sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SEBAIKNYA PEMERINTAH DAHULUKAN RATIFIKASI KONVENSI ILO 188

2 min read
Setiap nelayan pasti pelaut, tetapi tidak setiap pelaut adalah nelayan. Dari 200 ribuan jumlah pelaut Indonesia, 77 persennya adalah nelayan perikanan.
rizky di pertemuan korea selatan
Rizky Oktaviana pada saat pertemuan di Korea Selatan

Menanggapi berita tentang akan disahkannya Konvensi Buruh Maritim (Maritim Labour Konvention 2006), sebagaimana disepakati antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR RI pada 5 September 2016 kemarin di Gedung DPR RI.

Rizky Oktaviana Ketua Departemen Kelautan Serikat Buruh Migran Indonesia mengatakan bahwa hal itu adalah penanda baik bagi pemajuan hak buruh maritim, namun alangkah lebih baik jika Kementerian Ketenagakerjaan dan DPR, terlebih dahulu meratifikasi Konvensi ILO 188 Tentang Pekerjaan di Kapal Perikanan.

“Kenapa KILO 188 harus didahulukan?” pancing Rizky

  1. Ada beda antara pelaut dengan nelayan perikanan, untuk memudahkannya adalah, setiap nelayan pasti pelaut, tetapi tidak setiap pelaut adalah nelayan, karena tidak setiap orang yang bekerja di laut tidak semua menangkap ikan seperti nelayan. 
  2. Saat ini Indonesia adalah penyumbang buruh pelaut terbesar ketiga, dengan jumlah mencapai lebih dari 200.000. Dari jumlah tersebut, 77 persennya adalah nelayan di kapal perikanan, sisanya adalah pelaut di kapal kargo, pesiar dan lainnya.
  3. Di dunia internasional ada dua arus kebijakan tentang pelaut, yaitu: (1) Maritim Labor Convention (MLC 2006) yang mengatur perlindungan untuk pelaut dan (2) ILO Convntion No 188 tahun 2007 yang mengatur tentang pperlindungan nelayan di Kapal Perikanan. Hal ini bisa dilihat pada paragraph 4 MLC 2006 Artikel II berbunyi “Except as expressly provided otherwise, this Convention applies to: All seafarers, except for: fishing vessels, traditionally build ships, war ships and naval auxiliaries” (mengatur perlindungan terhadap semua buruh pelaut kecuali buruh di: kapal penangkap ikan,  kapal tradisional, kapal perang dan angkatan laut). Sementara ILO Convention 188 tahun 2007, jelas-jelas mengatur tentang perlindungan ABK  Nelayan Perikanan yang jumlahnya 77%, ini yang paling tidak terlindungi dan paling rentan diantara buruh maritim lainnya.

    ruu-mlc-2006-700x400
    Sumber: Poskotanews.com
  4. Menteri ketenagakerjaan hingga saat ini belum melaksanakan amanat dari dua Undang-Undang yang telah diterbitkan pemerintah yaitu:
  • Pasal 28 UU No 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
  • Pasal 337 UU No 17/2008 Tentang Pelayaran mengatakan bahwa Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
  • Satu sisi, dalam presfektif hukum ini sudah pelanggaran tersendiri. Sisi lainnya, karena ada kekosongan aturan turunan, maka kementerian/lembaga lain mengaturnya, seperti Perka BNP2TKI No 3/2013, dan Peraturan Menteri Perhubungan No 84/2013. Ini menimbulkan carut marut dalam layanan proses dan terutama perlindungan terhadap nelayan migran.

Dengan argumen tersebut, alangkah lebih baiknya jika pemerintah mendahulukan perlindungan kepada buruh nelayan yang jumlahnya mayoritas. Atas dasar itu kami mendesak kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan DPR RI, untuk mendahulukan pengesahan Konvensi ILO 188 Tentang Pekerjaan di Kapal Perikanan, ketimbang Migan Labour Convenstion.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *