Tag: greenpeace indonesia

  • SBMI & GREENPEACE DESAK PRESIDEN TANDA TANGANI RPP PELINDUNGAN ABK

    SIARAN PERS SBMI & GREENPEACE INDONESIA , Jakarta, 27 Agustus 2020. 

    Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama dengan Greenpeace Indonesia, hari ini melakukan aksi damai di Taman Aspirasi, kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, untuk mendorong Presiden Joko Widodo segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelindungan ABK Indonesia.

    Peraturan tersebut seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 22  November 2019  atau dua tahun sejak terbitnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan  Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

    Aksi ini merupakan rangkaian dari aksi sebelumnya yang dilakukan oleh SBMI di halaman Gedung Nusantara
    1, DPR-RI, pada 13 Juli 2020, dengan tuntutan serupa.

    “Peraturan Pemerintah akan mengatur berbagai hal teknis tentang perekrutan anak buah kapal (ABK) migran, sehingga mempersempit celah praktik pelanggaran hak tenaga kerja serta hak asasi manusia para ABK perikanan,” jelas Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.

    Menurut Kertas Laporan Investigasi SBMI-Greenpeace, [1] sepanjang 2015-2020, SBMI menerima pengaduan
    dari 338 orang ABK yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. Berdasarkan sebelas (11) indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional/ILO C29, [2] maka kasus yang dialami ratusan ABK tersebut di
    antaranya penahanan upah, kondisi kerja yang buruk, jam kerja berlebihan, penipuan, dan kekerasan fisik serta seksual.

    Dari 338 orang, sebanyak sebelas (11) ABK menjadi korban kerja paksa bahkan meninggal dunia di atas kapal. Mirisnya, beberapa jasad ABK yang meninggal di atas kapal, ada yang dilarung ke laut lepas tanpa seizin keluarga.

    “Memperhatikan berbagai kasus kematian ABK asal Indonesia yang terjadi belakangan ini, terdapat urgensi adanya payung kebijakan untuk membenahi tata kelola perekrutan dan pelindungan ABK migran,” tambah Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia.

    Selain mengeluarkan Peraturan Pemerintah, Pemerintah  juga harus segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan selambat￾lambatnya pada Desember 2020.

    Selain pelindungan melalui peraturan, pemerintah juga harus segera menyelesaikan kasus-kasus ABK yang
    diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta mendata para ABK Indonesia yang
    bekerja di kapal ikan berbendera asing. Pendataan sangat penting sebagai bagian dari pengawasan terhadap para ABK. “Para ABK kebanyakan bekerja di kapal ikan berbendera asing dengan frekuensi sandar ke pelabuhan yang sangat jarang, karena kapal banyak melakukan alih muatan di tengah laut. Ini menjadi celah bagi terjadinya kerja paksa atau perbudakan modern,” tegas Afdillah.

    Catatan:
    [1]https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/5444/perbudakan-modern-di-laut-terus-berlanjut￾pemerintah-gagal-lindungi-abk-ikan-indonesia/
    [2]https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_norm/—
    declaration/documents/publication/wcms_203832.pdf
    Link foto dan video:
    https://media.greenpeace.org/collection/27MZIFJLG6D4H

    Kontak media:
    Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), +62822-9828-0638,
    hari@sbmi.or.id

    Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia, +62811-470-4730, adillah@greenpeace.org
    Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62811-1924-090,

  • SIARAN PERS: PERBUDAKAN MODERN DI LAUT TERUS BERLANJUT, PEMERINTAH GAGAL LINDUNGI ABK

    SIARAN PERS: PERBUDAKAN MODERN DI LAUT TERUS BERLANJUT, PEMERINTAH GAGAL LINDUNGI ABK

    Jakarta, 22 Juli 2020. Bisnis kotor perbudakan modern di laut yang kerap menyebabkan kematian anak buah kapal (ABK) ikan asal Indonesia terus berlanjut. Berdasarkan analisis pengaduan kasus, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat sejak 2015 sampai saat ini ada sedikitnya 11 ABK asal Indonesia yang menjadi korban kerja paksa dan meninggal dunia di atas kapal ikan berbendera asing [1]. Praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut juga terkait erat dengan kejahatan perikanan ilegal yang membahayakan kelestarian ekosistem laut.

    Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI menyebutkan salah satu ABKI yang meninggal tahun 2015 bernama Supriyanto, berasal dari Pemalang, Jawa Tengah, dan bekerja di atas kapal Fu Tzu Chiun berbendera Taiwan. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari salah satu ABKI berinisial S (juga salah satu ABK korban), Supriyanto meninggal karena adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh mandor dan kapten kapal. Kekerasan yang didapat oleh almarhum Supriyanto berupa pemukulan dan ancaman selama 16 hari, sebelum Supriyanto meninggal. Bahkan kapten melakukan tindakan yang tidak manusiawi, di mana kapten mengiris kulit lutut almarhum, setelah itu kapten kapal tetap menyuruh almarhum bekerja. Jenazah Supriyanto sampai ke Indonesia pada 25 September 2015.  

    Investigasi SBMI bersama Greenpeace selama lebih dari dua tahun terakhir mengungkap penyebaran asal ABK perikanan yang diberangkatkan ke luar negeri. [2] Sebagian besar ABK berasal dari Pulau Jawa, diikuti oleh Sumatera, Indonesia bagian Timur dan Kalimantan. Proses pemberangkatan ABK perikanan ini dipusatkan di wilayah pantai utara Jawa Tengah. “Kita juga menemukan pola yang jelas bahwa proses perekrutan dan pemberangkatan sangat terpusat di Pulau Jawa, terutama Provinsi Jawa Tengah,” Hariyanto menambahkan.

    Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa praktik perbudakan modern di laut tersebut tidak bisa dipisahkan dari kejahatan perikanan ilegal. Hasil investigasi menunjukkan sebagian besar kapal-kapal ikan yang terkait praktik kerja paksa di atas kapal juga sering melakukan alih muat ikan di tengah laut (transhipment at sea) secara ilegal, mematikan sistem pemantauan kapal dan juga menargetkan hiu untuk diambil siripnya (shark finning). Beberapa kapal malah ada yang berganti-ganti nama dan bendera tanpa pemberitahuan kepada otoritas terkait. “Semakin lama kapal ikan berada di laut dan tidak dapat terpantau, semakin besar kemungkinan kejahatan praktik kerja paksa dan perikanan ilegal terjadi,” imbuh Afdillah.

    ABK ikan Indonesia termasuk kelompok pekerja yang paling rentan menjadi korban perbudakan modern atau perdagangan orang (human trafficking) yang merupakan kejahatan luar biasa, karena kondisi kerja yang buruk, ruang gerak, akses komunikasi, dan pengawasan pihak berwenang yang sangat terbatas. Merujuk pada laporan investigasi SBMI dan Greenpeace (Maret 2020), berjudul “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut,” ABK ikan Indonesia rentan mengalami sebelas (11) jenis pelanggaran Konvensi ILO terkait kerja paksa.

    Padahal Pemerintah Indonesia sudah memiliki undang-undang yang lebih maju untuk melindungi ABK, yaitu Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri.

    UU PPMI 18/2017 Pasal 4 huruf (c) menyebutkan bahwa Pekerja Migran Indonesia juga meliputi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Kemudian Pasal 64 juga memandatkan penerbitan peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang seharusnya sudah diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 22 November 2019 lalu, atau 2 tahun sejak diterbitkannya UU PPMI (mandat pasal 90 UU PPMI). Sangat disayangkan hingga saat ini pengesahan rancangan PP tersebut tidak jelas nasibnya.

    Dampak dari ketidakpastian penerbitan peraturan pelaksana ini mengakibatkan para buruh migran yang bekerja sebagai ABK ikan semakin rentan tereksploitasi, tanpa jaminan pelindungan dari negara.

    Oleh karena itu, SBMI dan Greenpeace Indonesia dengan tegas mendesak:

    1. Pemerintah harus bertanggung jawab dan segera memastikan seluruh hak-hak ABK dan keluarganya, baik untuk kasus-kasus terdahulu dan saat ini yang belum diselesaikan, dapat dipenuhi dan diselesaikan sesegera mungkin;
    2. Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pelindungan ABK Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 2020, termasuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan selambat-lambatnya pada Desember 2020, guna mengurai benang kusut dan kemelut tata kelola pelindungan ABK;
    3. Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk serius menindaklanjuti semua kasus-kasus ABK yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta menyelidiki dan menyidik aktor-aktor yang diduga terlibat dan menjadi bagian sindikat dalam bisnis kotor perdagangan orang di sektor perikanan, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri;
    4. Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk bersikap lebih tegas kepada seluruh negara bendera kapal ikan yang mempekerjakan ABK asal Indonesia, di antaranya untuk melaksanakan pelacakan dan pendataan keberadaan ABK asal Indonesia, serta melakukan pengawasan  kapal perikanan jarak jauh secara global; dan
    5. DPR RI segera mengefektifkan kerja-kerja Timwas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, untuk mengawasi implementasi UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. [3]
  • REKOMENDASI SBMI-GP DALAM PERLINDUNGAN ABK MIGRAN ASEAN

    REKOMENDASI SBMI-GP DALAM PERLINDUNGAN ABK MIGRAN ASEAN


    Serikat Buruh Migran Indonesia dan Greenpeace Indonesia meluncurkan kertas laporan investigasi pada 17 Maret 2020. Peluncuran tersebut dilaksanakan melalui konprensi pers secara online untuk menghindari penyebaran virus corona. Kertas laporan tersebut dinamai “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut”.

    Pada kertas laporan tersebut, SBMI dan Greenpeace Indonesia merekomendasikan semua negara anggota ASEAN mengikuti kepemimpinan Thailand, dengan meratifikasi dan  engimplementasikan Konvensi ILO 188 mengenai Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan sebagai hal yang mendesak. Untuk mengatasi masalah perburuhan dan penangkapan ikan dengan praktik IUU, negara perlu memperkuat perundang-undangan nasional mereka dan memastikan koordinasi di antara berbagai lembaga pemerintahan berjalan efektif. Mereka juga perlu berinvestasi dalam pengawasan dan inspeksi, memastikan keberadaan pengawas ketenagakerjaan di pelabuhan-pelabuhan, dan
    meningkatkan transparansi pada dokumentasi dan kondisi para nelayan migran yang bekerja
    di semua armada penangkapan ikan jarak jauh.

    Mengingat Indonesia, Filipina, dan Thailand telah menandatangani Perjanjian Negara-Negara
    Pelabuhan Untuk Tindakan Kepelabuhanan (PSMA) Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO),
    ketiga negara ini harus memimpin dalam penerapannya yang efektif di kawasan ini untuk
    menangani permasalahan penangkapan ikan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (IUU
    fishing).

    Implementasi Perjanjian Cape Town (CTA) Organisasi Maritim Internasional mungkin
    memakan waktu, karena saat ini hanya ada 11 penandatangan dari 22 negara yang diperlukan
    agar perjanjian berlaku. Namun, jika semua atau 10 negara anggota ASEAN menandatangani
    CTA, maka perjanjian ini seharusnya dapat mulai berlaku lebih cepat.  Upaya politik semacam itu, ditambah dengan dialog lintas-negara yang berarti antara negara-negara kunci dan aktor-aktor non-negara, seperti administrasi perburuhan dan perikanan, sektor swasta, nelayan migran dan organisasinya, bisa mengakhiri perbudakan modern di laut dan memperkuat perjuangan melawan IUU fishing.

    Untuk negara-negara ASEAN

    1. Meratifikasi Konvensi ILO 188 dan menerapkannya secara utuh ke seluruh pelaku
      industri perikanan dan armada penangkapan ikan komersial.
    2. Meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi-konvensi Inti ILO.
      a. Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk
      Berorganisasi, 1948 (No. 87). b. Konvensi tentang Hak Untuk Berserikat dan Berunding Bersama, 1949 (No. 98).c. Konvensi tentang Kerja Paksa, 1930 (No. 29), termasuk Protokol 2014 atas Konvensi ILO tentang Kerja Paksa (No. 29), d. Konvensi tentang Penghapusan Kerja Paksa, 1957 (No.105), e. Konvensi Usia Minimum, 1973 (No. 138), f. Konvensi tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, 1999 (No. 182), g. Konvensi Upah Yang Setara, 1951 (No.100), h. Konvensi Diskriminasi (dalam Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No. 111).
    3. Meratifikasi dan mengimplementasikan perjanjian Cape Town
    4. Mengimplementasikan ASEAN Consensus tentang promosi dan perlindungan hak
      pekerja migran yang telah ditandatangani pada 14 November 2017 melalui Regional
      Plan of Actionnya.
    5. Meratifikasi dan mengimplementasikan Perjanjian Negara-Negara Pelabuhan Untuk
      Tindakan Kepelabuhan (PSMA) Badan Pangan dan Pertanian
    6. Meningkatkan transparansi, upaya-upaya nasional, dan meningkatkan kerja sama antar
      lembaga pemerintahan. a. Dialog antar negara khususnya departemen terkait, seperti Perikanan, Luar Negeri, dan Ketenagakerjaan. b. Keterbukaan publik mengenai kapal penangkapan ikan – termasuk manifes awak kapal. c. Keterbukaan publik atas data Sistem Pengawasan Kapal (VMS) untuk kapal  penangkap ikan, dan meminta keterbukaan yang sama untuk seluruh Bendera Negara dimana nelayan migran ASEAN bekerja.  d. Mewajibkan adanya orientasi pra-keberangkatan dengan kualitas dan durasi yang cukup untuk memastikan nelayan migran mengetahui hak dan tanggung jawab mereka. Orientasi sebelum keberangkatan atau pasca kedatangan harus mencakup pelatihan yang memadai tentang pekerjaan di bidang perikanan, keselamatan di laut, dan pendidikan dasar tentang penangkapan ikan IUU. Semua biaya orientasi dan pelatihan tersebut harus ditanggung oleh pemberi kerja. e. Menugaskan petugas pelabuhan yang resmi di pelabuhan tempat berlabuhnya semua kapal penangkapan ikan asing. f. Inspeksi oleh Pengawas Pelabuhan harus diberlakukan kepada semua kapal asing. g. Mengintegrasikan semua pekerjaan di industri perikanan ke dalam semua Rencana Aksi Nasional tentang migrasi buruh dan perdagangan manusia. h. Mengadopsi sebuah Rencana Aksi Nasional yang konsisten dengan Panduan PSS mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan panduan yang dikeluarkan oleh
      Kelompok Kerja PBB mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
    7. Advokasi dan kerja sama internasional: a. Deklarasi atau Konsensus atas Pekerjaan Perikanan yang mendorong Negara Bendera mengakhiri perlakuan yang tidak adil terhadap nelayan migran ASEAN yang bekerja di armada penangkapan ikan jarak jauh mereka. b. Daftar armada yang terlibat praktik IUU di Organisasi Manajemen Perikanan Regional juga harus mencakup kasus-kasus pelanggaran HAM.

    Baca :

    Laporan investigasi SBMI, sebut kapal ikan asing yang menindas ABK 

    SBMI Ungkap 6 Perusahaan Agen Yang Menindas ABK Indonesia

    Budak Indoenesia di Kapal Taiwan

    Laporan SBMI-GP, Penindasan ABK Perikanan Merujuk pada Konvensi ILO

    SBMI-GP, Ungkap 6 Perusahaan Penyalur Yang Diduga Mengeksploitasi ABK 

  • LAPORAN INVESTIGASI SBMI & GP, PENINDASAN ABK MERUJUK PADA INDIKATOR KERJA PAKSA

    LAPORAN INVESTIGASI SBMI & GP, PENINDASAN ABK MERUJUK PADA INDIKATOR KERJA PAKSA


    Serikat Buruh Migran Indonesia dan Greenpeace Indonesia meluncurkan kertas laporan investigasi pada 17 Maret 2020. Peluncuran tersebut dilaksanakan melalui konprensi pers secara online untuk menghindari penyebaran virus corona. Kertas laporan tersebut dinamai “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut”.

    Pada kertas laporan tersebut, SBMI dan Greenpeace Indonesia mengungkap indikator kerja paksa itu mengacu pada indikator  yang ditetepkan dalam Konvensi ILO tentang Kerja Paksa. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Abuse of vulnerability – Menace of Penalty. Definisi Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa atau undang-undang setempat, memiliki sedikit pilihan mata pencaharian, termasuk kelompok agama minoritas atau etnis, memiliki ketidakmampuan atau memiliki karakteristik lain yang membedakan mereka dari populasi mayoritas sangat rentan terhadap pelecehan dan lebih sering ditemukan di kerja paksa.
    2. Deception – Involuntariness. Yaitu kegagalan untuk menyampaikan apa yang telah dijanjikan
      kepada pekerja baik secara lisan maupun tulisan.
    3. Restriction of movement – Menace of Penalty. Yaitu dapat dikunci dan dijaga untuk mencegah mereka melarikan diri, ditempat kerja atau saat diangkut.
    4. Isolation – Menace of Penalty [TBC by ILO]. Sering terisolasi di lokasi terpencil, menolak kontak dengan dunia luar.
    5. Physical and sexual violence – Menace of Penalty. Memaksa seseorang pekerja untuk melakukan tugas-tugas yang bukan merupakan bagian dari perjanjian awal, seperti untuk
      berhubungan seks dengan majikan atau anggota keluarga atau, yang kurang penting, untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang diwajibkan selain “normal” tugas mereka
    6. Intimidation & amp; threats –Menace of Penalty. Dapat mengalami intimidasi dan ancaman ketika mereka mengeluh tentang kondisi mereka atau ingin berhenti dari pekerjaan mereka
    7. Retention of identity documents – Menace of  Penalty. Tanpa dokumen identitas, pekerja tidak akan dapat memperoleh pekerjaan lain atau mengakses layanan penting, dan mungkin
      takut untuk meminta bantuan dari pihak berwenang atau LSM
    8. Withholding of wages – Menace of  Penalty. Ketika upah secara sistematis dan sengaja dipotong sebagai alat untuk memaksa pekerja untuk tetap dan menyangkal dia punya kesempatan untuk berganti majikan, ini menunjuk kerja paksa
    9. Debt bondage – Menace of Penalty. Memiliki efek mengikat pekerja pada majikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Apapun dari satu musim, hingga bertahun-tahun, atau bahkan generasi yang berturut-turut.
    10. Abusive working and living conditions – Involuntariness. Pekerjaan dapat dilakukan dalam kondisi yang merendahkan (mempermalukan atau kotor) atau berbahaya (sulit atau berbahaya tanpa alat pelindung yang memadai), dan dalam pelanggaran berat undang-undang perburuhan. Buruh juga dapat mengalami kondisi hidup dibawah standar, dipaksa hidup dalam kondisi yang penuh sesak dan tidak sehat tanpa privasi apapun.
    11. Excessive overtime – Involuntariness. Ditolak istirahat dan hari libur, harus mengambil alih sif dan jam kerja rekan yang tidak hadir, atau dengan panggilan 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

    Baca juga :

    Laporan investigasi SBMI, sebut kapal ikan asing yang menindas ABK 

    SBMI Ungkap 6 Perusahaan Agen Yang Menindas ABK Indonesia

    Budak Indoenesia di Kapal Taiwan

  • OMNIBUS LAW, CIPTA KERJA ATAU MENDORONG MIGRASI PAKSA?

    OMNIBUS LAW, CIPTA KERJA ATAU MENDORONG MIGRASI PAKSA?


    25 Februari 2020. Hari ini Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah berusia 17 tahun. Selama ini SBMI telah bekerja dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan bagi buruh migran indonesia dan keluarganya. SBMI menentang perbudakan, pemerasan dan perdagangan orang. Organisasi buruh migran ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi bagi buruh migran dan keluarganya. SBMI juga mendukung penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender, non-diskriminasi serta membangun persaudaraan dan solidaritas gerakan sosial, baik di tingkat nasional, regional dan internasional.

    SBMI telah melakukan kerja-kerja penanganan kasus yang dialami oleh buruh migran, baik di sektor darat dan laut. Hariyanto, Ketua Umum SBMI, mengungkap realitas data yang selama ini ditangani. “Berdasarkan pendokumentasian aduan, sejak tahun 2010 sampai dengan 2019, trennya cenderung meningkat,” jelas Hari.

    Terjadi peningkatan rata-rata sebesar 55,3 persen setiap tahunnya [1]. Peningkatan aduan tertinggi terjadi di tahun 2016 sebesar 491 kasus dan 2019 sebanyak 640 kasus. Total aduan yang didokumentasikan sebanyak 2.456 kasus. Secara umum, terdapat 3 kelompok yang paling rentan mengalami eksploitasi, perbudakan dan diskriminasi, yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebesar 60,38 persen (1.483 kasus); Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan sebesar 10,46 persen (257 kasus); dan Pengantin Pesanan sebesar 1,1 persen (27 kasus). Adapun sebesar 28,06 persen aduan (689 kasus) berasal dari sektor lainnya. Demikian dijelaskan lebih lanjut oleh Hari dalam sesi diskusi publik dalam rangka perayaan 17 Tahun SBMI yang berlangsung di Gedung YLBHI/LBH Jakarta.

    Khusus terkait dengan kasus ABK, investigasi SBMI bersama Greenpeace dalam kurun waktu 2 tahun terakhir mengungkap penyebaran asal ABK perikanan yang diberangkatkan ke luar negeri. Sebagian besar ABK perikanan berasal dari Pulau Jawa, lalu diikuti oleh Sumatera, Indonesia bagian Timur dan Kalimantan. Proses pemberangkatan ABK perikanan ini dipusatkan di wilayah pantai utara Jawa Tengah. “SBMI dan Greenpeace juga menemukan pola proses penempatan yang terpusat di Jawa Tengah,” ujar Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara. Adapun tujuan utama penempatan adalah di kapal-kapal ikan Taiwan dan Cina.

    SBMI dan Greenpeace menganalisis faktor pendorong terjadinya proses migrasi keluar negeri disebabkan oleh alih fungsi lahan terutama hilangnya lahan pertanian untuk industri. Alih fungsi lahan tersebut juga berdampak sosial dengan meningkatnya kemiskinan serta peminggiran peran perempuan dalam proses pertanian. Hadirnya industri tersebut juga belum bisa dipastikan sebagai penyerap tenaga kerja karena adanya modernisasi produksi dari tenaga kerja manusia ke mesin. Disamping itu dampak dari kerusakan lingkungan termasuk di kawasan pesisir dan menurunnya produktivitas perikanan akibat penangkapan ikan yang merusak, memaksa beberapa nelayan lokal bermigrasi dan bekerja di atas kapal ikan asing yang beroperasi secara jarak jauh.

    Sementara itu, substansi kebijakan Omnibus Law yang direncanakan oleh pemerintah saat ini, dipastikan akan berdampak buruk terhadap kondisi kesejahteraan buruh di dalam negeri dan juga lingkungan hidup. Hal ini justru mendorong terjadinya migrasi keterpaksaan untuk bekerja di luar negeri. Untuk itu, SBMI dan Greenpeace menolak kebijakan Omnibus Law.

    Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) diharapkan bisa mengurai carut marutnya tata kelola migrasi. Namun harapan itu terancam gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta (ASPATAKI) pada bulan November 2019 terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b), Pasal 82 huruf (a), dan Pasal 85 huruf (a).

    Pasal-pasal yang diinginkan untuk dibatalkan oleh ASPATAKI adalah jantungnya UU PPMI. Pasal 54 mengatur terkait dengan penyertaan modal dan deposito. Adapun Pasal 82 huruf (a) dan 85 huruf (a) merupakan ketentuan pidana yang memberikan kepastian hukum bagi buruh migran yang ditempatkan tidak sesuai dengan kontrak kerja yang selama ini menjadi modus perdagangan orang. Ketiga pasal ini dapat memberikan efek jera dan menghapus impunitas (kejahatan tanpa penghukuman) yang selama ini secara massif dilakukan oleh perusahaan jasa penempatan tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab.

    SBMI mendesak Pemerintah untuk segera membenahi tata kelola migrasi. Hal tersebut harus diakselerasi melalui penyusunan peraturan turunan yang menjadi mandat dari UU PPMI secara terbuka dan partisipatif yang melibatkan masyarakat, serikat buruh dan organisasi buruh migran di masing-masing sektor. Disamping itu, pemerintah penting memprioritaskan berjalannya sistem informasi ketenagakerjaan (sisnaker) buruh migran. Sisnaker harus menjadi alat kerja bersama seluruh instansi pelayanan dari desa hingga perwakilan Indonesia di luar negeri. SBMI juga meminta Pemerintah untuk merevitalisasi Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) dan memastikan pelatihan vokasi gratis bagi calon buruh migran.