sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Kisah ABK Penangkap Ikan Asing: dari Direkrut, Ditipu, Disiksa, sampai Berjuang Minta Pertolongan

6 min read

AKURAT.CO, Pada edisi kali ini, kami akan menyajikan laporan tentang perlakuan buruk yang dialami anak buah kapal pencari ikan milik asing.

Selama ini, ABK yang menjadi korban perbudakan modern itu tidak bisa bersuara. Mereka tidak bisa melawan dan harus mengalami siksaan dan jeratan utang sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Kami akan sajikan laporan tentang kerja paksa dan sengkarut pengiriman ABK dalam beberapa sudut pandang.

Tahun 2016, IU lulus sekolah menengah atas. Dia tak bisa berlama-lama menikmati kebebasan selepas dari bangku sekolah. Dia mesti segera mencari pekerjaan untuk menopang kehidupan keluarganya di Banyumas, Jawa Tengah.

IU susah payah mencari berbagai informasi tentang lowongan pekerjaan. Pencarian itu mempertemukannya dengan seorang anggota badan pembangunan daerah di desanya dan inilah awal mula perubahan hidupnya.

Selain menjadi anggota badan pembangunan daerah, orang itu juga dikenal sebagai anak buah kapal tanker yang perusahaannya berdomisili di Jakarta. Belakangan, IU baru menyadari orang itu juga nyambi jadi calo yang tugasnya mencari orang-orang desa untuk direkrut sebagai ABK.

IU mulai tergiur dengan cerita sukses menjadi ABK kapal penangkap ikan. Dia semakin tergoda tatkala diceritakan nilai gaji dan fasilitas yang bakal diterima kalau mau jadi pelaut.

“Kalau nggak salah janji Rp9 juta, belum lagi sama bonus dan segala macam itu sampai Rp15 juta per bulan,” kata dia.

Tanpa berpikir panjang, IU yang sedang menganggur itu langsung menyabet tawaran calo.

Tak berapa lama kemudian, IU diperkenalkan dengan seseorang yang dikenalkan sebagai kapten kapal tanker. Penjelasan kapten semakin memantapkan hati IU bahwa pekerjaan inilah jalan menuju impian.

Tapi sebelum diberangkat ke Jakarta, IU diminta membayar sejumlah uang dengan berbagai alasan. Di antaranya, dia mesti membayar Rp5 juta untuk administrasi dan membayar Rp6 juta lagi untuk jaminan – belakangan uang jaminan ini tak pernah dikembalikan.

Sesampai di Jakarta Utara, IU masih harus setor uang Rp1 juta untuk keperluan biaya makan dan menginap setiap minggu selama masa tunggu – ketika itu dia tidak tahu berapa lama harus menunggu dipekerjakan. IU tidak sanggup membayar sebesar itu setiap pekan. Keluarganya hanya mampu membayar Rp300 ribu.

IU dan keluarganya sama sekali tak menyangka biaya yang diminta perekrut begitu besar.

Setengah tahun kemudian, IU diberangkatkan dengan pesawat terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Pesawat transit di bandara Turki, kemudian transit lagi di Kinshasa. Setelah itu, mendarat di Gabon, Afrika Tengah.

IU baru tahu belakangan. Ternyata dia bukan diberangkatkan ke Taiwan seperti rencana awal, melainkan ke Gabon.

Singkat cerita, IU dipekerjakan di kapal pencari ikan milik Taiwan berbendera Cina yang beroperasi di Gabon. Para ABK diperintahkan untuk menangkap semua jenis ikan di tengah laut. “Termasuk ikan hiu, tapi dia (hiu) lebih kepada diambil siripnya, badannya dibuang,” katanya.

Selama 15 bulan bekerja sebagai ABK, gaji besar dan fasilitas bagus yang dulu pernah dijanjikan selama perekrutan sama sekali bohong. Misalnya, di dalam kontrak kerja, dia akan digaji dengan dolar Amerika Serikat, tetapi ternyata Franc Cfa yang tentu saja nilainya jauh lebih rendah.

“Harusnya 300 dolar (USD) per bulan. Tapi bulan pertama saya nggak dapat gaji sama sekali, bulan kedua sampai keenam potongan 200 USD. Jadi setiap bulannya saya hanya dapet 100 dolar. Jadi kemungkinan hanya Rp3,6 jutaan, karena dia bayar pakai uang Gabon tadi.”

Ketika saya temui di sebuah acara di Jakarta, IU menceritakan bagaimana kesehariannya di atas kapal.

Di atas kapal hampir setiap hari terjadi perselisihan karena faktor bahasa. Di atas kapal, mayoritas orang berbahasa Cina, sementara IU selama persiapan hanya mempelajari Bahasa Inggris.

Perselisihan tak jarang berujung makian, bahkan penganiayaan. Contohnya, suatu kali dia diminta mandor untuk mengambil telepon seluler. Karena tak tahu bahasanya, IU pun mengambilkan pulpen.

“Saya pernah dipukul pakai tangan, ditendang, terus sempat berantem saya luka di atas tangan, jadi saya disabet pakai rantai sampai luka gini,” ujarnya sembari memperlihatkan bekas luka.

Selain faktor bahasa, penilaian sepihak dari mandor juga sering berujung kekerasan terhadap ABK. Tak hanya penganiayaan, ABK yang dianggap mengecewakan, sering dipindah-pindahkan ke kapal yang lain. IU sendiri, selama 15 bulan bekerja di sana, pernah dipindahkan ke kapal lain sebanyak lima kali.

IU juga mengungkapkan bagaimana ABK, terutama dia, agar dapat menghindari perlakuan kasar dari mandor. ABK harus belajar keras mengingat kata-kata yang sering diucapkan di atas kapal agar tak salah paham.

“Contohnya makan itu apa, terus untuk menamai ikan itu kan menggunakan nomer tapi dalam bentuk bahasa Cina, di situ saya coba pelajari,” kata IU.

Cerita IU juga mengungkap bagaimana perusahaan kapal melakukan eksploitasi terhadap ABK. Jam kerja IU dan enam rekannya dalam satu kapal itu benar-benar tidak terbatas. Misalnya, setelah menangkap ikan, mereka masih harus membuat jaring, membawa kapal, membersihkan kapal, ditambah lagi merawat mesin.

“Jadi kita sistem kerjanya jongkok. Jadi kita jongkok bisa berjam-jam. Bisa bayangin kita jongkok bentar aja sudah nggak enak, apalagi berjam-jam,” ia menambahkan.

“Untuk tidur sebenarnya bukan tidur istirahat kasarnya. Jadi kita tidur itu lebih ke pemanfaatan waktu. Jadi kalau ada waktu luang pada saat mungkin waktu kerja, kita bisa ambil istirahat, tapi itu sebenarnya bukan istirahat. Tapi cuma curi-curi waktu untuk mengistirahatkan badan sebenarnya,” katanya.

Terungkap pula dari cerita IU mengenai kondisi kamar tidur untuk ABK. Kamar mereka berukuran 3,5 x 3,5 meter persegi untuk delapan orang.

“Jadi kita posisi tidurnya bawah atas. Nggak cuma diisi orang Indonesia, tapi barengan sama orang Cina juga,” kata dia.

Ketidakpedulian perusahaan terhadap batas-batas kerja para ABK, memaksa IU dan teman-temannya harus benar-benar mencuri-curi waktu untuk istirahat. Misalnya, dengan cara bekerja ekstra demi mempercepat penyelesaian pekerjaan agar ada waktu untuk tidur.

Sudah bekerja penuh tekanan serta kurang istirahat, makanan untuk mereka tidak diperhatikan, terutama bagi yang muslim. Setiap hari, memang ada jatah makan sebanyak tiga kali, yang jadi problem, lauknya hampir selalu berupa daging babi.

Sekali-sekali beruntung lauknya berupa telur, tetapi kalau tak ada telur, mereka terpaksa hanya makan nasi putih.

IU pernah jatuh sakit ketika musim hujan datang. Badannya lemas dan tidak mampu bekerja. Tetapi mandor kapal tidak memiliki empati. Mandor menghardik dan memaksa IU untuk tetap bekerja, walau cuaca buruk.

“Saya ditendang, dipaksa untuk kerja. Karena kalau cuaca-cuaca badai, ombaknya gede, hujannya juga deras luar biasa,” kata IU

Penderitaan demi penderitaan sebagai ABK membuat IU berpikir bagaimana caranya agar lepas dari itu semua.

Ketika kapal bersandar di pelabuhan IU berusaha mengabari keluarga di Indonesia mengenai kondisinya selama di Gabon. Itupun kalau lagi beruntung mendapatkan sinyal untuk mengirim pesan.

***

Rupanya, setiap kali IU menginformasikan kondisinya kepada keluarga di Banyumas, kabar itu diteruskan ke Serikat Buruh Migran Indonesia. SBMI kemudian berkoordinasi dengan Greenpeace melaporkan kasus IU ke kantor Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri.

Namun proses untuk memulangkan IU tidak bisa cepat, karena pihak Kemenlu mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki perwakilan di Gabon, Afrika Tengah.

Ketika itu, proses pemulangan berlangsung alot. Kementerian Luar Negeri sampai mengirimkan perwakilan di Nigeria yang telah terakreditasi untuk 11 negara.

Perwakilan pemerintah Indonesia bertemu otoritas Gabon, kemudian meminta kapal Taiwan yang mengangkut IU menepi ke pelabuhan.

Tim perlindungan WNI pada waktu itu sudah menunggu di Gabon.

Mendadak terjadi peristiwa menegangkan. Kejadian itu berlangsung ketika kapal yang membawa IU hampir merapat ke pelabuhan. Tiba-tiba, kapten kapal memerintahkan agar kapal kembali ke tengah laut.

Perintah itu muncul karena mengetahui IU akan dipulangkan ke Indonesia. Pihak kapal menolak pemulangan ABK ke negara asal.

“Jadi pada saat saya sudah dibelikan tiket oleh Kementerian Luar Negeri, saya sudah diberikan tiket dan saya sudah di dekat pelabuhan, itu saya dibawa kabur lagi ke tengah laut. Jadi tiket yang pertama itu hangus,” kata dia.

Tetapi perwakilan pemerintah Indonesia tidak menyerah. Mereka menemui perwakilan perusahaan kapal. Negosiasi berhasil.

“Saya bisa dipulangkan. Balik dari negara itu (Gabon) saya dijemput sama orang kedubes. Jadi orang kedubes yang ada di Nigeria itu jemput saya hingga saya sampai Indonesia,” katanya.

Februari 2018 itu menjadi bulan yang tak akan terlupakan bagi IU. Dia senang ketika menginjakkan kaki ke Indonesia, sekaligus trauma karena dijebak menjadi ABK.

IU tak langsung kembali ke Banyumas ketika itu. Dia didampingi untuk membuat laporan dugaan tindak pidana perdagangan orang ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri.

“Karena pertama saya diberangkatkan di luar prosedur, terus saya diduga termasuk salah satu korban human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang,” kata IU.

Namun hingga sekarang, IU belum mendapatkan informasi mengenai nasib laporannya.

“Kalau memang pada 2019 ini nggak ada tanggapan, mungkin saya akan cari solusi agar gimana kasus ini bisa ditindaklanjuti dan terus dicoba,” kata dia.

Trauma akibat berbulan-bulan mendapatkan perlakuan buruk di atas kapal masih dirasakan IU sampai sekarang.

Contohnya, biasanya mandor kapal membangunkan ABK dengan membunyikan alarm. Sampai sekarang, ketika sedang tidur, lalu mendengar suara apapun sedikit saja, IU pasti akan kaget dan bangun.

“Terus kaget apabila disentuh begini aja (menunjuk lehernya). Itu kebiasaan yang masih saya bawa,” katanya.

IU hanyalah satu dari sekian pelaut asal Indonesia di luar sana yang tidak beruntung. Karena minim pengetahuan, tetapi dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi lebih kuat, membuat mereka mau direkrut agen kapal penangkap ikan asing tanpa persiapan yang memadai. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *