KONSOLIDASI NASIONAL, EVALUASI KEBIJAKAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN
4 min readSalah satu sesi dari kegiatan Konsolidasi Nasional yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan pada 26-28 Agustus 2014 di Hotel Griyadi Blok M Jakarta Selatan, adalah melakukan evaluasi kebijakan penempatan dan perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Evaluasi ini merupakan update kasus diberbagai daerah dan hambatan dari kebijakan yang masih berlaku, evaluasi tersebut antara lain :
-
Paradigma kebijakan Buruh Migran di Indonesia masih menempatkan Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi. Hal ini ditandai dengan kebijakan-kebijakan terkait Buruh Migran, termasuk UU No. 39 Tahun 2004, yang mengedepankan pada proses penempatan Buruh Migran, bukan pada aspek perlindungan.
-
Tidak berjalannya fungsi pengawasan dalam sistem penempatan buruh migran pada tahap-tahap vital seperti perekrutan, pendidikan, pelatihan, dan tes kesehatan, sehingga proses migrasi yang berjalan menempatkan buruh migran dalam posisi rentan terhadap pelanggaran hak, kekerasan dan eksploitasi, termasuk trafficking/perdagangan orang.
-
Tidak diterapkannya sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran hak BMI pada proses penempatan, termasuk pihak-pihak swasta yang terlibat dalam proses penempatan, seperti PPTKIS, Lembaga Asuransi, Sarana Kesehatan, Balai Latihan Kerja maupun individu.
-
Tidak adanya political will pemerintah dalam merealisasikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak BM dan keluarganya sebagaimana tercantum dalam instrumen HAM internasional, baik yang telah diratifikasi maupun yang belum, diantaranya Konvensi Migran PBB 1990, Konvensi CEDAW, Konvensi ILO 189. Terlihat dengan lambannya proses pembahasan Revisi UU No.39 Tahun 2004, RUU – PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189.
-
Mekanisme penanganan kasus Buruh Migran belum komprehensif, bahkan lambannya respon pemerintah atas kasus buruh migran sering menghambat buruh migran untuk mendapatkan keadilan.
-
Belum diakuinya Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja oleh hukum negara, baik di Indonesia maupun beberapa negara tujuan, menempatkan PRT sebagai kelompok rentan.
-
Pekerjaan Rumah tangga dianggap sebagai tugas perempuan yang tidak bernilai produktif. Regulasi Indonesia belum mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak atas kondisi kerja layak sebagaimana jenis pekerjaan lainnya. Akibatnya buruh migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
-
Buruh migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negara-negara tujuan tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, tidak diberi hari libur, dan tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja, tidak leluasa dan bahkan pada banyak kasus dikekang untuk tidak berkomunikasi dengan dunia luar termasuk keluarganya sendiri. Akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan buruh migran PRT, buruh migran PRT rentan mengalami penganiayaan fisik, pelecehan seksual, atau bahkan perkosaan.
-
Kurangnya pemahaman dan perspektif staff pelaksana teknis maupun pejabat pemerintah terkait hak-hak Buruh Migran sehingga tidak optimal dalam memberikan pendampingan. Termasuk diplomat dan petugas perwakilan pemerintah di luar negeri yang bertanggung jawab pada perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri juga kurang menggunakan perspektif gender dan HAM dalam menangani masalah buruh migran; hal ini banyak merugikan buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga
-
Lemahnya koordinasi antar pemerintah terkait maupun pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak buruh migran dan keluarganya, akibat :
-
Lemahnya kepemimpinan presiden dalam mengkoordinasikan antar kementerian/lembaga terkait yang terlibat dalam penempatan dan perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.
-
Tidak adanya mekanisme yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai tugas dan wewenang masing-masing institusi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun daerah, sehingga terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang, dan peran institusi-institusi terkait.
-
Tidak berfungsinya sistem informasi dan data base buruh migran yang akurat dan terintegrasi, sehingga mempersulit proses perlindungan Buruh Migran, termasuk penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak-hak buruh migran.
-
Tidak tersedianya layanan terpadu secara cuma-cuma (layanan psikologis, medis, bantuan hukum, dan shelter) yang mudah di akses buruh migran, khususnya perempuan korban kekerasan, korban pelanggaran hak-hanya dan korban perdagangan perempuan di negara Indonesia dan negara tujuan.
-
Belum tersedianya jaminan sosial maupun mekanisme perlindungan yang secara khusus diperuntukkan bagi buruh migran perempuan dan keluarganya yang mengalami pelanggaran hak-haknya.
-
Program Asuransi bagi buruh migran Indonesia tidak berperspektif gender; kebutuhan dan kondisi spesifik perempuan seperti kesehatan reproduksi, kehamilan, dan biaya persalinan tidak tercakup dalam asuransi Buruh migran (dan asuransi sosial lainnya mis; pendidikan dan kesehatan anak dari buruh migran)
-
Terbatasnya program reintegrasi untuk mantan Buruh Migran dan keluarganya, termasuk dalam hal pemulihan dan pemberdayaan ekonomi pasca kepulangan dari luar negeri
-
Terbatasnya alokasi pendanaan dari pemerintah untuk program reintegrasi, sehingga banyak mantan buruh migran yang tidak mendapatkan akses atas program tersebut.
-
Lemahnya komitmen pemerintah daerah untuk pelaksanaan program-program reintegrasi bagi mantan buruh migran dan keluarganya.
-
Minimnya program pemerintah untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak buruh migran.
-
Sulitnya pengurusan dokumen kependudukan anak dari buruh migran di luar negeri.
-
Terbatasnya hak atas pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup bagi anak buruh migran.
-
Tidak adanya anggaran khusus bagi pemenuhan hak anak buruh migran.
-
Minimnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan pemerintah kepada Buruh Migran dan keluarganya. Buruh Migran belum mendapatkan informasi ataupun pemahaman yang mereka butuhkan, seperti mengenai hak-hak sebagai Buruh Migran, termasuk hak mendapatkan pendampingan ketika mengalami kasus.
-
Kurangnya pelibatan buruh migran dan keluarganya atau kelompok pemerhati buruh migran di dalam perencanaan , pelaksanaan program atau layanan bagi buruh migran, termasuk dalam perencanaan anggaran sehingga layanan yang ada tidak optimal dan tidak sesuai dengan kebutuhan Buruh Migran.
-
Terbatasnya anggaran bagi program Buruh Migran di berbagai kementerian dan lembaga, bahkan tidak transparannya penggunaan anggaran.
-
Ketidakjelasan penggunaan dana perlindungan dari buruh migran senilai USD 15 per Buruh Migran yang pernah diberlakukan.
Konsolidasi Nasional ini diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP), dihadiri oleh SP Mataram, SP Sumbawa, SP Anging Mammiri Makasar, SP Palu, SP Kendari, Jaringan Nasional Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jaringan Advokasi untuk Revisi UU No. 39 Tahun 2004 (JARI PPTKILN), Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi Konvensi Migran 90 (ARRAK 90), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Human Rights Working Group (HRWG), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Migrant Care, Migrant Institute, Peduli Buruh Migran, Institute of Ecosoc Rights, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Buruh Migran Karawang, FSPSI Reformasi.