sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

1 TAHUN SBMI HK: DISKUSI PUBLIK GERAKAN MEMBERANTAS OVERCHARGING

5 min read
Overcharging merupakan masalah buruh migran yang harus diselesaikan dengan model gerakan, melibatkan buruh migran sebanyak-banyaknya

ULTAH SBMI HK 1Hong Kong,  Serikat Buruh Migran Indonesia  cabang  Hong Kong (SBMI Cabang Hong Kong) menggelar perayaan satu tahun atas berdirinya SBMI. Acara tersebut di gelar di central park exit K pada hari Minggu, 20 Nopember 2016. Diskusi Publik dihadiri oleh Perwakilan dari Atase ketenagakerjaan KJRI HK, Perwakilan dari BNP2TKI, Perwakilan STOP, Perwakilan IDWF, Perwakilan dari HDH serta Elis Susandra ketua SBMI HK, dan Hariyanto Ketua Umum SBMI.

Sebelum Diskusi Publik mengenai permasalahan Overcharging acara diawali dengan sambutan selamat datang oleh ketua SBMI HK Elis Susandra mengucapkan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada para pihak yang sudah hadir dalam acara ulang tahun SBMI HK dan Diskusi Publik mengenai permasalahan Overcharging baik peserta diskusi dan para Narasumber. Acara diteruskan dengan pemotongan Tumpeng sebagai simb0l bersyukurnya atas berdirinya SBMI HK sampai saat ini masih tetap pada garis perjuangan dalam melakukan pembelaan hak- hak buruh migran.

Hariyanto mengemukakan dalam sambutannya,  memberikan apresia  kepada SBMI HK yang telah menunjukkan kinerjanya dengan bagus dalam melakukan pembelaan terhadap buruh migran untuk  pemenuhan hak kusunya pembebanan biaya yang berlebihan oleh Agency, hal ini bisa dibuktikan dengan memenangkan 2 (dua) kali persidangan di Hong Kong terkait dengan permasalahan Overcharging yang dilakukan oleh Agency di HK. Selain itu SBMI HK tidak hanya puas dengan menyasar Agency yang melakukan Overcharging tetapi sudah membuat 26 PPTKIS di Indonesia kalang kabut untuk mengkalrifikasi apa yang sudah di adukan oleh SBMI di BNP2TKI atas kasus yang sama yaitu pembebanan biaya yang berlebihan ( Overcharging ). Selain itu Hariyanto mengajak kepada semua burujh migran yang ada di Hong Kong untuk tidak menutup diri ketika ada permasalahan karena berdasarkan permasalahan yang dialami oleh kawan – kawan dan kemudia di alporkan maka itu salah satu bentuk kontribusi langsung dari buruh migran untuk mendorong perbaikan kebijakan yang bisa melindungi buruh migran.

Sudah saatnya buruh migran bersuara bukan hanya disuarakan, karena kalau buruh migrannya yang bersuara memberikan kesaksian atas apa yang menimpa dirinya maka pemerintah selaku pemangku kepentingan disini tidak bisa mengelakkarena apa yang dikatakan oleh buruh migran tersebut itulah fakta yang sering terjadi dan dialami oleh buruh migrannya secara langsung, kata Hariyanto

Materi secara umum yang disampaikan oleh para narasumber rangkumannya seperti tersebut:

Bagi keluarga dan bagi negaranya. Begitulah frase yang tepat untuk menggambarkan eksistensi  Buruh Migran Indonesia  (BMI) . Bisa dikatakan mayoritas BMI  yang bekerja di luar negeri memiliki tujuan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Perbaikan ekonomi keluarga di sini dalam artian untuk mencukupi kebutuhan keluarga, menambah aset dan meningkatkan permodalan untuk membangun usaha keluarga. Dengan kata lain, tidak perlu diminta oleh negara, BMI  akan senantiasa mengirimkan uangnya kepada keluarganya untuk mewujudkan tujuannya. Dengan begitu terjadi transaksi antara negara yang dapat menambah pundi-pundi devisa negara dan menguatkan nilai uang rupiah.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada tahun lalu uang kiriman yang masuk ke Indonesia sebesar USD 8,7 milyar. Ini setara dengan Rp. 115 trilyun. Dana sebesar itu kebanyakan dikirim ke kampung-kampung atau daerah asal  BMI. Artinya terdapat dana yang besar telah masuk dan berputar di daerah asal BMI. Maka dapat dikatakan kontribusi BMI terhadap pertumbuhan ekonomi lokal juga sangat signifikan. Oleh karena itu, dari pemahaman ini, sudah seharusnya pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik kepada BMI , baik pada saat sebelum berangkat, pada saat di negara penempatan dan saat pulang ke tanah air.

Sebenarnya negara bukan tanpa usaha dalam konteks pelayanan dan perlindungan untuk BMI. 12 tahun lalu Indonesia telah menetapkan UU nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Akan tetapi, UU tersebut dirasa kurang memberikan harapan yang dikehendaki BMI. Ribuan pengaduan BMI diterima oleh BNP2TKI. Permasalahan yang diadukannya pun juga sangat bervariasi. Mulai dari gaji yang tidak dibayar, penganiayaan, PHK sepihak, kecelakaan kerja, pemerkosaan, tuduhan tidak berdasar, menjadi overstayer dan lain-lain yang mana permasalahan tersebut terjadi di negara penempatan. Permasalahan tersebut dapat dikatakan berawal dari runtutan permasalahan di dalam negeri pada masa sebelum keberangkatan. Seperti contohnya PPTKIS kurang memberikan pemahaman kepada calon BMI mengenai situasi dan kondisi negara tujuan, baik dalam ruang lingkup budaya, hukum, sosial dan politik.

Persiapan yang kurang laik, seperti kecakapan keterampilan bahasa negara tujuan dan kompetensi kerja yang kurang. Hal ini bisa dipicu minimnya fasilitas dan tenaga pengajar yang dimiliki oleh PPTKIS. Namun dari permasalahan di atas, terdapat permasalahan substansi yang dialami oleh BMI, yaitu perjanjian penempatan dan perjanjian kontrak kerja. Permasalahan tersebut kurang begitu disadari oleh BMI. Implikasi dari perjanjian yang tidak memandang norma dan nilai akan berpotensi terhadap eksploitasi BMI. Salah satu gejala yang muncul dari buruknya pemahaman perjanjian tersebut adalah pembebanan biaya berlebih (overcharging).

Overcharging  bukanlah hal yang baru. Kasus ini berawal  dan di ketahui seharusnya BMI sebelum berangkat dan   proses pra penempatan,  sudah ada regulasi yang mengatur biaya proses penempatan  masing- masing  di negara penempatan dan hal tersebut seharusnya tertuang di perjanjian penempatan ( perjanjian antara PJTKI dan Calon BMI )  yamg mengatur  komponen besaran biaya penempatan dengan mekanisme potongan gaji atau yang lainnya. Dan regulasi tersebut memberikan batasan biaya penempatan antara yang sydah pernah bekerja ke Hong-Kong (ex)  dan yang masih baru (non), tapi pada praktiknya berdasarkan  kasus yang diadukan ke SBMI Hong –Kong dan di tanganinya tidak ada perbedaan nominal antara yang Non dan yang Ex semuanya di pukul rata serta semua kasus yang di tangani oleh SBMI Hong –Kong tidak memiliki salinan Perjanjian Penempatan.  Meski tidak semua BMI  mengalami overcharging, akan tetapi dugannya adalah setiap BMI dikarenakan tidak ada sosialisasi dan informasi terkait biaya penempatan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah   pasti mengalami overcharging. Permasalahan  ini sebenarnya telah dirasakan sangat memberatkan oleh BMI. Hanya saja sejauh ini tidak ada yang melapor permasalahannya. Bahkan aparat pemerintah sendiri belum tentu memahami kasus ini. Mekanisme yang lazim terjadi adalah pemotongan gaji BMI sebanyak 2-7 bulan gaji. Nilainya pun bervariasi, antara 30 – 75 persen dari gaji yang diterima oleh BMI. Padahal pemerintah telah mengaturnya melalui keputusan menteri ketenagakerjaan untuk menertibkan pembebanan biaya ini. Akan tetapi baik PPTKIIS ataupun agensi yang berada di negara penempatan telah sepakat untuk melanggarnya.

Kasus overcharging  menguat kencang ketika SBMI Hong Kong melayangkan gugatan kepada dua agensi di Hong Kong yang telah melakukan overcharging. Sebenarnya ada … agensi yang digugat, akan tetapi pengadilan perburuhan setempat menjatuhkan sangsi kepada dua agensi saja. SBMI Hong Kong bertindak atas nama kuasa … pelapor yang merasa dirugikan oleh agensi tersebut. Tidak sampai di situ, kasus overcharging juga merembet kepada PPTKIS yang telah merekrut dan memberangkatkan BMI. Terdapat 26 PPTKIS yang dijatuhi tunda layan oleh BNP2TKI. Gugatan dilayangkan oleh DPN SBMI yang bertindak atas 93 pemberi kuasa substitusi yang mengalami overcharging. Kasus pun berlanjut, para pelapor dan keluarganya mengalami intimidasi dari PPTKIS yang mengalami sangsi berupa tunda layan. Oleh sebab itu, perlunya upaya perlindungan hukum kepada BMI pelapor dan keluarganya dalam kasus ini.

Dalam memeringati 1 tahun berdirinya SBMI Hong Kong, kami ingin mengajak kepada seluruh BMI yang merasa mengalami kasus overcharging untuk tidak takut melapor. Peringatan ini juga ingin membangun gerakan dan kesadaran bersama dalam konteks hubungan industrial dan berlangsungnya revisi UU pekerja Indonesia di luar negeri. Oleh sebab itu, semangat perjuangan tidak hanya sampai pada semangat solidaritas saja. Akan tetapi perlu sebuah wadah untuk mewujudkan kehendak dan tujuan bersama untuk BMI yang lebih bermartabat dan mandiri.

Sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus terkait permasalahan Overcharging yang sering dialami pleh Buruh Migran karena praktik tersebut sangat merugikan buruh migran secara umum.;

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *