Jakarta, 18 Juni 2025 — Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengecam keras praktik penempatan unprosedural dan eksploitasi yang dialami HM, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran asal Sumedang, Jawa Barat, yang menjadi korban dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perekrutan dan penempatan pekerja migran ke Malaysia.
HM direkrut oleh seorang calo bernama Agus Priadi warga asal Tangerang, Banten dan diberangkatkan tanpa pelindungan hukum yang sah, melalui jalur darat dan laut dari Dumai ke Malaysia. Dalam proses ini, ia sempat ditampung di berbagai lokasi, termasuk rumah-rumah transit antah-berantah yang dioperasikan oleh jaringan penyalur pekerja migran. Sesampainya di Malaysia, paspor dan ponselnya disita, ia dipekerjakan sebagai PRT dan mengalami ancaman pelecehan seksual dari majikan laki-laki HM juga harus bekerja sebagai PRT dengan bentuk rumah tiga tingkat, mengurus dua lansia dan satu anak usia sekolah, yang dalam satu rumah dihuni sebanyak 9 orang. Ketika menolak melanjutkan pekerjaan dan meminta pulang, ia ditahan di penampungan milik agen bernama Mami Arshila, yang menuntut “tebusan” hingga Rp20 juta untuk kebebasannya.
“Saya berangkat ke Malaysia karena dijanjikan kerja sebagai pengasuh anak. Tapi kenyataannya saya malah dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga yang harus mengerjakan semua pekerjaan domestik di rumah tiga lantai, dan mengasuh anak sampai menjaga lansia di rumah tersebut. Saya bekerja dengan perasaan yang tidak aman karena dengan majikan laki-laki saya berlaku aneh setiap harinya. Saya takut. Setiap saya bangun untuk sahur, saat saya menyiapkan makanan untuk sahur, dia sudah berdiri di belakang saya di dalam kegelapan. Setiap saya melakukan pekerjaan di pagi hari sebelum berangkat bekerja, dia selalu muncul diam-diam. Saya merasa dia memperhatikan saya secara tidak wajar, dan saya takut mengalami pelecehan.” terang HM kepada SBMI
Dalam situasi keterancaman tersebut, keluarga HM berjuang melakukan pelaporan kepada BP2MI, KBRI Kuala Lumpur, dan kepolisian. Melalui perjuangan intensif keluarga, membuat otoritas Malaysia akhirnya melakukan intervensi. Herni sempat dipindahkan ke Rumah Perlindungan Malaysia dan kemudian ke Imigrasi,namun selama proses ini pihak perwakilan RI tidak kunjung menemui HM ataupun mendampingi, sehingga membuat HM dipindahkan lagi ke Imigrasi Bukit Jalil dimana disitu tempat para Pekerja Migran yang dianggap telah melanggar keimigrasian di Malaysia, bahkan pihak KBRI tidak mengetahui HM telah dipindahkan dari Imigrasi KL ke Imigrasi Bukit Jalil, namun seluruh proses pemulangannya tidak difasilitasi negara; biaya kepulangannya justru ditanggung sendiri oleh keluarga.
Sebelum HM dipulangkan, keluarga sudah melaporkan kasus ini ke Kepolisian Resor Sumedang dengan nomor laporan: LP/B/101/III/2025/SPKT/POLRES SUMEDANG/POLDA JAWA BARAT, dan telah melakukan wawancara awal terhadap HM setelah ia tiba di Indonesia. SBMI juga tengah mengupayakan permohonan perlindungan hukum bagi HM dan keluarganya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengingat adanya intimidasi dan ancaman dari pihak perekrut di Indonesia.
“Kasus atas nama HM, seorang PRT Migran asal Sumedang adalah potret nyata kegagalan negara dalam melindungi perempuan pekerja migran. Negara abai dari hulu ke hilir: dari proses perekrutan unprosedural di dalam negeri, minimnya pengawasan jalur non-prosedural, hingga tidak adanya bantuan pemulangan yang layak dari otoritas diplomatik kita. Hal ini juga sebuah rentetan panjang dari abainya negara terhadap payung hukum untuk pekerja rumah tangga di Indonesia, untuk itu, penting untuk mengingat bahwa pemerintah harus segera sahkan RUU PPRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189.“ tegas Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI
Lebih ironis, setelah kasus ini mencuat, keluarga HM justru mendapat ancaman balik dari perekrut di Indonesia. SBMI menilai ini sebagai bagian dari pola impunitas terhadap jaringan pelaku perdagangan orang yang terus dibiarkan bebas beroperasi.
SBMI menyatakan sikap:
- Mendesak Kepolisian RI dan Satgas TPPO untuk sesegera mungkin memproses hukum para pelaku, termasuk perekrut dan jaringan agensi di Indonesia sampai Malaysia.
- Mendesak LPSK memberikan perlindungan kepada HM dan keluarganya dari segala bentuk intimidasi lanjutan atas pelaporan TPPO yang dilakukan.
- Mendesak Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memperkuat sistem pencegahan penempatan non-prosedural dan membuka audit jalur-jalur yang tak sesuai prosedur penempatan migrasi aman.
- Menuntut percepatan pengesahan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang kerja layak bagi PRT.
SBMI menyerukan agar negara hadir bukan hanya di saat darurat, tetapi sejak awal untuk mencegah praktik perdagangan orang yang akan selalu merajalela bila tak ada perbaikan. Perempuan PRT migran bukan komoditas. PRT berhak atas kerja yang layak, bebas dari ancaman dan perlakuan kekerasan hingga eksploitasi.
Views: 34