sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

CERITA ROBIDIN KEPADA MAHASISWA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

2 min read
Ada eksploitasi buruh migran Indonesia yang bekerja di Taiwan melalui mekanisme pembiayaan yang mahal.

robidinRobidin adalah salah satu relawan di Serikat Buruh Migran Indonesia. Ia berasal dari keluarga petani Indramayu dengan kepemilikan lahan 0,2 hektar. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bapak dan ibunya pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi, pada waktu yang tidak bersamaan. Ibunya bekerja sebagai PRT dan bapaknya sebagai pekerja kontruksi.

Pada tahun 2015-2017, Ia pernah bekerja di Taiwan selama kurang lebih 11 bulan sebagai pekerja pabrik. Pada saat bekerja disana ia terpaksa pindah tempat kerja karena beberapa hal, pertama jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan perjanjian kerja, kedua selama 12 jam kerja tidak ada masa istrirahat, ketiga bekerja dibawah atap seng, dan keempat pengaduannya tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan dan agen.

Ia sangat kecewa dengan layanan perlindungan dari agen dan PPTKIS yang memberangkatkannya. Tak satupun dari keduanya melakukan pembelaan. Padahal ia telah membayar uang yang cukup banyak untuk proses penempatannya, yaitu sebesar Rp 31 juta. Belum lagi ditambah potongan gaji bulanan NT 5800 (setara Rp 2,2 juta) selama 10 bulan. Jika dijumlah biaya penempatan yang dibayar kes dan melalui potongan gaji selama 10 bulan, jumlahnya mencapai Rp 54.230.000.

Sementara berdasarkan Keputusan Dirjen Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan No. 152/2009, biaya penempatan hanya Rp 10.675.400. Jadi selisih yang menjadi keuntungan agen dan perusahaan perekrut mencapai Rp 40.554.600/orang. Jika jumlah buruh migran di Taiwan ada 150 ribuan, besar sekali uang yang terakumulasi dari bisnis ini.

Salah satu yang membuatnya kecewa lagi, dari biaya penempatan yang besar itu, ia tidak diberikan keterampilan kerja karena tidak diikutkan dalam pendidikan atau pelatihan.

Perpindahannya dari satu tempat kerja ketempat lainnya, berujung pada kondisi yang tidak menguntungkannya. Ia tertangkap oleh imigrasi karena tidak berdokumen. Akibatnya ia dipenjara selama 2 bulan. Lalu kemudian dideportasi.

Setelah pulang, Ia dimintai denda oleh PPTKIS yang memberangkatkannya sebesar Rp 17 juta. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Robidin juga kecewa dengan kinerja pemerintah yang tidak bisa mengatasi persoalan ini, baik BNP2TKI maupun Kementerian Ketenagakerjaan. Ia merasakan ada ketimpangan visi antara pemimpin di instansi pemerintah tersebut dengan aparatnya. Padahal menurut aturannya perusahaan yang membebani buruh migran dengan biaya diatas ketentuan, itu hukumannya dicabut ijin operasionalnya. Demikian disampaikannya pada Selasa, 17 Oktober 2017 di kampus Universitas Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *