolute dan system politik demokratis populis dan kerakyatan, walau dalam praktik terdapat varian di antara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut, sistem politik mempunyai hubungan timbal balik dengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
Penguasa atau pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahannya lewat keputusan dan kebijakan yang di tempuh, memilik kekuasaan (power), kewenangan (authority), kekuatan (strength) serta (facility) yang di pakai sebagai alat atau sarana baik dalam menjelaskan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada. 
Politik hukum yang di tuangkan di dalam undang-undang dasar suatu Negara merupakan pedoman utama serta pilihan yang harus di laksanakan oleh para pejabat Negara. Dengan demikian, politik hukum adalah pilihan keputusan dan kebijakan yang telah di tetapkan sebelumnya (berdasarkan keputusan politik bersama) melalui atau menggunakan instrument hukum juga di laksanakan lewat lembaga politik yang sah menjadi patokan serta di taati oleh para pejabat politik.

Dalam politik menurut margenthau berlaku istilah “ lie zero sun game” (the winner takes all) yang berarti pemenang adalah pemenang, vinito.

Karena itu pimpinan politik di Negara berkembnag di harapkan memiliki visi, misi, dan platform yang jelas. Pemimpin di anggap sebagai primus interpares dan dari padanya di tuntut adanya keteladanan. “ kunci kesulitan – kesulitan dalam kestabilan polotik terletak pada sifat atau tingkat partisipasi sebagian besar anggota masyarakat temasuk kaum terpelajar, pejabat militer, pemuka agama dan tokoh-tokoh politik yang masih lemah dan kadang kurang sehat (alfian, 1976 : 100), ”visi atau dambaan yang di inginkan di masa depan (what we do we want to be), oelh almarhum Cak Nur sering di terjemahkan sebagai “sasaran agung “, sedangkan misi apa yang di harapkan sekarang demi masa depan (what do we want to have) di artikan sebagai “tugas agung”. (majalah Managemen, Agustus 1998).

Karena itulah dalam masyarakat yang paternalistis sebagaimana tergambar di depan, peran para inetelektual, budayawan, idealis, dan agamawan tetap di harapkan. Dengan demikian perunagaha politik memerlukan pula pemikiran kelompok – kelompok tersebut di atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal maupun pemantapan niat untuk mewujudkan politik hukum yang sudah di tetapkan, diikuti langkah konkreet dengan mengangjat taraf hidup, kesejahteraan, dan ketentraman semua angota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak atau kurang beruntung. Lebih- lebih kalau keterpurukan tersebut terbentuk kemiskinan cultural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan cultural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural, hal ini sangat terikat dengan penegakan HAM. 

Malah partisipasi masyarakat dalam politik, meurut Jeffery M.Paige, di bedakan menjadi empat macam yaitu sebgai berikut.

  1. Parisipasi dengan pengetahuan/ kesadaran masyarakat tinggi dan kepercayaan yang tinggi pula terhadap system politik yang berlaku. Anggota masyarakat akan dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mengembangkan kewajiban-kewajiban yang da demi negra dan bangsa.
  2. Partispasi politik tinggi, tetapi keprcayaan kepada system politik rendah. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya golongan sempalan (dissendent) yang dapat mengarah radikal.
  3. Partisipasi politik dengan kesadaran politik rendah dan kepercayaan tinggi terhadap system politik yang ada. Dalam situasi ini masyarakat lebih pasif dan hanya menerima system yang berlaku.
  4. Partisipasi politik dalam masyarakat yang rendah kesadaran politiknya dan kepercayaan. Dalam mayarakat tersebut, anggota masyarakat dalam ituasi tertekan dan takut atas kesewenang-wenagan penguasa.

Menurut alfian partisipasi pertama yang ideal hanya mungkin dalam system yang demokrtis. Untuk mengarah kepada satu partisipasi model pertama sekaligu mempunyai makna penegakan hukum, maka pendidikan politik yang benar dan terbuka harus di jalankan. Keterbukaan sekali lagi akan menumbuhkan kepercayaan anggota masyarakat kepada penguasa karena mereka di percaya dan tidak dianggap warga kelas dua.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hukum di harapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik yang tinggi berate kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan megiringi pula.

Hal ini akan menunjang system politik yang sehat dan demokratis dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif, terbuka dan dialogis, akan menciptakan atau memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyrakat terhadap system politik yang ada, di mana pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, Negara dan kemanusiaan. 

Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan status quo, dan mempertahankan kepentingan penguasa. dalam sisitem hukum yang berwatak represif atu reaktif, dapat dipastikan hak-hak rakyat diabaikan, terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. pemerintahan dictator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, dimanba aparat dan pejabat Negara dibawah control penguasa. Dalam system tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, walaupun ada halnya sebagi aksesoris politik saja. 
Dalam situasi demikian, sisitem komando menjadi pegangan para pejabat disemua lini pemerintahan. dengan demikian di semua strata komando ditempati krooni dan orang-orang kepercayaannya saja. Segala bentuk aktifitas warga yang terkesan berbeda dengan garis penguasa yang dibatasi dan dilarang antara rakyat dengan pemerintah terdapat jarak. “Modern dictatorship resembles older forms of absolutism in its hostility to any forms of separations of power, and in the concentration of as many function of government in as few hands as possible….”(W.Friedmann, 1959: 7) 

Sebaliknya dalam system politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsive dan akomodatif, substansi hukum yang tertuang dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjungjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegak hukum. dalam system tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini public lewat wakil-wakilnya, juga media masa, agamawan, cendekiawan, dan LSM dengan pemerintah. Dengan demikian, system hukumnya ditandai dengan konsep inpariality, consistensy, openness, predictability, dan stability. Semua warga Negara mempunyai kedudukan sama di depan hukum (equal before the law). Ciri inilah yang disebut rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada procedure merupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi ialah mewujudkan kehendak rakyat yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR. Antara pemerintah (dalam arti luas) dengan rakyat tidak ada jarak.

HAK-HAK WARGA NEGARA (SIPIL) DALAM ISLAM 
Boleh dikatakan bahwa Islam telah banyak memperbaiki (adat jahat) Jahiliyyah. Di Arabia pra-Islam individu tak memiliki hak-hak sebagai individu, melainkan hanya sebagai anggota dari suatu kelompok kerabat. Apabila ada yang menjumpai seseorang di padang pasir dan tak menyukai penampilannya, maka tak ada yang dapat melarangnya untuk membunuh orang tersebut selain dari rasa takut retaliasi dari sukunya. Tegasnya, hak untuk hidup bergantung pada “perlindungan” (kemampuan untuk melakukan balas dendam) dari kelompok kerabat. Ketika ummah Islam mengganti (system) kelompok kerabat itu, hak ini seperti hak-hak lainnya juga jelas ditegaskan secara lebih terjamin. 
Berdasarkan al-Quran, hak dasar berikut ini sudah dijamin secara hukum selama 1400 tahun sampai sekarang yaitu: hak hidup, hak jasmaniah untuk tidak diganggu, hak untuk mendapatkan perlakuan setara/non-diskriminasi, hak atas kekayaan, hak mempertahankan kebebasan hati nurani, hak perkawinan, hak mendapat pengadilan hukum, hak untuk dinyatakan tidak bersalah sebelum terbukti sebaliknya hak untuk tidak mendapatkan hukuman tanpa ancaman hukuman sebelumnya, hak perlindungan dari siksaan, dan hak suaka.

Dr. Robert Morey menganggap bahwa hukum dunia Islam, sebagai sejarah hukum barbar, meskipun anggapan tersebut tentu saja berlawanan dengan fakta yang telah kita bahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berupaya menunjukkan Islam dalam bentuk yang paling mengerikan, atau tidak punya pengetahuan sedikitpun mengenainya. 
Konsep Barat mengenai hak asasi manusia dianggap sebagai tuntutan Negara. Seperti yang telah diketahui secara luas, perumusan hak asasi menusia yang klasik di abad-abad sebelumnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan Negara saja, dengan memberikan kepada warga negara kebebasan dari sesuatu atau keleluasaan untuk melakukan sesuatu. Negara, yang dikendalikan dengan undang-undang hak asasi, dicegah agar tidak menarik pajak, menahan, merampas atau menjatuhkan hukuman mati semau-maunya. Tekanannya bukan pada apa yang harus dilakukan Negara, melainkan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara. 

Namun, belakangan ini, hak asasi manudia telah dirumuskan dalam pengertian tuntutan akan aksi kesejahteraan Negara. Negara harus menjamin lapangan kerja, perumahan, perawatan kesehatan, bahkan hak untuk menikmati alam dan kebahagiaan individu. Ini telah mendorong pada turunnya nilai “hak asasi manusia” dan turunnya nilai sektor negara. Penyimpangan-penyimpangan ini sama-sama dapat membahayakan kelangsungan hidup cita-cita yang mulia dari hak asasi manusia karena hilangnya kaitan transendental. Sedangkan bagi umat Muslim, setiap hak harus bersumber dari ilahi Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dan hak dasar tidak mungkin diciptakan oleh manusia melainkan hanya dapat ditampilkan kembali olehnya.Lebih jauh lagi, hukum Islam berbeda dari barat karena mempertimbangkan bahwa semua hak, termasuk hak asasi manusia, hanya terjamin dengan sungguh-sungguh jika seluruh sistem sosial dan hukum berada dalam kondisi yang baik, yaitu bahwa tujuan mulia keadilan hanya bisa diwujudkan sebagai produk sampingan dari system sosial yang komprehensif dan adil, dan bukan secara terpisah.

Menurut hukum Islam, hak untuk beralih agama tanpa menimbulkan kerugian hukum tidak berlaku bagi seorang Muslim. Paling-paling, peralihannya ke agama lain akan mendatangkan konsekuensi menyangkut warisan dan kemungkinan perkawinannya (batalnya keabsahan perkawinannya dengan seorangwanita Muslim), meskipun jelas tidak ada perintah Al-Quran untuk menghukum mati orang yang murtad tersebut. Sedangkan ayat 5:33 adalah hukuman mati bagi pengkhianat di masa perang, karena kebanyakan yang murtad adalah orang yang berkhianat. Situasi ini akan dapat dipahami dengan mudah jika menjadi seorang Muslim disamakan dengan mendapatkan kewarganegaraan di sebuah negara Barat. Tidak ada yang menyangkal bahwa hak istimewa atau kewajiban tertentu ada kaitannya dengan pemilikan kewarganegaraan.

Pada kenyataannya, demokrasi yang berkembang di dunia saat ini, adalah demokrasi berdasar suara mayoritas. Negara yang berpenduduk mayoritas Kristen tentu risih dipimpin seorang Muslim, begitu sebaliknya. Hanya bedanya, minoritas non-muslim di negara muslim lebih aman ketimbang minoritas muslim di negara non-muslim. Berita penganiayaan atas mereka tidak berhenti hingga sekarang. Berita yang masih hangat, Perancis ingin melarang pemakaian jilbab oleh pelajar muslim dengan alasan sekulerisasi, dipihak lain mereka menuduh Saudi yang mewajibkan jilbab sebagai negara yang tidak demokratis. lantas apa arti demokrasi yang sebenarnya? Apa yang diterapkan dengan setandar ganda

Hak Kebebasan Beragama Dalam UDHR (1948)
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur dalam UDHR yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.” 
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.
Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk suatu negara.
Kesulitan pengaturan hak kebebasan beragama disebabkan adanya perbedaan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama dari tiap-tiap negara. Perbedaan tersebut dapat memberikan penilaian yang berbeda atas hak kebebasan beragama. Hal inilah yang disampaikan oleh Karl Josef Partsch, beliau menyatakan:
“Atheist may have been satisfied to see “thought” and “conscience” precede “religion”. Liberals may have been pleased to see all three freedoms on an equal level without preference to any one of them. Strongly religious people may have regarde “thought and conscience” as corresponding not only to religion religion generally but even to the only true religion, the one to which they adhere.” 
Penjelasan dari Partsch dengan jelas menyatakan kesulitan-kesulitan dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Maka dari itu harus dicari sebuah landasan yang sama sehingga hak kebebasan beragama dapat berjalan tanpa merugikan pihak manapun.
Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR. Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights Commission (UNHRC). Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal 18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional bukan hukum internasional.
Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama. Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan Uruguay.
Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia. Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak manusia.
Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.
Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan dalam bagian UDHR. Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft UDHR, hak kebebasan beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”.

Walaupun hal tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus tetap menjadi acuan utama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *