sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SBMI SERAHKAN PETISI AKHIRI PERBUDAKAN TKI ABK KAPAL IKAN

3 min read
Muhammad Khanif Dakhiri Menteri Ketenagakerjaan: perlu adanya intrumen hukum nasional yang mengatur adanya perlindungan bagi ABK kapal ikan

audensi sbmi-menakerRabu siang (21/9/2016),  Serikat Buruh Migran Indonesia menyerahkan petisi mengakhiri perbudakan TKI ABK kapal ikan kepada Muhammad Khanif Dakhiri Menteri Ketenagakejaan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav.51 Lt.II-A Jakarta Selatan. Petisi ini didukung oleh 20 ribuan netizen, terdata di media kampanye Walk Free dan change.org.

Sebelumnya diawali dengan audensi terkait dengan perlindungan TKI ABK kapal ikan dan fakta-fakta penempatan TKI  PRT, setelah paska kebijakan penghentian dan larangan penempatan TKI pada pengguna perseorangan di negara-negara kawasan Timur Tengah. Kepada Menteri, Serikat Buruh Migran Indonesia menyampaikan pandangan sebagai berikut:

Bahwa saat ini Indonesia adalah negara pengirim buruh maritime terbesar ketiga di seluruh dunia, dengan jumlah mencapai lebih dari 200.000. Dari jumlah tersebut, 77 persennya adalah buruh maritim yang menjabat sebagai ABK kapal ikan, sisanya adalah buruh maritim yang menjabat sebagai ABK di kapal kargo, pesiar dan lainnya. Meski jumlahnya terbesar, namun nasib ABK kapal ikan inilah yang paling tidak terlindungi dan paling rentan diantara buruh maritim lainnya.

Seperti diketahui bahwa dunia internasional ada dua kebijakan tentang pelaut, yaitu:

  1. Maritim Labor Convention (MLC 2006) yang mengatur perlindungan untuk pelaut, kecuali ABK kapal ikan,  kapal tradisional, ABK kapal perang dan ABK angkatan laut. Hal ini diatur pada paragraph 4 MLC 2006 Artikel II yang berbunyi “Except as expressly provided otherwise, this convention applies to: All seafarers, except for: fishing vessels, traditionally build ships, war ships and naval auxiliaries” (mengatur perlindungan terhadap semua buruh maritim kecuali buruh di: kapal penangkap ikan,  kapal tradisional, kapal perang dan angkatan laut). Pada September 2016 Konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
  2. Konvensi ILO No 188 tahun 2007 Tentang Pekerjaan di kapal ikan,  yang mengatur tentang standar perlindungan ABK di kapal ikan. Dari dua konvensi itu bisa dilihat perbedaan yang jelas antara buruh pelaut dengan buruh pelaut yang menjabat sebagai ABK kapal ikan.

ketua sbmi-menakerMenjadi pertanyaan, kenapa pemerintah Indonesia meratifikasi MLC dan tidak meratifikasi Konvensi ILO 188 yang mengatur perlindungan mayoritas buruh maritim?

Ditilik dari peraturan nasional, memang ada carut marut aturan yang mengakibatkan ABK kapal ikan tidak terlindungi, antara lain :

Menteri Ketenagakerjaan hingga saat ini belum melaksanakan amanat dari dua undang-undang yang telah diterbitkan, yaitu:

  1. Pasal 28 UU No 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
  2. Pasal 337 UU No 17/2008 Tentang Pelayaran mengatakan bahwa Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Dalam presfektif hukum ini, pengabaian ini adalah pelanggaran, begitu juga dengan penerbitan aturan tentang ABK kapal ikan oleh Kementerian Perhubungan dan BNP2TKI, yang keduanya tidak diberi amanat secara langsung oleh undang-undang, adalah tidak berdasar. Dua aturan terkait ABK kapal ikan yang sudah diterbitkan itu adalah Perka BNP2TKI No 3/2013 Tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI ABK Pelaut Perikanan Pada Kapal Berberndera Asing, dan Peraturan Menteri Perhubungan No 84/2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

Menanggapi hal tersebut. Menteri Ketenagakerjaan berpendapat bahwa alasan terkuat untuk meratifikasi MLC 2006 adalah effektifitas. Konvensi ini sudah ditarifikasi 79 negara, dan pemerintah Indonesia adalah negara yang ke 80. Sementara Konvensi ILO 188 baru diratifikasi oleh 6 negara. Dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan berpendapat bahwa KILO 188 baru effektif setelah diratifikasi minimalnya oleh 10 negara. Maka solusi yang ditawarkan adalah harus ada instrumen hukum nasional yang mengatur tentang perlindungan TKI ABK kapal ikan.

Menyambung tawaran Menteri, I Nyoman Darmanta Kepala Sub Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, menjelaskan bahwa pihaknya telah merancang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang perlindungan ABK kapal ikan sejak tahun 2008 yang semangatnya adalah KILO 188. Hingga saat ini draftnya sudah di share kepada kementerian dan lembaga terkait dan terbuka bagi organisasi masyarakat sipil untuk memberi masukan. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *