sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

TIM SBMI UJI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 3/2017

3 min read
hakim harus berprinsip pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, Kesetaraan Gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan; dan kepastian hukum

Tim Serikat Buruh Migran Indonesia hari ini Selasa (03/9/2019) akan menguji Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Demikian disampaikan oleh Hariyanto Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia di kantornya Jalan Pengadegan Utara 1 No. 1 A Pancoran Jakarta Selatan.

Uji Perma ini bersamaan dengan persidangan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dijadwalkan pada oukul 11 siang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

“Pasal 9 Perma ini mengatur,  Apabila Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengalami hambatan fisik dan psikis sehingga membutuhkan pendampingan maka, Hakim dapat menyarankan kepada Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendamping; dan  dapat mengabulkan permintaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendamping” jelasnya.

Pertanyaannya, siapa Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dan Pendamping itu?

Dalam ketentuan umum,  dijelaskan sebagai berikut:

Perempuan Berhadapan dengan Hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.

Pendamping adalah seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi Perempuan Berhadapan dengan Hukum dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan keterangan selama proses peradilan berlangsung.

Apa saja yang mengakibatkan Perempuan Berhadapan Dengan Hukum merasa tidak nyaman?

Biasanya perempuan berhadapan dengan hukum merasa tidak nyaman jika diperlakukan tidak adil gender, sehingga mengakibatkan adanya bentuk-bentuk ketidak adilan gender, misalnya strereotif, diskriminasi, dan relasi kuasa.

Apa itu stereotife, diskriminisai dan relasi kuasa?

  1. Stereotip Gender adalah pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki dan diperankan perempuan atau laki-laki.
  2. Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
  3. Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Oleh karena itu, dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, hakim harus berprinsip pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, Kesetaraan Gender,  persamaan di depan hukum,  keadilan,  kemanfaatan; dan kepastian hukum (pasal 2 Perma No 3/2017).

Bagaimana praktiknya dalam persidangan?

Hakim harus mengidentifikasi fakta persidangan (pasal 4):

  1. ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara;
  2. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
  3. diskriminasi;
  4. dampak psikis yang dialami korban;
  5. ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
  6. Relasi Kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan
  7. riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

Apa yang tidak boleh dilakukan hakim dalam persidangan terhadap perempuan berhadapan dengan hukum?

Pasal 5 menjelaskan hakim tidak boleh melakukan hal sebagai berikut: 

  1.  menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
  2. membenarkan terjadinya Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan
    adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias Gender
  3. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas
    korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
  4. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung Stereotip Gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *