Migrasi Paksa, Buruh Migran, dan Implementasi Pelindungan : Perspektif yang Lebih Adil

Mobilitas lintas negara yang dilakukan oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) sering menjadi subjek tuduhan atas kontribusi terhadap kenaikan emisi karbon. Tuduhan ini berpusat pada sektor migrasi internasional, terutama penerbangan, yang dianggap menjadi penyumbang emisi karbon signifikan. Namun, kajian lebih mendalam menunjukkan bahwa dampak dari mobilitas lintas negara, termasuk oleh BMI, terhadap emisi karbon global cenderung kecil dan tidak sebanding dengan kontribusi sektor lain seperti industri berbasis energi fosil.

Menurut catahu SBMI 2024 mengutip  dari International Energy Agency (IEA) tahun 2022, sektor penerbangan menyumbang (sekitar) 2% dari total emisi CO2 yang terkait dengan energi global (1). Jika angka ini dipecah lebih spesifik untuk penerbangan yang digunakan oleh buruh migran, kontribusinya menjadi sangat kecil, hampir tidak signifikan dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan oleh sektor energi dan industri berat yang berbasis pembakaran batu bara, dan minyak bumi.

Dalam konteks ini, konsep “hak untuk tinggal di tempat asal” (right to stay home) sebagaimana dipaparkan dalam riset Persistent Rurality in Mexico and the Right to Stay Home oleh Xóchitl Bada dan Jonathan Fox, menjadi salah satu referensi SBMI dalam membuat analisis bencana iklim yang menyebabkan migrasi paksa. Hal tersebut guna menunjukkan bahwa meskipun terdapat berbagai faktor pengusir atau faktor pendorong seperti dislokasi akibat aktivitas ekstraktif yang mengakibatkan bencana iklim, masyarakat pedesaan di Meksiko tetap bertahan di tempat asal mereka dan pemerintah sudah seharusnya wajib untuk melindungi hak dasar ini. Hak untuk tinggal di tempat asal dan mengupayakan seluruh sumber daya alam di desa asal tentu saja tidak akan bertabrakan dengan hak masyarakat untuk bermigrasi. 

SBMI telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang memungkinkan masyarakat seharusnya menjadikan migrasi sebagai sebuah pilihan bukan keterpaksaan karena hilangnya sumber daya laut dan pertanian yang sudah bertahun-tahun diusahakan karena banyaknya proyek ekstraktif yang tidak menguntungkan bagi perekonomian dan sosial masyarakat desa malah menimbulkan  bencana iklim.

Narasi yang menyalahkan BMI atas emisi karbon global karena mobilitas lintas negara cenderung tidak adil. Mobilitas lintas negara seringkali merupakan kebutuhan ekonomi dan sosial, bukan gaya hidup konsumtif yang menghasilkan jejak karbon besar. Dibandingkan perjalanan wisata atau bisnis internasional yang berorientasi pada rekreasi atau keuntungan, penerbangan buruh migran lebih sering terkait dengan upaya mencari penghidupan atau mengatasi dampak masalah lingkungan di daerah asal.

Berdasarkan Catahu SBMI 2024, F seorang nelayan asal Sukabumi, sebelum bekerja di kapal berbendera Taiwan pada periode 2014-2019, adalah seorang nelayan lokal yang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya. F mengungkapkan, “Sebelum saya bekerja di Kapal berbendera Taiwan, saya adalah seorang nelayan lokal. Namun keadaan sebagai nelayan lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga sehari-hari. Tangkapan ikan yang semakin berkurang, biaya melaut mahal, belum lagi membayar kebutuhan untuk melaut sehari-hari. Hal tersebut yang membuat saya memutuskan untuk bekerja menjadi AKP di kapal Taiwan.” Meskipun kondisi kerja di kapal Taiwan sangat sulit, dengan waktu lembur yang berlebihan, makanan yang tidak layak, serta lingkungan kerja yang berbahaya, F merasa terpaksa melanjutkan pekerjaannya karena, seperti yang ia katakan, “Saya terpaksa berangkat lagi untuk bekerja di kapal Taiwan karena kondisi nelayan lokal juga tidak berubah.” Keputusan F untuk bekerja sebagai buruh migran bukanlah pilihan mudah, melainkan sebuah keharusan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi yang lebih besar di kampung halamannya dan bersedia tereksploitasi kembali, agar kepenuhan hidup ia dan keluarga tetap terpenuhi.

Migrasi lintas negara oleh BMI sering kali merupakan respon terhadap kondisi sosial-ekonomi yang sulit dan terstruktur, termasuk dampak bencana iklim di negara asal. Contohnya seperti degradasi lingkungan seperti abrasi di wilayah pesisir Indonesia memaksa banyak individu untuk bermigrasi demi kelangsungan hidup. Dalam konteks ini, migrasi tidak bisa dilihat sebagai penyebab utama krisis iklim, melainkan sebagai konsekuensi dari sistem global yang tidak setara. Dengan hasil bercocok tanam yang tidak bisa diandalkan dan laut yang semakin tidak ramah, banyak warga tidak punya pilihan selain mencari penghidupan di luar negeri. Desa Cimaja, Kabupaten Sukabumi menjadi salah satu kantong utama migrasi tenaga kerja, dengan lebih dari 100 warganya bekerja sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI). Mayoritas perempuan bekerja di Timur Tengah sebagai buruh rumah tangga, sementara laki-laki menjadi awak kapal perikanan (AKP) di kapal berbendera asing.

Pak M, seorang nelayan di Desa Karangpapak, menyebut bahwa bencana iklim telah   mendorong anak-anaknya untuk pergi bekerja ke luar negeri. “Anak saya melihat bagaimana sulitnya hidup sebagai nelayan. Akhirnya mereka memilih menjadi ABK di kapal asing, walaupun saya tahu resikonya besar,” katanya.

Buruh migran yang terpaksa bermigrasi akibat bencana iklim menghadapi kenyataan ganda: menjadi korban dari kerusakan lingkungan di negara asal, sekaligus sasaran tuduhan terkait kontribusi terhadap emisi karbon global. Tuduhan semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa sistem industri global adalah penyumbang besar emisi karbon melalui pembakaran bahan bakar fosil secara masif.

Alih-alih menyalahkan buruh migran, pendekatan kebijakan yang lebih adil adalah dengan mengurangi emisi dari sumber utama seperti industri dan sektor energi. Selain itu, investasi dalam teknologi transportasi yang ramah lingkungan, seperti bahan bakar berkelanjutan untuk penerbangan, dapat membantu mengurangi dampak emisi tanpa mengorbankan mobilitas lintas negara.

Menyalahkan BMI atas kenaikan emisi karbon tidak hanya keliru secara faktual, tetapi juga mengabaikan dimensi sosial-ekonomi yang lebih kompleks di balik migrasi lintas negara. Pemerintah dan masyarakat internasional juga perlu memahami migrasi buruh dalam konteks yang lebih luas. Memberikan dukungan bagi komunitas yang terdampak krisis iklim, termasuk penyediaan alternatif penghidupan di negara asal, dapat menjadi langkah preventif untuk mengurangi migrasi paksa. 

Sebagai bagian dari solusi, diperlukan kebijakan global yang fokus pada pengurangan emisi dari sektor utama, peningkatan transportasi ramah lingkungan, dan dukungan bagi komunitas terdampak bencana iklim salah satunya adalah pelindungan dari Pemerintah Indonesia. Pun dalam hal para buruh migran bermigrasi dan bekerja di luar wilayah Indonesia, pemerintah harus memaksimalkan pelindungan sejak sebelum keberangkatan, masa penempatan, hingga pasca penempatan. Jika pelindungan secara maksimal terimplementasi, kerentanan buruh migran mengalami eksploitasi kerja paksa sampai perdagangan orang akan menurun.  Pendekatan ini lebih adil dan efektif dalam menghadapi tantangan bencana iklim tanpa menimbulkan stigma terhadap kelompok rentan yang salah satunya adalah buruh migran.

“Di banyak kasus, ini menjadi siklus yang tidak ada akhirnya. Satu generasi bekerja di luar negeri, dan generasi berikutnya mengikuti jejak yang sama karena kondisi di desa tidak membaik,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Cabang SBMI Sukabumi, Jejen Nurjanah


(1)  https://www.iea.org/energy-system/transport/aviation

Views: 75