sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

PERNYATAAN SIKAP JBM TERHADAP KONSENSUS ASEAN

4 min read
Jaringan Buruh Migran menyesalkan Instrument ASEAN tentang perlindungan hak buruh migran tidak mengikat.

Pernyataan Sikap Organisasi Masyarakat Sipil Terhadap ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers

 Organisasi masyarakat sipil untuk advokasi hak-hak pekerja migran yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai bahwa ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ASEAN Konsensus) yang baru ditandatangani oleh sepuluh kepala negara ASEAN padaKonferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-31 di Manila, Filipina,(14/11) sebagai langkah maju sebagai perwujudan komitmen dari Deklarasi Cebu tahun 2007 yaitu pembentukan instrumen perlindungan hak-hak pekerja migran di ASEAN.

Meski demikian, Awigra, Program Manager Advokasi HAM dan ASEAN, Human Rights Working Group (HRWG) menilai kemajuan dari ASEAN Konsensus ini tidaklah signifikan. 

Pertama, secara hukum status dokumennya yang tidak mengikat secara hukum sehingga sulit untuk menagih komitemen negara-negara ASEAN di dalam implementasinya. Kedua, secara politik, ASEAN Consensus adalah gambarancara kerja ASEAN yang masihstate-interest driven dan belum bekerja sesuai visi ASEAN yaitu “People Centered and People Oriented” di mana pemangku utama dari setiap kebijakan di ASEAN adalah masyarakat ASEAN, bukan sekadar pemerintah. Proses penyusunannya tertutupselama delapan tahun, dan hampir sama sekali tidak melibatkan pekerja migran sebagai pemangku kepentinganutama. Sehingga hasilnya masih sebatas pengakuan negara terhadap berbagai hak dasar buruh migran oleh pemerintah ASEAN, namun dalam pelaksanaannya masih harus tetap tunduk di bawah supermasi hukum nasional. Ketiga soal keberpihakkan. ASEAN Consensus, belum menunjukkan keberpihakkan utamanya terhadap kepentingan terbaik untuk buruh migran, misalnya bagaimana komitemen memajukkan kerja dan upah layak, serta bagaimana keberpihakkannya pada isu yang paling rentan seperti pada isu buruh migran perempuan di sektor domestik. Dalam hal inklusivitas, ASEAN Consensus juga tidak memasukkan Instrumen Internasional untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi ILO, dan SDGs sebagai konsideran untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Padahal Konvensi Penyandang Disabilitas sudah diratifikasi oleh sepuluh negara ASEAN.

Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai hak-hak fundamental untuk pekerja migran yang tertera dalam ASEAN Consensus sangat jelas memperlihatkan kepentingan-kepentingan negara yang terdikotomi sebagai negara tujuan (receiving states) dan negara asal (sending states) dan minim control sehingga pemajuan hak-hak pekerja migran di ASEAN kedepan belum dapat memberikan perlindungan seutuhnya bagi pekerja migran.

Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan menyesalkan instrumen ini karena meskipun ada artikel-artikel yang merujuk pada hak-hak buruh migran dengan perspektif jender namun tidak ada pengakuan turunan terhadap hak-hak spesifik perempuan seperti hak reproduktif dan kesehatan reproduksi. Padahal banyak kasus pekerja domestik perempuan yang di PHK sepihak karena hamil atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena beban kerja dan kekerasan yang dialaminya selamanya bekerja. Bukan hanya itu, hak mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan publik untuk anak pekerja migran baik yang ikut serta dalam migrasi maupun yang ditinggalkan di negara asal juga tidak disebutkan dalam konsensus ini. Selain itu, konsensus ini masih berpijak pada paradigma komoditisasi buruh migran karena setidaknya masih terdapat istilah negara pengirim (sending country) dan negara penerima (receiving country).

Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) megharapkan ASEAN harus dapat mewujudkan visi “people centered, people oriented” dalam implementasi ASEAN Consensus yaitu dengan mengedepankan kepentingan utama (best interest) dari pekerja migran yaitu, menciptakan kerjala layak pekerja migran khsuusnya pekerja domestik, informal, dan berkeahlian rendah berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO), pembentukan mekanisme untuk mengurangi pekerja migran tidak berdokumen, adanya jaminan sosial, pemenuhan hak-hak pekerja migran, dan pekerjaan yang produktif untuk pekerja migran.

Enny Rofiatul, Pengacara Publik LBH Jakarta meragukan mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN Consensus terkait kasus pekerja migran. Seperti sudah diketahui, Indonesia seringkali meradang terhadap kasus pekerja migran yang terjadi di Malaysia namun tidak ada penyelesaian yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut. Di tingkat ASEAN sendiri terdapat Protokol penyelesaian sengkata antar negara yang mengacu kepada Piagam ASEAN. Prosedur ini menjelaskan secara spesifik bagaimana sebuah komplain dapat diajukan dalam konsultasi dan terdapat batasan waktu yang diminta untuk respon dari pihak terkait komplain tersebut. Namun sayangnya mekanisme ini juga tidak berjalan sesuai aturan, karena jika pihak terkait tidak memberikan persetujuan untuk memberikan respon maka penyelesaian sengketa akan dibawa pada proses mediasi, rekonsiliasi, dan arbritasi.

Perlu di ketahui di ASEAN saat ini tidak ada mekanisme tribunal maka mustahil bagi kasus pekerja migran untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan regional.  Yang harus diapresiasi dari ASEAN Consensus ini adalah masih menyediakan ruang dalam penyusunan Rencana Aksi (Action Plan) di tingkat regional. Pertanyaannya akankah pemerintah negara-negara ASEAN mengulangi kesalahannya dengan tidak melibatkan pekerja migran dalam pembahasan Rencana Aksi tersebut? Hal terpenting lainnya adalah Rencana Aksi ini harus dapat mendorong perbaikan sistem hukum nasional negara-negara ASEANuntuk semakin yang menghargai, memajukan, dan melindungi hak-hak pekerja migran, dan bukan sebaliknya.  

Oleh karena itu organisasi masyarakat sipil memandang Rencana Aksi ini harus memiliki kekuatan dan terdesiminasi dengan baik melalui kerjasama lintas sektoral di badan-badan dan pemerintah negara-negara ASEAN. Rencana Aksi ini juga harus bersifat terbuka (accountable), dapat dipertanggungjwabkan, dan inklusif dengan melibatkan multi stakeholders di ASEAN mulai dari sektor perempuan, anak, disabilitas, pendidikan, kesehatan, penagakan hukum, dll.

Jakarta, 20 November 2017

Narahubung: Awigra, HRWG +62 817-6921-757 Savitri, Seknas JBM +62 821-2471-4978 Risca, Solidaritas Permepuan+62 812-1943-6262 Hariyanto, SBMI +62 852-5930-7953 Enny, LBH Jakarta +62 857-1145-7214

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *