Indramayu, 17 April 2025 – Didampingi Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC SBMI) Indramayu dalam upaya untuk menuntut keadilan bagi Rusniati, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, terus bergulir di Pengadilan Negeri Indramayu. Pada sidang yang digelar Kamis (17/4), agendanya adalah mendengarkan keterangan saksi korban dan saksi ahli dari pihak pemerintah daerah, namun kehadiran korban belum memungkinkan karena kondisi kesehatan pascamelahirkan.
Saksi ahli dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu, Sudiryo, hadir dalam sidang tersebut dan memberikan keterangan terkait administrasi penempatan pekerja migran di wilayah tersebut. Sidang ini merupakan bagian dari rangkaian proses hukum dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh Rusniati.
Namun, karena kondisi korban yang baru beberapa hari melahirkan, hakim memutuskan untuk menunda pengambilan keterangan korban hingga sidang lanjutan pada Kamis, 24 April 2025. Penundaan ini menjadi bukti pentingnya mengedepankan prinsip korban-centered dalam setiap proses hukum, memastikan bahwa suara korban tetap dihormati tanpa mengabaikan kondisi fisik dan psikisnya.
Rekrutmen Unprosedural yang Berujung Eksploitasi
Kasus ini bermula saat Rusniati direkrut secara ilegal oleh seorang warga bernama Santoso alias Toso, yang juga berasal dari Kecamatan Lelea, tepatnya Desa Cempeh. Rusniati diberangkatkan ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, tanpa melalui jalur resmi dan tanpa pelindungan negara. Ini menunjukkan betapa celah dalam sistem perekrutan pekerja migran masih terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Rusniati yang baru bekerja selama satu setengah bulan di negara penempatan, kemudian diminta oleh majikannya untuk menjalani pemeriksaan medis sebagai bagian dari proses pembuatan izin tinggal (igomah). Dari hasil pemeriksaan tersebut, diketahui bahwa Rusniati sudah dalam keadaan hamil empat bulan, sebuah fakta yang kemudian menjadi alasan majikannya untuk mengembalikannya ke agen penyalur.
Alih-alih mendapat pelindungan dan kepastian, sesampainya di kantor agency, Rusniati justru mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Ia diminta menyerahkan uang sebesar Rp 10.000.000 dengan dalih untuk biaya pembelian tiket kepulangan. Tidak hanya itu, handphone miliknya dirampas, dan saat ia menolak menyerahkan gaji sebulan yang belum diterimanya, tas miliknya digeledah oleh pihak agency dan ditemukan uang sebesar 1.200 Dirham yang kemudian turut diambil secara paksa.
Laporan Keluarga, Perlawanan Dimulai
Keluarga Rusniati yang mengetahui kejadian tersebut akhirnya melaporkan pelaku perekrut kepada pihak kepolisian. Pada bulan Oktober 2024, keluarga Rusniati dengan didampingi oleh Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC SBMI) Indramayu secara resmi melaporkan Santoso alias Toso ke Polres Indramayu atas dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Tindakan ini menjadi titik awal penting dalam mendorong proses hukum dan memastikan bahwa pelaku tidak kebal terhadap hukum. Peran serta organisasi masyarakat sipil seperti SBMI dalam mendampingi keluarga korban menjadi bukti bahwa solidaritas akar rumput tetap menjadi tulang punggung perjuangan melawan TPPO.
Pernyataan Ketua SBMI Indramayu
Ketua DPC SBMI Indramayu, Jaenuri, menyampaikan bahwa kasus ini hanyalah satu dari banyak potret suram yang menimpa pekerja migran akibat sistem pengawasan yang lemah dan praktik perekrutan ilegal yang masih marak di pedesaan.
“Rekrutmen unprosedural seperti yang dialami Rusniati terus terjadi karena pengawasan di tingkat desa nyaris tidak ada. Negara harus membenahi akar persoalan ini, bukan hanya merespons setelah korban jatuh. SBMI akan terus mengawal kasus ini sampai ada keadilan, dan reformasi nyata dalam tata kelola migrasi bagi pelindungan Pekerja Migran Indonesia.”
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah hingga desa dalam melakukan sosialisasi, pendataan, dan pengawasan terhadap praktik rekrutmen tenaga kerja migran yang tidak sesuai prosedur.
Saatnya Negara Hadir dan Bertindak Tegas
Kasus Rusniati memperlihatkan wajah buram pelindungan pekerja migran kita hari ini—dari proses rekrutmen, penempatan, hingga pemulangan, pekerja migran terus-menerus berada dalam situasi yang tidak aman dan tanpa pelindungan memadai. Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga dengan pengawasan ketat dan pemberian keadilan yang berpihak kepada korban.
Pengadilan bukanlah akhir, melainkan salah satu langkah dalam rangkaian panjang perjuangan melawan perdagangan orang. Kasus Rusniati mengingatkan kita bahwa pelindungan pekerja migran adalah tugas kolektif, bukan sekadar kewajiban birokrasi.
Views: 39