Jakarta, 6 Juni 2025 – Dalam momentum Konferensi Laut PBB 2025, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Internasional dan mitra global menyuarakan desakan kolektif untuk membangun sistem perikanan dunia yang bersahaja, adil, dan berkelanjutan. Diskusi yang mengangkat tema “Protect Oceans, Protect Workers: The Future of Fair, Just and Sustainable Fisheries” diskusi ini bukan hanya membahas perikanan dunia bagi ekosistem laut, tetapi juga bagi jutaan pekerja migran yang menopang industri ini.
Diskusi lintas aktor yang digelar secara daring menggarisbawahi realitas ganda yang menghantui laut dan pekerjanya: perampasan sumber daya melalui penangkapan ikan ilegal dan destruktif, serta eksploitasi tenaga kerja migran, termasuk praktik kerja paksa dan perdagangan orang yang masih masif terjadi.
SBMI mengungkapkan bahwa dari 943 kasus awak kapal perikanan (AKP) migran yang ditangani sejak 2013, lebih dari separuhnya merupakan kasus upah tidak dibayar dan hampir sepertiganya terindikasi sebagai TPPO. Data ini mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola ketenagakerjaan di sektor perikanan lintas batas.

“Tanpa perubahan mendasar dalam sistem, laut akan terus dijarah, dan pekerja migran akan tetap menjadi korban paling senyap dalam rantai pasok pangan laut global,” ungkap Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI. Hariyanto juga menekankan bahwa revisi kebijakan nasional harus berpihak pada pelindungan, bukan kepentingan bisnis semata.
Arifsyah Nasution, Pimpinan Global Proyek Beyond Seafood Greenpeace menyoroti bahwa tekanan terhadap laut kini makin kompleks dari krisis iklim, polusi plastik, hingga ancaman penambangan dasar laut dalam yang belum sepenuhnya diatur. Namun, penyelesaian tidak bisa hanya bertumpu pada solusi teknokratis. Greenpeace mendorong pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam tata kelola kelautan, dengan menempatkan pekerja sebagai subjek, bukan sekadar sumber daya.
Bonny Ling, Direktur Eksekutif Work Better Innovations mengingatkan bahwa sistem pelindungan pekerja di laut tidak bisa dibangun dalam kerangka hukum yang parsial. Hak-hak pekerja maritim harus dijamin melalui keterpaduan lintas hukum; dari hukum laut, hukum ketenagakerjaan, hingga hak asasi manusia. Penegakan prinsip non-diskriminasi dan akomodasi kepentingan kelompok rentan, termasuk perempuan di sektor perikanan, menjadi kunci.
Laporan yang diangkat dalam diskusi juga menunjukkan bahwa perempuan menyumbang hampir 40% dari tenaga kerja perikanan skala kecil dan 70% di akuakultur, namun kontribusi perempuan kerap diabaikan akibat ketiadaan data terpilah dan titik buta kebijakan. Pendekatan berbasis gender dalam perlindungan sektor maritim dinilai mendesak.
Sementara itu, praktik audit dan sertifikasi yang selama ini diklaim menjamin etika rantai pasok ternyata tidak cukup efektif. Model bisnis yang mengejar harga termurah justru mendorong pengecualian hak-hak dasar pekerja. Ame Sagiv, Direktur Senior Bidang Kerja Paksa dan Perdagangan Manusia di Humanity United menegaskan bahwa, akuntabilitas harus dimulai dari para pemegang kekuasaan dan sumber daya terbesar, pengecer, distributor, dan industri besar yang harus berani melakukan reformasi pembelian dan mendukung kontrak jangka panjang serta partisipasi pekerja.
Webinar ini memperkuat satu pesan penting: keadilan laut dan keadilan sosial tidak dapat dipisahkan. Melindungi laut berarti melindungi pekerja. Perubahan sistemik hanya bisa dicapai melalui kolaborasi lintas sektor dan lintas negara antara negara bendera, negara transit, negara kapal, dan pelabuhan; antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku industri.
Views: 6