22 TAHUN SBMI: BURUH MIGRAN MENGAKAR KUAT, MELAWAN PENINDASAN 

Jakarta, 25 Februari 2025 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memperingati hari jadinya yang ke-22 dengan mengusung tema “Buruh Migran Mengakar Kuat, Melawan Penindasan”. Tema ini menegaskan komitmen SBMI sebagai serikat buruh yang mencerminkan kemampuan buruh migran dalam mempertahankan nilai-nilai perjuangannya. Dengan menjaga nilai-nilai inti dan warisan, buruh migran dapat memperkuat pijakan dalam menghadapi berbagai bentuk penindasan yang menyebabkan pemiskinan.

Dalam peringatan hari jadinya yang ke-22, SBMI menggelar berbagai kegiatan, termasuk pengajian, peluncuran dan nonton bareng film dokumenter “Home”, serta konsolidasi lintas sektor untuk membahas isu migrasi dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Konsolidasi ini melibatkan berbagai jaringan lintas sektor, seperti Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jaringan Buruh Migran, Migrant Worker’s Concern Desk – Stella Maris Service in Taipei, KIARA, AKSI!, dan sejumlah organisasi lainnya.

Kolaborasi untuk Memperkuat Gerakan

Dalam sambutannya, Dina Nuriyati dari Dewan Pertimbangan SBMI menekankan bahwa perjuangan buruh migran tidak bisa dilakukan sendiri. “Memperkuat akar gerakan tidak bisa sendirian. Di era ini, kerja sama lintas sektor mutlak diperlukan,” ujarnya. Hal ini menunjukkan urgensi kolaborasi dalam memperjuangkan pelindungan buruh migran.

Risma, sebagai fasilitator/AKSI!, menyoroti kondisi buruh migran yang semakin terpuruk akibat kebijakan negara yang abai. “Buruh migran harus konsisten melawan penindasan sistemik. Migrasi adalah hak, tetapi negara justru tidak memberikan pelindungan yang memadai. SBMI lahir dari perjuangan rakyat dan harus terus bersinergi dengan pihak lain untuk melawan ketidakadilan,” tegasnya.

Sementara itu, Rio, fasilitator lainnya, mengaitkan perjuangan buruh migran dengan film “Home” yang baru saja dirilis SBMI. Menurutnya, “Perjuangan ini diukur dari komitmen, bukan uang. Industrialisasi dan kebijakan seperti UU Cipta Kerja justru meminggirkan rakyat dan memaksa mereka menjadi buruh migran dengan taruhan nyawa. Di sisi lain, anggaran pelindungan buruh migran dipangkas, sementara represi digital melemahkan advokasi yang kami lakukan,” ungkapnya.

Krisis Lingkungan dan Migrasi Paksa

Isu buruh migran tidak bisa dilepaskan dari persoalan lingkungan. Arma dari Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa migrasi buruh adalah dampak dari pembangunan yang bersifat eksploitatif dan anti-HAM. “Sistem patriarki yang dilembagakan negara justru melanggengkan pelanggaran HAM, termasuk dalam kebijakan UU Cipta Kerja yang merusak tata kelola lingkungan yang menyebabkan warga negara Indonesia tidak ada pilihan selain bekerja keluar negeri dan tidak dilindungi secara maksimal,” ujarnya.

Fikerman dari KIARA menambahkan bahwa kebijakan pembangunan yang eksploitatif memperburuk kondisi perempuan di pesisir. “pelindungan negara masih tidak konkret. Proyek pagar laut 30 km di Jakarta dan UU Cipta Kerja mengancam ekologi pesisir, yang membuat perempuan nelayan kehilangan sumber mata pencaharian dan akhirnya terpaksa menjadi buruh migran atau profesi lainnya.” paparnya.

Afdil dari Greenpeace Indonesia turut menyoroti bagaimana kerusakan lingkungan menjadi faktor utama migrasi paksa. “Daya dukung lingkungan terus dihancurkan oleh kebijakan kapitalis-neokolonial. Indonesia didorong menjadi negara industri, bukan sebagai negara maritim ataupun sebagai negara agraris, sehingga rakyat kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan terpaksa bermigrasi.” jelasnya.

22 TAHUN SBMI: BURUH MIGRAN MENGAKAR KUAT, MELAWAN PENINDASAN  27/06/2025

Dukungan Lintas Sektor untuk Perjuangan Buruh Migran

Dukungan terhadap perjuangan buruh migran juga datang dari berbagai organisasi lintas sektor. Romo Ari dari Stella Maris mengapresiasi peran SBMI sebagai wadah perjuangan yang dibangun oleh dan untuk buruh migran. “Pendampingan dari negara masih minim. SBMI hadir menjawab kebutuhan buruh migran yang selama ini mengalami ketidakadilan,” ungkapnya.

Jumisih, Wakil Presiden Partai Buruh Bidang Perempuan dan beliau juga aktif mengadvokasi di buruh-buruh pabrik di FSBPI, menekankan pentingnya perlawanan yang berlapis. “Buruh di Morowali dieksploitasi, baik manusia maupun alamnya. UU Cipta Kerja menjadi ancaman besar bagi pekerja. Kami siap bersinergi dengan SBMI untuk memastikan hak-hak buruh migran dan lingkungan tetap terlindungi dan ini memang tidak bisa kita lakukan per isu, kita harus maju bersama-sama.” tegasnya.

Sementara itu, Yunita Rohani, Koordinator Departemen Advokasi SBMI, menyoroti keterkaitan antara proyek ekstraktif dan meningkatnya kasus perdagangan orang. “Banyak warga Indonesia telah kehilangan pekerjaan akibat proyek strategis yang memang skemanya adalah mengeksploitasi sumber daya alam secara terus-menerus, sehingga terpaksa bekerja di luar negeri karena sudah kehilangan daya lahan dan lautnya, pergi keluar negeri pun masih terjerat sistem kerja paksa dan perdagangan orang karena pelindungan negara yang tidak memadai. Maraknya kasus perdagangan orang dengan modus online scam juga menjadi dampak dari kondisi ini.” paparnya.

Momentum Konsolidasi dan Perlawanan

Peringatan 22 tahun SBMI ini tidak sekadar menjadi perayaan, tetapi juga momentum refleksi dan konsolidasi bagi gerakan buruh migran. Melalui tema “Buruh Migran Mengakar Kuat, Melawan Penindasan”, SBMI berharap dapat terus memperkuat gerakan kolektif dalam melawan penindasan sistemik yang dihadapi buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri dan terus mengakar kuat untuk memperkuat pijakan dalam menghadapi berbagai bentuk penindasan yang menyebabkan pemiskinan.

Views: 54